Berani Lapor Ungkap Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Kampanye ”Dare to Speak Up” terus digencarkan sebagai upaya mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kementerian PPPA juga terus menyosialisasikan layanan SAPA 129.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggencarkan kampanye ”Dare to Speak Up” sebagai bentuk dukungan dan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kementerian PPPA juga terus menyosialisasikan layanan pengaduan melalui SAPA 129.
”Sepanjang masyarakat masih menganggap kekerasan itu (sebagai) aib, maka kekerasan akan terus berulang,” kata Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati ketika ditemui seusai membuka acara ”Rapat Koordinasi Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia” di Sanur, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, Rabu (8/2/2023) malam.
Darmawati menambahkan, keberanian masyarakat melapor atau mengadukan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akan mencegah berulangnya kasus kekerasan serupa dan memberikan efek jera terhadap pelakunya juga membantu penanganan terhadap korbannya.
Terlebih saat ini sudah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjadi payung hukum bersifat khusus untuk segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual, penanganan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak korban.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 mengindikasikan satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama hidupnya, yang diperbuat pasangannya ataupun bukan pasangannya.
Meskipun angka kasusnya mengalami penurunan jikalau dibandingkan hasil SPHPN 2016, yang mengindikasikan satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan, kondisi tersebut masih menunjukkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan masih tinggi.
Ketika memberikan sambutan dalam pembukaan acara ”Rakor Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia” di Sanur, Kota Denpasar, Rabu (8/2) malam, Darmawati menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es karena hanya sebagian kecil, yang tampak di permukaan.
”Namun, belakangan ini mulai mencair. Mungkin ini dampak dari kampanye ’Dare to Speak Up’,” kata Darmawati. ”Kekerasan dahulu dianggap sebagai aib, (tetapi) sekarang semakin banyak kasus yang diungkap,” ujarnya lebih lanjut.
Kementerian PPPA membuka layanan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berupa Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 melalui saluran hotline 021-129 atau Whatsapp 0811-129-129.
Dalam acara ”Rakor Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia”, Rabu malam, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menyebutkan, layanan pengaduan dan pelaporan kasus kekerasan melalui SAPA 129 perlu dioptimalkan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menyatakan, layanan SAPA 129 dapat dimanfaatkan seluruh dinas pengampu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di daerah dan mengintegrasikannya dengan SAPA 129 di Kementerian PPPA.
Hal itu disampaikan Nahar dalam acara ”Rakor Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia” di Sanur, Rabu malam. Adapun rapat koordinasi digelar secara hibrida, baik secara di luar jaringan (luring) di Sanur maupun secara di dalam jaringan (daring), dan diikuti kepala dinas pengampu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak.
Lebih lanjut Darmawati mengatakan, pemahaman terhadap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga perlu dioptimalkan, termasuk pula di kalangan aparat penegak hukum.
Menurut Darmawati, diperlukan kesamaan pemahaman antara aparatur penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, dan hakim, sehingga penanganannya menjadi terintegrasi dan komprehensif. ”Dengan demikian, pelatihan penguatan kapasitas aparat penegak hukum menjadi penting,” katanya.
Dalam pemaparannya saat ”Rakor Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia”, Rabu malam, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menyatakan, aparatur polisi di Bali dan Nusa Tenggara Barat sedang mengikuti pelatihan penguatan kapasitas polisi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bali dan NTB.
Kegiatan pelatihan penguatan kapasitas tersebut difasilitasi Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan melibatkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian PPPA, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Pemerintah Provinsi Bali.
Dengan demikian, pelatihan penguatan kapasitas aparat penegak hukum menjadi penting. (I Gusti Ayu Bintang Darmawati)
Di tempat terpisah, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak Selasa (7/2/2023) menyelenggarakan pelatihan penguatan kapasitas polisi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bali dan NTB.
Kegiatan pelatihan bagi polisi sebagai penanggap awal penanganan kasus kekerasan seksual tersebut didukung Polda Bali dan Polda NTB.
Ketika memberikan sambutan dalam acara ”Rakor Pelaksanaan Penyediaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia” di Sanur, Kota Denpasar, Rabu (8/2/2023), Darmawati mengenalkan seorang anak perempuan bernama Isna Raja Bestari (13) asal Jakarta, yang dinyatakan memiliki bakat, semangat, dan kemauan mengembangkan dirinya.
Isna menggemari fotografi dan turut aktif dalam kegiatan fotografi di lingkungannya.
”Sebagai catatan, Kementerian PPPA tidak hanya melihat sisi kekerasan dan kasus-kasunya, tetapi juga melihat potensi perempuan dan anak di seantero Nusantara. Perempuan dan anak adalah kekuatan luar biasa di Indonesia,” ujar Darmawati.