Kerja Sama Multipihak Dibutuhkan dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual
Penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan kerja sama multipihak. Polisi sebagai penanggap awal perlu berhati-hati dan memiliki empati dalam menangani korban kekerasan seksual agar tidak memunculkan trauma lain.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan kerja sama multipihak. Selain pihak penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, pihak lain dibutuhkan, antara lain, lembaga pelayanan pendampingan dan perlindungan baik dari masyarakat atau komunitas maupun pemerintah daerah, karena kekerasan seksual tidak hanya berdampak terhadap fisik, tetapi juga psikis, ekonomi, dan relasi sosial korban.
Polisi menjadi penanggap awal dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dalam penanganan kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, atau bentuk kekerasan seksual lainnya, polisi juga diharapkan berperan menciptakan rasa aman bagi para korban, di antaranya, dengan menerapkan pendekatan yang berempati sehingga korban merasa terbantu.
Penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan kehatian-hatian dan kepekaan agar tidak menimbulkan trauma lain terhadap korban.
Terkait hal itulah, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan pelatihan penguatan kapasitas polisi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Kegiatan pelatihan bagi polisi sebagai penanggap awal penanganan kasus kekerasan seksual tersebut didukung Polda Bali dan Polda Nusa Tenggara Barat.
Ketua LBH Apik Bali Ni Luh Putu Nilawati mengatakan, LBH Apik Bali bekerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menyelenggarakan pelatihan penguatan kapasitas polisi di Bali dan Nusa Tenggara Barat dalam penanganan kasus kekerasan seksual di wilayahnya.
Persepsi
Nilawati menyatakan, pelatihan juga bertujuan menyamakan persepsi antara penegakan hukum dan penegakan hak asasi manusia serta pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di kalangan aparatur penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.
”Bali dan Lombok juga sebagai destinasi pariwisata harus dijaga citranya dan keamanannya. Jangan sampai dua daerah wisata ini dikesankan sebagai surga bagi paedofilia atau tempat pelecehan seksual,” kata Nilawati di Denpasar, Selasa (7/2/2023).
Kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual berbasis jender, di Indonesia masih tinggi. Mengacu laporan Komnas Perempuan, terdapat 3.448 kasus kekerasan berbasis jender terhadap perempuan, yang diterima Komnas Perempuan selama Januari 2022 sampai Desember 2022.
Di antara ribuan kasus kekerasan berbasis jender, yang diterima Komnas Perempuan selama 2022 itu, terdapat 1.573 kasus kekerasan seksual di ranah publik atau komunitas dan 1.460 kasus kekerasan seksual di ranah personal.
Adapun laporan Polda Bali menyebutkan, dalam kurun setahun selama 2022 terdapat 260 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang ditangani unit pelayanan perempuan dan anak, di Bali.
Saat ini sudah disahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS tersebut masih perlu diperkuat dari sisi pengenalan dan pemahaman, terutama bagi aparat penegak hukum, kementerian dan lembaga di pusat ataupun di daerah, dan jejaring lembaga pelayanan serta masyarakat.
Senada dengan pernyataan Nilawati, Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Manajemen Krisis Fadjar Hutomo mengatakan, citra positif destinasi pariwisata seperti Bali, Lombok, dan daerah lain di Indonesia, sebagai daerah tujuan wisata yang aman, nyaman, dan selamat akan meningkatkan kepercayaan calon wisatawan untuk berkunjung ke destinasi-destinasi tersebut.
Hal itu disampaikan Fadjar ketika memberikan sambutan mewakili pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam acara pelatihan penguatan kapasitas polisi di Kota Denpasar, Selasa (7/2/2023).
Lebih lanjut Fadjar mengatakan, menjaga reputasi sebagai destinasi pariwisata, yang ramah dan aman, bagi anak dan perempuan serta keluarga juga menjadi nilai tambah dan keunggulan kompetitif daerah tujuan wisata.
Serangkaian acara pelatihan, yang juga melibatkan perwakilan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Pemerintah Provinsi Bali tersebut,
Wakil Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Matt Downing menyatakan, pelatihan penguatan kapasitas penegak hukum itu bertujuan saling belajar dan berbagi praktik, baik dalam membantu dan menangani korban pelecehan maupun kekerasan seksual.
Dalam sambutannya, Matt Downing juga menyebutkan, penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan empati dan kehati-hatian dari aparat penanggap awal.
Bali dan Lombok juga sebagai destinasi pariwisata harus dijaga citranya dan keamanannya. Jangan sampai dua daerah wisata ini dikesankan sebagai surga bagi paedofilia atau tempat pelecehan seksual. (Nilawati)
Adapun dalam sesi wawancara bersama wartawan, Matt Downing mengatakan, pelatihan penguatan kapasitas tersebut bukan karena terjadi kasus tertentu, yang menyangkut warga negara Inggris, tetapi Pemerintah Inggris memiliki tugas untuk memastikan warga negaranya aman dimana pun, termasuk di Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi destinasi populer di kalangan turis Inggris.
”Pelatihan ini adalah sebuah inisiatif yang bagus. Kami ingin mendukung polisi di Bali dan Lombok,” kata Matt Downing.
Menurut Wakil Dubes Inggris, kegiatan pelatihan penguatan kapasitas polisi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan program pertama dan akan dilaksanakan lagi jikalau pelatihan pertama di Bali itu memberikan hasil dan manfaat bagi peserta.
”Kami juga ingin melindungi warga negara Inggris dan masyarakat lainnya,” ujarnya menambahkan.