Nestapa Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Perempuan disabilitas sering mengalami diskriminasi berlapis karena status gender dan kondisi disabilitasnya. Mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Perempuan disabilitas sering mengalami diskriminasi berlapis karena status gender dan kondisi disabilitasnya. Mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Evo (17), bukan nama sebenarnya, kehilangan cahaya kehidupan setelah diperkosa ayah angkatnya. Perempuan dengan disabilitas intelektual itu menjadi dingin dan penyendiri. Remaja itu juga suka tertawa dan menangis tanpa sebab.
Hidup di pelosok Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, yang jauh dari akses layanan kesehatan membuat keluarganya tak bisa berbuat banyak untuk memulihkan kondisi Evo. Apalagi, mereka hidup miskin.
Keluarga Evo tinggal di rumah berdinding anyaman bambu berukuran 6x6 meter berlantai semen. Di ruang tamu rumah itu hanya terhampar sehelai tikar. Televisi tabung menjadi satu-satunya benda elektronik berharga di rumahnya.
Ibu Evo bekerja sebagai buruh cuci, sementara ayahnya adalah buruh tani di perantauan. Saat ayahnya harus bekerja di Kabupaten Tulang Bawang, Nani (50), ibu korban (juga bukan nama sebenarnya), harus pontang panting menjaga Evo selama 24 jam.
Evo tak bisa ditinggalkan seorang diri di rumah karena bayang-bayang kelam menjadi korban kekerasan seksual bisa menghampirinya sewaktu-waktu. Trauma yang begitu berat membuat kondisi kejiwaan Evo tak terkendali saat ingatan itu kembali muncul.
“Terkadang dia duduk sendirian di bawah pohon dari pagi sampai malam. Dia juga pernah mandi berkali-kali dan lari keluar rumah tanpa pakai baju. Saya ngeri melihatnya,” ungkap Nani sembari mengelus-ngelus kepala anak perempuannya itu, Senin (9/1/2023).
Di sampingnya, Evo asyik bermain dengan seekor kucing. Ia menyuapi kucing itu dengan biskuit, lantas memeluknya. Sesekali, Evo tertawa-tawa sendiri.
Merawat Evo dalam kondisi hidup serba kekurangan itu bukan satu-satunya kesulitan yang harus dialami Nani. Saat ini, ia masih berjuang dan menanti keadilan untuk anak ketiganya itu.
Nani pertama kali mengetahui Evo menjadi korban pemerkosaan oleh ayah angkatnya pada Oktober 2020. Saat itu, pelaku yang tinggal di Kabupaten Way Kanan menelpon Nani. Ia meminta Evo segera diantarkan ke Way Kanan setelah beberapa pekan berlibur di Lampung Selatan.
“Aku emoh (enggak mau) pulang ke sana. Bapak merkosa (memperkosa) aku,” ucap Nani menirukan pengakuan Evo. Sambil menangis, Evo meminta agar Nani tidak membawanya ke Way Kanan.
Pengakuan anak perempuannya itu membuat hati Nani hancur. Ia merasa bersalah pernah meninggalkan Evo merantau ke Jakarta belasan tahun silam. Saat harus bekerja sebagai pekerja rumah tangga di luar kota itulah, Evo diangkat anak oleh saudaranya dan justru mengalami kekerasan seksual.
Dengan bantuan tetangga yang juga majikannya, Nani lantas diantarkan ke kantor Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung di Kota Bandar Lampung. Pengurus Damar lalu mendampingi Nani melaporkan kasus dugaan pemerkosaan itu ke polisi.
Butuh waktu lebih dari dua tahun untuk bisa membawa kasus itu ke pengadilan. Hasil visum terhadap Evo yang membuktinya adanya bekas luka akibat pemerkosaan nyatanya tak cukup bagi polisi untuk menangkap pelaku.
Penyidik tetap meminta Evo memberikan keterangan atas kejadian perkosaan yang dialaminya. Padahal, dengan kondisi disabilitas intelektual dan trauma sebagai korban, Evo tak mampu menerangkannya. Hal itu justru memperburuk trauma korban.
Pada 2021, kasus itu nyaris dihentikan di tengah jalan karena dianggap tak cukup bukti untuk menjerat pelaku. Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, polisi akhirnya kembali menyelidiki kasus itu dan menangkap pelaku.
Penegakan hukum itu belum cukup mengakhiri nestapa korban. Setelah menjadi korban kekerasan seksual, Evo kerap mengeluh sakit perut. Kesehatannya juga pernah drop sehingga harus dirawat di rumah sakit. Evo juga harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Walakin, kondisinya belum juga pulih hingga kini.
Bagi Nani, rumitnya penegakan hukum atas kasus itu membuatnya amat letih karena harus bolak-balik menempuh perjalanan lebih dari 100 kilometer dari rumahnya ke Bandar Lampung. Ibu empat anak itu juga harus jatuh bangun agar bisa bertahan hidup.
“Selama tinggal di rumah aman, saya harus meninggalkan suami dan anak bungsu di kampung. Saya juga tak bisa bekerja. Padahal, butuh uang untuk jajan anak,” ucapnya.
Saking bokeknya, ia pernah nekat mencari pekerjaan sebagai buruh cuci di rumah-rumah penduduk sekitar rumah aman. Ia juga pernah bekerja membantu mencuci piring di sebuah acara hajatan pernikahan.
Suatu hari, keluarga pelaku juga pernah datang dan membujuknya untuk damai. Mereka menawari sejumlah uang untuk biaya pengobatan alternatif korban. “Katanya, anak ini (korban) kena makhluk halus, jadi mau diobati bareng-bareng,” ucap Nani.
Keinginan untuk damai itu ia tolak. Nani masih berharap hakim bisa memberikan keadilan bagi anaknya. “Saya berharap pelaku bisa dihukum berat dan pemerintah membantu biaya pemulihan anak saya,” kata Nani penuh harap.
Saat ini, kasus dugaan pemerkosaan terhadap Evo masih dalam proses persidangan mendengarkan keterangan saksi. Nani dan keluarga sudah dipanggil sebagai saksi dalam kasus itu. Ia tak sabar menanti putusan hakim.
Baca juga : Korban Kekerasan Seksual Berjuang Raih Keadilan
Banyak kasus
Sesungguhnya, Evo dan Nani tak sendirian. Banyak anak perempuan dengan disabilitas lain yang mengalami nestapa serupa saat menjadi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2021, terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 764 korban adalah anak perempuan. Jenis kekerasan yang paling sering dialami adalah kekerasan seksual dengan jumlah korban 591 anak.
Kekerasan seksual didominasi oleh pemerkosaan dan sebagian besar pelakunya tak teridentifikasi oleh korban. Perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan.
Jenis kekerasan yang paling sering dialami adalah kekerasan seksual dengan jumlah korban 591 anak.
Setelah kasusnya dianggap selesai, tak banyak juga yang peduli pada proses pemulihan korban.
Seperti yang dialami oleh Alya (bukan nama sebenarnya), perempuan disabilitas intelektual yang pernah mengalami kekerasan seksual empat tahun lalu. Gadis asal Kabupaten Pringsewu itu menjadi korban pemerkosaan oleh ayah, kakak, dan adik kandungnya sendiri.
Hingga kini, Alya tinggal di sebuah panti asuhan swasta di Bandar Lampung. Setelah para pelaku diadili, pemerintah daerah setempat meminta ia dirujuk ke panti itu. Alasannya, tak ada lembaga yang memadai di tingkat kabupaten yang bisa merawat korban kekerasan seksual.
Ketua yayasan, Budi Hidayat menuturkan, kondisi Alya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali datang ke panti itu pada akhir 2018 silam. Saat itu, Alya sangat kurus dan kusam. Ia juga sering melamun dan menyendiri. Alya juga tumbuh menjadi remaja perempuan yang pemarah.
Saat ini, Alya mampu merawat dirinya sendiri. Ia diberi tanggungjawab untuk merawat adik-adik di panti. Dia menyapu dan menggunakan gawai untuk berkomunikasi. Ia juga mulai dilibatkan bekerja membungkus roti di rumah produksi yang dikelola panti tersebut.
Kendati begitu, pihaknya belum mampu memberikan pendampingan pendidikan yang ideal untuk Alya. Saat ini, yayasan tak punya staf pengajar khusus untuk mendidik orang dengan disabilitas. Ia berharap, pemerintah daerah memberikan perhatian khusus terhadap hak-hak korban kekerasan seksual seperti Alya.
Ketua Jurusan Psikologi Universitas Malayahati Octa Reni Setiawati mengungkapkan, perempuan disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual karena dianggap lemah dan tidak berdaya. Korban dinilai tidak mampu mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya. Karena alasan itulah, pelaku merasa leluasa melakukan perbuatan keji itu.
Padahal, kata dia, perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual sangat rentan depresi. Apalagi, mereka seringkali tidak mampu mengekspresikan perasaan sedih, terluka dan takut yang dialaminya.
Kondisi kesehatan fisik dan jiwa korban juga bisa semakin memburuk jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. “Korban ini sangat membutuhkan pendampingan pada fase-fase awal setelah mengalami kekerasan seksual," ucapnya.
Dalam kasus Alya, korban bisa bangkit dari trauma masa lalu yang kelam. Sementara dalam kasus Evo, korban yang merupakan seorang disabilitas intelektual berpotensi mengalami disabilitas mental.
Sekretaris Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Lampung Maya Juniarsih meyakini, masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas yang tidak dilaporkan ke polisi. Diskriminasi berlapis dan rumitnye proses penyidikan membuat banyak korban menyerah dan memilih diam. Saat melapor, korban juga kerap disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya. Keluarga juga masih menganggap hal itu sebagai aib.
Stigma yang menganggap perempuan disabilitas tidak mampu berkarya di luar rumah juga membuat mereka rentan menjadi korban kekerasa. Selama ini, perempuan disabilitas banyak dikurung di dalam rumah oleh keluarga mereka. Malangnya, mereka justru mengalami kekerasan seksual oleh orang-orang terdekat.
Selama ini, pengurus HWDI Lampung belum mampu mengandvokasi secara langsung para korban yang sedang menjalani proses hukum. Keterbatasan fisik dan sulitnya akses transportasi menjadi alasannya. Untuk itu, pihaknya bekerjasama dengan Damar Lampung untuk advokasi tersebut.
Direktur Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung Ana Yunita Pratiwi mendorong agar pemerintah daerah menghadirkan rumah aman untuk perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Pasalnya, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas lebih sering terjadi di pelosok desa.
Terkait kasus Evo, pihaknya juga mendampingi agar korban bisa mendapatkan restitusi dari pengadilan. Hal ini penting agar hak-hak korban bisa bisa dipulihkan.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lampung Selatan Rinaldy Adriansyah menuturkan, pihaknya berkomitmen menuntut pelaku dengan hukuman maksimal. Jaksa juga mendorong agar korban kekerasan seksual bisa mendapat restitusi.
Pada 2021, pihaknya telah memperjuangkan agar korban kekerasan seksual bisa mendapat uang restitusi. Uang restitusi itu juga telah diserahkan pada keluarga untuk biaya pemulihan korban.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Fitrianita Damhuri mendorong agar masyarakat segera melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami atau yang terjadi di sekitarnya. Kepedulian keluarga dan warga sekitar sangat diperlukan di tengah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lampung.
Ia mengakui, pemerintah mempunyai keterbatasan dalam memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Karena itulah, pemerintah berjejaring dengan berbagai lembaga pemerhati perempuan dan anak agar dapat membantu pemerintah dalam mempercepat pemulihan korban.
Terkait upaya pencegahan, saat ini, Dinas PPPA Lampung bekerjasama dengan kader PKK di tingkat desa melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Selain itu, pemerintah juga memberikan sosialisasi di sekolah dan komunitas.
Anggota Komisi V DPRD Lampung Aprilliati menuturkan, pihaknya terus mendorong agar kebijakan anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak meningkat setiap tahun. Saat ini, anggaran yang dikelola Dinas PPPA Lampung berkisar Rp 16 miliar. Jumlah itu memang masih rendah dibandingkan nilai APBD Lampung yang mencapai Rp 7,6 triliun.
Meski begitu, pihaknya mendorong agar semua organisasi perangkat daerah menganggarkan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Harapannya, upaya pemberdayaan perempuan dan anak di Lampung bisa lebih luas.
Pada Desember 2022, Pemprov Lampung juga telah membentuk forum koordinasi perlindungan korban kekerasan. Selain untuk advokasi, forum ini juga diharapkan memberi masukan pada pemerintah daerah terkait kebijakan untuk pemberdayaan perempuan dan anak.
Hingga kini, perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual masih sulit mendapatkan keadilan. Perhatian negara juga masih menjadi mimpi bagi para korban.
Baca juga : Modus Pelaku Kekerasan Seksual Kian Beragam