Affan (56) ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Warga Desa Pako, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie, Aceh, itu diduga diserang gajah liar.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
SIGLI, KOMPAS — Affan (56), warga Desa Pako, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie, Aceh, tewas mengenaskan setelah diserang gajah liar. Korban yang awalnya hendak menghalau gajah agar tidak masuk ke kebunnya itu malah jadi sasaran kemarahan satwa besar tersebut. Peristiwa ini menunjukkan konflik satwa liar semakin masif.
Kepala Desa Pako Bukhari saat dihubungi dari Banda Aceh, Sabtu (29/10/2022), mengatakan, jenazah Affan ditemukan pada Jumat (28/10) malam. Affan ditemukan di jalan setapak dalam perkebunan warga yang berjarak 1 kilometer dari permukiman.
Kondisi jenazah mengenaskan. Tubuh korban hancur. Korban tewas di lokasi kejadian. ”Jenazah telah kami kuburkan. Kami sangat bersedih,” kata Bukhari.
Pada Jumat pagi, warga menyaksikan kawanan gajah liar berkeliaran di perkebunan. Warga pun bersepakat untuk menghalau gajah liar itu agar kembali ke hutan. Affan pergi seorang diri untuk menyusul tim yang sudah duluan menuju titik penghalauan.
Dalam perjalanan itu, Affan diduga berpapasan dengan gajah liar. Saat kejadian, tidak ada seorang pun yang melihat. Namun, kuat dugaan Affan tewas karena diserang oleh gajah karena di lokasi penemuan jenazah banyak jejak telapak kaki satwa dilindungi itu.
Hingga larut malam, Affan tak juga kembali ke kampung. Keluarga dan warga merasa waswas dengan keselamatan Affan sehingga memutuskan mencarinya ke perkebunan. Mereka pun menemukan Affan dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Dalam gelap malam, warga menggotong jenazah korban untuk divisum ke Rumah Sakit Umum Daerah Sigli. Keluarga mengiringi jenazah Affan dengan tangisan. ”Pagi hari sebelum dikuburkan, kami kembali ke lokasi untuk memungut bagian tubuh yang tersisa,” ujar Bukhari.
Bukhari menuturkan, kasus ini jadi puncak gunung es atas konflik gajah liar dengan manusia di Keumala. ”Kami tidak tahu lagi ngomong apa. Konflik han abeh-abeh (konflik tidak kunjung berakhir),” katanya.
Bukhari mengatakan, kawanan gajah liar sudah lama masuk-keluar kebun. Tanaman kebun, seperti padi, kunyit, kakao, dan pinang, berulang-ulang luluh lantak karena dirusak gajah. Tidak terhitung nilai kerugian petani.
Untuk menyelamatkan tanaman, petani menghalau gajah dengan menggunakan mercon. Upaya itu untuk jangka pendek dapat membuat kawanan gajah menjauh, tetapi esok atau lusa mereka kembali lagi.
Namun, dalam keadaan nyaris putus asa, petani tetap bertahan melindungi hartanya tanpa mencelakai satwa lindung itu. ”Tetapi, jangan hanya gajah yang dilindungi, kami petani juga,” kata Bukhari.
Banyak pemicu konflik, salah satunya habitat satwa yang terfragmentasi.
Kematian Affan memperpanjang daftar warga yang menjadi korban serangan gajah liar. Pada 4 Juli 2021, Abdurrahman, warga Desa Karang Ampar, Kabupaten Aceh Tengah, tewas akibat diamuk gajah liar.
Dia diserang gajah liar saat menghalau satwa lindung itu ketika masuk ke kawasan permukiman. Seekor gajah jantan muncul dari belakang, kemudian menabrak dan membanting korban. Setelah mengamuk, gajah itu meninggalkan korban dalam keadaan kritis. Abdurrahman meninggal dalam perawatan di rumah sakit.
Pada Januari 2015, Husna, petani di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, tewas diinjak gajah liar. Setahun sebelumnya, dua petani di Pintu Rime Gayo, yakni Hasan Basri dan Firmansyah, juga tewas diinjak gajah.
Kejadian lain, pada 19 Januari 2013, Syarif (60), warga Desa Umah Besi, Kecamatan Gajah Putih, Kabupaten Bener Meriah, tewas diserang gajah saat sedang dalam perjalanan pulang dari memancing ikan. Sementara pada 16 Juli 2011, Adaman (45), warga Desa Lawet, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, tewas diserang gajah.
Tidak ada data berapa jumlah warga yang tewas atau kritis karena diamuk gajah liar. Sebagian besar peristiwa terjadi di perkebunan. Jika konflik tidak tertangani, korban akan terus bertambah. Konflik membuat manusia dan gajah sama-sama dalam ancaman.
Kepala Seksi I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Kamaruzzaman mengatakan, saat mengetahui ada warga yang menjadi korban amukan gajah liar, pihaknya langsung mengunjungi rumah duka dan memberikan santunan.
Dia pun mengakui, konflik satwa dan manusia belum mampu ditangani sepenuhnya. Pasalnya, wilayah konflik satwa liar di Pidie luas, tersebar di 12 kecamatan dan 75 desa. ”Upaya mitigasi terus kami lakukan, tapi tidak mudah. Banyak pemicu konflik, salah satunya habitat satwa yang terfragmentasi,” kata Kamaruzzaman.
Kini, 85 persen populasi gajah di Aceh berada di luar kawasan konservasi. Pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan fungsi dapat memicu konflik satwa kian masif. Diperkirakan, populasi gajah di Aceh tersisa 539 ekor yang tersebar di 15 kabupaten dan kota. Kawasan Pidie, Aceh Timur, Bener Meriah, dan Aceh Jaya paling dominan penyebarannya.
Data Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, sepanjang 2016 hingga 2021 terjadi 582 konflik manusia dengan satwa. Selama periode itu pula sebanyak 46 gajah mati. Rinciannya, 74 persen mati karena konflik, 14 persen karena perburuan, dan 12 persen mati alami.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud menuturkan, penanganan konflik satwa jadi isu yang prioritas. Saat ini, satuan tugas mitigasi konflik telah terbentuk. Namun, strategi penanganan sedang disusun.
”Satgas yang sudah dibentuk harus jelas akan berbuat apa. Warga menanti aksi konkret,” kata Daud. Salah satu pemicu konflik satwa di Aceh adalah karena kerusakan hutan, baik alih fungsi untuk perkebunan maupun pembalakan liar. Oleh sebab itu, pemulihan habitat satwa mutlak dilakukan.