Saksi Polisi Ungkap Temuan Selongsong Gas Air Mata
Sidang lanjutan pemeriksaan saksi Tragedi Kanjuruhan di PN Surabaya, Jumat (3/2/2023), menegaskan fakta penembakan gas air mata yang memicu kepanikan dan berakhir kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 orang terluka.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tim penyidik Polri menemukan setidaknya 19 selongsong gas air mata dalam olah tempat kejadian perkara seusai insiden berdarah di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022).
Demikian diungkapkan oleh saksi Dwi Cahyono dari bagian identifikasi Kepolisian Resor Malang dalam sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan untuk tiga terdakwa anggota Polri di Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat (3/2/2023). Dwi turut melaksanakan olah TKP di Stadion Kanjuruhan bersama tim Laboratorium Forensik Polda Jatim seusai insiden berdarah yang mengakibatkan kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 jiwa terluka itu.
Proyektil yang ditemukan mayoritas berada di bagian selatan arena. Masing-masing lima proyektil ditemukan di tribune selatan pintu 11, 12, dan 13, lintasan lari, dan area gawang selatan. Selain itu, dua selongsong ditemukan di lintasan lompat jauh. Juga ditemukan peluru gas air mata belum terpakai di bawah tempat duduk pemain cadangan, selokan di bawah tribune naratama atau VIP, dan area pembakaran kendaraan dinas K9.
Olah TKP juga berlangsung di pintu-pintu. Ada enam pintu keluar yang sejajar dengan lapangan, yakni A, B, C, D, E, dan F. Selain itu, tiga pintu VIP dan pintu-pintu untuk 14 tribune ekonomi. Kerusakan dan tumpukan benda, misalnya, sepatu bahkan bercak darah ditemukan di pintu 3, 4, 11, 12, 13, dan 14. Pintu-pintu untuk tribune ekonomi terdiri dari dua ukuran, besar dan kecil yang sebagian tidak bisa dibuka karena tergembok.
”Dari pintu besar tribune ekonomi bisa dibuka 8 pintu, tetapi 6 pintu rusak karena korosi, kunci tidak ada, atau roda rel terlepas dari bantalan,” kata Dwi. Untuk pintu yang sejajar dengan lapangan yang bisa dibuka adalah pintu A, B, dan F, sedangkan E bisa dibuka separuhnya. Adapun pintu C dan D tidak bisa dibuka.
Dwi merupakan salah satu saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum untuk tiga terdakwa dari anggota Polri. Ketiganya ialah bekas Komandan Kompi 1 Batalyon A Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarwaman, bekas Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto. Ketiganya didakwa melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun.
Kesaksian Dwi menegaskan fakta bahwa dalam insiden seusai laga derbi Jatim antara Arema FC dan Persebaya Surabaya itu terjadi penembakan gas air mata. Dalam sidang sebelumnya, terdakwa Hasdarmawan dan Bambang mengakui memerintahkan penembakan gas air mata dengan tujuan pengendalian massa yang ketika itu dalam situasi ricuh. Terdakwa Wahyu menyatakan tidak memerintahkan penembakan gas air mata.
Tragedi Kanjuruhan menjadi insiden terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Kengerian seusai derbi Jatim itu diawali kekalahan tuan rumah dengan skor 2-3. Ini memicu penyusupan suporter ke lapangan (pitch invasion) dan berkembang menjadi kericuhan. Penanganan oleh anggota Polri termasuk perintah penembakan gas air mata.
Namun, tindakan itu mengakibatkan kepanikan penonton yang kemudian berusaha menyelamatkan diri dengan berimpitan sampai terinjak-injak di pintu keluar. Situasi itu berakhir tragis dan mengenaskan karena mengakibatkan kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 jiwa terluka mayoritas dari Aremania atau pendukung Arema FC dan memicu kerusuhan.
Dalam sidang Tragedi Kanjuruhan juga terdapat dua terdakwa lainnya. Keduanya ialah Abdul Haris, bekas Ketua Panitia Pelaksana, dan Suko Sutrisno, bekas petugas keselamatan dan keamanan (safety & security officer), bagian dari panitia pelaksana. Keduanya didakwa melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun. Selain itu, pelanggaran Pasal 103 juncto Pasal 52 No UU 11/2022 tentang Keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Pada Jumat itu, Haris dan Suko direncanakan menjalani sidang pembacaan tuntutan. Namun, agenda sidang ditunda sampai sidang pemeriksaan saksi terdakwa dari anggota Polri selesai dilaksanakan.