Gajah mengamuk dan menyerang petani yang tidak berdaya melawan. Supri tewas di lokasi. Sementara tiga petani lain mengalami luka.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
TAKENGON, KOMPAS — Konflik satwa liar dengan warga di Aceh kembali memakan korban pada Minggu (5/2/2023). Supri (43), petani di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, tewas setelah diamuk gajah liar. Sementara itu, tiga lainnya terluka-luka. Hal ini memperlihatkan upaya mitigasi konflik satwa dilindungi di Aceh dinilai belum ideal.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tengah Andalika, Senin (6/2/2023), mengatakan, para petani itu diserang gajah liar saat sedang dalam perjalanan ke kebunnya di Desa Kekuyang, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah pada Minggu sekitar pukul 14.30. Kabupaten Aceh Tengah bertetangga dengan Bener Meriah.
Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan satu individu gajah liar. Warga menyapa gajah itu dengan harapan satwa liar itu tidak mengganggu. Dugaan mereka keliru. Gajah itu justru menyerang petani. Mereka lantas menyelamatkan diri. Namun, kecepatan langkah para petani kalah dengan gajah.
Gajah mengamuk menyerang petani yang tidak berdaya melawan. Supri meregang nyawa di lokasi. Sementara tiga petani lain mengalami luka. Setelah gajah menjauh, warga menyusul ke lokasi dan menemukan Supri telah meninggal.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto menuturkan, pascaperistiwa itu pihaknya menurunkan tim. Mereka bertugas menghalau gajah liar ke hutan.
Menurut Agus, mitigasi konflik satwa lindung di kawasan Bener Meriah dan Aceh Tengah belum sepenuhnya berhasil. Aktivitas ilegal dalam kawasan habitat gajah telah memicu satwa itu bergerak ke kawasan permukiman. Agus mengajak warga yang berada di kawasan hutan untuk hidup berdampingan dengan gajah.
”Minimal, menanam tanaman yang tidak disukai gajah,” kata Agus.
Dihubungi terpisah Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam di Dinas Lingkungan dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, pihaknya telah membentuk satuan tugas mitigasi. Tim ini telah menyusun rencana mitigasi seperti pelibatan warga dalam penggiringan, pembuatan pagar kejut, hingga rencana penetapan kawasan khusus satwa.
Konflik itu terjadi karena kerusakan habitat, fragmentasi wilayah jelajah, dan perburuan. “Upaya upaya mitigasi tersebut tentunya juga harus didukung semua pihak,” kata Daud.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Teuku Reza Ferasyi mengatakan, konflik satwa lindung yang telah memakan korban jiwa harus dilihat sebagai persoalan serius. Reza mendorong pemerintah agar mengevaluasi upaya mitigasi yang telah dilakukan.
Bagi petani yang menjadi korban dari konflik satwa liar harus diberikan kompensasi. Selama ini petani yang alami kerugian karena tanaman rusak tidak diberikan kompensasi.
”Mereka harus diberikan kompensasi atau ganti rugi agar tidak semakin terpuruk,” ujar Reza.