Semarak Kebinekaan dalam Cap Go Meh di ”Kota Wali”, Cirebon
Setelah vakum dua tahun karena pandemi Covid-19, Cap Go Meh 2023 kembali berlangsung di Kota Cirebon, Jawa Barat. Masyarakat dari beragam latar belakang di ”Kota Wali” pun turut serta.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Setelah vakum dua tahun karena pandemi Covid-19, Cap Go Meh 2023 kembali berlangsung di Kota Cirebon, Jawa Barat. Masyarakat dari beragam latar belakang di ”Kota Wali” pun turut memeriahkan perayaan 15 hari setelah Imlek tersebut.
Semarak itu terasa pada Minggu (5/2/2023) pukul 12.00 atau dua jam sebelum pawai Cap Go Meh. Ribuan orang memadati jalan sekitar Wihara Dewi Welas Asih. Anak-anak hingga warga paruh baya berdiri di pinggir jalan. Bahkan, ada yang memanjat pagar dan menaiki atap mobil.
Saking padatnya, kendaraan sempat tidak bisa bergerak. Apalagi ketika atraksi barongsai dan liong melintas di jalan. Panitia juga mengerahkan beberapa orang yang berkostum dewa-dewi. Pengunjung pun berlomba memotret dan merekam acara itu.
Berbagai atraksi itu mengiringi joli atau tandu yang mengusung dewa-dewi. Joli itu berasal dari 10 wihara di Cirebon dan sekitarnya.
Pada perayaan Cap Go Meh, masyarakat Tionghoa meyakini dewa-dewi turun ke bumi. Sejumlah warga etnis Tionghoa pun tampak memanjatkan doa.
Pawai itu melintasi rute Wihara Dewi Welas Asih-Pasuketan-Pekiringan-Parujakan-Sukalila-Karanggetas-Kanoman dan kembali ke wihara. Tidak hanya warga etnis Tionghoa, arak-arakan juga melibatkan pasukan Keraton Kanoman, yang berjarak sekitar 1,3 kilometer dari wihara.
”(Cap Go Meh) ini adalah budaya yang harus dilestarikan. Kami mendukung penuh acara ini,” ucap Pangeran Patih Raja Muhammad Qadiran dari Keraton Kanoman yang ikut arak-arakan. Keraton dan warga Tionghoa di Cirebon, katanya, sudah berdampingan sejak berabad silam.
Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon pada abad ke-15, misalnya, beristri Putri Ong Tien dari China. Menurut dia, Sunan Gunung Jati yang juga salah satu Wali Sanga atau ulama besar penyebar Islam di Jawa telah mengajarkan warga hidup bersanding dengan berbagai agama.
”Budaya Cirebon itu menyatu meski orangnya berbeda. Saya berharap, (keberagaman) ini dilestarikan untuk menjaga kekayaan, aset bangsa ini. Jangan sampai ada perpecahan. Kami sebagai penerus akan menjaga (keberagaman) ini,” ungkapnya.
Warga dari berbagai latar belakang pun turut meramaikan Cap Go Meh di ”Kota Wali”. Kasiri (46), warga Mundu, misalnya, bersama dua anggota keluarganya datang menyaksikan perayaan itu. ”Keponakan saya sudah bangun waktu shalat Subuh, saking semangatnya ikut,” ucapnya.
Warga di kampungnya juga ramai-ramai ke wihara. Bahkan, ada yang sampai menyewa angkot untuk melihat acara itu. ”Orang-orang sudah kayak semut, banyak banget. Meskipun berbeda agama, pengunjungnya banyak,” ucap Kasiri yang sudah ikut perayaan Cap Go Meh sejak umur 23 tahun.
Iwan Santoro, Ketua Panitia Perayaan Imlek dan Cap Go Meh Wihara Dewi Welas Asih, mengatakan, pengunjung membeludak karena acara itu vakum dua tahun sebelumnya saat pandemi Covid-19. Sebanyak 6 barongsai, 3 liong, dan 10 joli turut menyemarakkan.
”Selain melestarikan tradisi, kami juga berharap, dengan Cap Go Meh ini kebinekaan terus terjaga,” ujar Iwan. Kebersamaan itu tidak hanya ketika pawai, tetapi juga saat warga Muslim dan Kristen ikut makan bersama dan berbincang di sekitar wihara.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati mengapresiasi keterlibatan banyak pihak dalam gelaran Cap Go Meh. Pihaknya juga menggelar Festival Pecinan sejak Jumat hingga Minggu untuk memeriahkan Cap Go Meh. ”Kami selalu mendukung kegiatan ini,” ucapnya.