Ikhtiar Berdaya di Kampung Rehabilitasi Kusta Jepara
Orang yang pernah menderita kusta belum juga bebas dari stigma. Kondisi itu yang menambah penderitaan mereka dan menghambat mereka untuk mendapat penghidupan layak. Di Jepara, sejumlah mantan penderita hidup berdaya.
Para penderita kusta masih belum bebas dari stigma negatif orang-orang di sekitarnya. Sekalipun telah menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh, mereka tidak lantas diterima kembali oleh lingkungannya. Kondisi itu membuat mereka enggan kembali ke daerah asalnya dan memilih menetap di sebuah kampung rehabilitasi kusta di pesisir Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Di kampung itu, mereka berupaya untuk terus berdaya melalui berbagai cara.
Abdul Karim (56) duduk sambil mengibaskan topi ke arah badannya di teras rumahya di kampung rehabilitasi kusta di Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Jepara, Kamis (26/1/2023) siang. Mantan penderita kusta asal Jember, Jawa Timur, itu sudah lima tahun terakhir tinggal di rumah tersebut.
Siang itu, Karim baru saja pulang dari bekerja sebagai tukang parkir di salah satu pasar di Donorojo. Setelah istirahat beberapa saat, rasa letih yang dirasakannya berkurang. Karim lantas melanjutkan aktivitasnya. Ia berjalan menuju sebuah kandang ayam yang berjak sekitar 200 meter dari rumahnya.
Di kandang itu, Karim mengambil satu per satu telur yang dihasilkan oleh ayam-ayamnya. Hari itu, Karim mendapatkan sekitar 3 kilogram telur ayam. Selesai memanen telur di kandang, Karim beranjak ke kandang ayam lain yang berada tak jauh dari kandang ayam itu. Dari kandang ayam lainnya, Karim mendapatkan 2 kilogram telur.
”Telur-telur ini cuma saya jual ke tetangga sekitar sini. Saya tidak berani menjual ke luar (desa) karena pasti tidak laku. Kebanyakan tidak ada yang mau beli kalau tahu saya mantan penderita kusta,” ujar Karim sambil menata telur-telur ayam di baskom kuning yang dipegangnya.
Beternak ayam petelur telah dilakoni Karim sejak tahun 2018. Karim yang kala itu telah selesai menjalani pengobatan dibekali keterampilan beternak oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Rehatta Unit Rehabilitasi Kusta Donorojo. Selain mendapatkan teori tentang cara beternak ayam, Karim juga diberi lima ayam petelur dan bantuan pakan ayam untuk seminggu dari rumah sakit yang dikenal orang sebagai Rumah Sakit Kusta Donorojo tersebut.
Sejak saat itu, Karim menggeluti bisnis ternak ayam petelur. Hasilnya lumayan. Karim mendapatkan keuntungan bersih sedikitnya Rp 200.000 setiap sepuluh hari sekali atau sebesar Rp 600.000 setiap bulannya.
Beternak ayam merupakan pekerjaan sampingan Karim. Pekerjaan utamanya sebagai tukang parkir. Dari bekerja sebagai tukang parkir, Karim mendapatkan uang sebesar Rp 30.000 per hari atau sekitar Rp 900.000 per bulan. Uang itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Karim bersama istrinya, Baitul Rohmah (45), yang juga mantan penderita kusta.
Kehidupan Karim saat ini, menurut dia, sudah jauh lebih baik. Sebelumnya, Karim terlunta-lunta. Karim kesulitan mendapatkan uang karena tidak bisa bekerja. Orang-orang enggan menerimanya lantaran takut ketularan kusta meski Karim sudah dinyatakan sembuh.
Karim menderita kusta sejak duduk di bangku sekolah dasar. Akibat penyakit itu, Karim harus putus sekolah. Sejak diketahui menderita kusta, Karim tidak mau berangkat sekolah karena diperlakukan berbeda oleh teman-teman dan lingkungannya. Infeksi bakteri Mycobacterium leprae yang menyebabkan kusta itu membuat jari-jari kaki kanan dan kirinya tidak sempurna. Saraf-saraf di telapak tangan kanan dan kiri serta jari-jarinya juga terganggu sampai mati rasa. Kedua rambut alisnya juga rontok.
Karim berupaya menutupi bekas luka di kaki-kakinya dengan selalu memakai kaus kaki dan sepatu. Ia bahkan pernah melakukan operasi tanam rambut pada kedua alisnya. Semua itu dilakukan agar ia tak tampak ”berbeda” dari orang-orang pada umumnya. Namun, upayanya itu tetap tak membuat rasa kepercayaan dirinya kembali.
Selama puluhan tahun, Karim menjalani pengobatan di sejumlah rumah sakit kusta, mulai dari Kediri di Jatim dan Tangerang di Banten. Ia juga pernah menjalani rehabilitasi sosial di Blora. Kemudian, pada tahun 2018, Karim berobat ke Rumah Sakit Kusta Donorojo.
Karim dan istrinya itu sebenarnya sudah bisa meninggalkan kampung rehabilitasi kusta di Banyumanis. Namun, keduanya memutuskan untuk menetap. ”Kalau boleh, kami mau di sini saja terus. Kami takut tidak diterima kalau keluar dari sini,” katanya.
Nafkah keluarga
Ketakutan yang sama juga dirasakan oleh Ibnu Utoyo (65). Ibnu dan istrinya yang juga mantan penderita kusta tinggal di kampung rehabilitasi kusta selama 38 tahun terakhir. Ibnu mengaku menemukan kenyamanan di kampung itu karena dirinya bebas bekerja untuk menafkahi keluarganya.
Sebelum tinggal di kampung itu, Ibnu tumbuh dan tinggal di Kota Semarang. Di Kota Semarang, Ibnu awalnya bekerja sebagai pedagang asongan. Lambat laun, para pelanggannya lari setelah tahu Ibnu sakit kusta pada tahun 1974.
Akibat kusta yang diderita, Ibnu kehilangan kaki kirinya dari lutut ke bawah. Selain itu, jari-jari tangannya juga sudah tidak sempurna. Kedua matanya tak bisa lagi memejam karena saraf matanya terganggu.
Baca juga: Pandemi Hambat Penanganan Kusta di Indonesia
Karena ketakutan, Ibnu memutuskan untuk menunda pengobatan. Ia baru mulai berobat pada tahun 1981 di sebuah rumah sakit di Kota Semarang. Selama menjalani pengobatan, Ibnu resah karena tak punya pemasukan. Ibnu lalu mencari cara agar dirinya bisa bekerja dan mendapatkan uang namun bisa tetap menjalani pengobatan.
”Berbekal informasi dari seorang teman yang juga mantan penderita kusta, saya pindah berobat ke Rumah Sakit Kusta Donorojo. Selain berobat, saya juga diberdayakan untuk menjaga kebun kelapa milik rumah sakit. Dari situ, saya bisa mendapatkan penghasilan,” ujar Ibnu.
Uang hasil bekerja sebagai penjaga kebun ditabung Ibnu untuk modal usaha peternakan ayam petelur. Usahanya itu berkembang hingga pada tahun 1988 Ibnu mendapatkan cobaan. Sebanyak 100 ayam petelur miliknya mati mendadak. Ibnu terpuruk. Kata dokter, dirinya menderita depresi.
Saat tengah terpuruk, Ibnu disemangati oleh temannya sesama penderita kusta. Motivasi dari temannya membuat semangatnya bangkit. Di saat yang sama, pihak rumah sakit yang kala itu bekerja sama dengan bank daerah memberikan pinjaman lunak bagi para mantan penderita kusta. Uang pinjaman itu dipakai Ibnu untuk kembali membeli ayam petelur. Keadaan kembali berubah, bisnis ternak ayam Ibnu melesat hingga ayam miliknya berjumlah 400 ekor atau empat kali lebih banyak dari jumlah ayam yang dulu mati tiba-tiba.
Kesuksesan Ibnu dalam beternak ayam petelur bertahan sampai tahun 1998. Saat itu, Indonesia sedang krisis moneter, harga telur ayam anjlok lalu usaha Ibnu bangkrut. Kendati demikian, ia tak mau menyerah. Ibnu bangkit lagi pada tahun 2000 dengan cara merintis usaha baru, yakni berdagang. Usaha itu bertahan hingga saat ini.
”Berbekal pengalaman di Semarang, saya menghindari berdagang makanan atau minuman. Kebanyakan orang jijik kalau yang jualan penderita kusta. Akhirnya, saya memutuskan untuk membuka toko kelontong yang kalaupun menjual makanan dan minuman, semuanya dalam kemasan jadi tidak ada kontak langsung dengan saya,” tuturnya.
Orang lain
Keinginan untuk terus hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak juga terus diupayakan oleh Sargi (64), mantan pasien kusta asal Pati, Jateng, yang sejak 25 tahun terakhir tinggal di kampung rehabilitasi kusta di Desa Banyumanis. Setelah dinyatakan sembuh, Sargi memberdayakan diri dengan membuka usaha mebel. Dari hasil usaha mebel, Sargi bisa mengantongi uang hingga Rp 6 juta per bulan.
Sargi tak mau berdaya seorang diri. Ia lalu mempekerjakan dua orang yang bukan penderita kusta di tempat usahanya. ”Alasannya, ya, karena mau berbagi rezeki sama orang lain. Mereka berdua sudah ikut kerja di tempat saya sekitar 20 tahun terakhir,” ujarnya.
Sembari tetap menjalankan usaha mebelnya, Sargi yang telapak tangan kanan dan kirinya serta kedua kakinya tak sempurna karena dampak kusta itu juga melakoni usaha lain. Usaha lain yang dijalani Sargi adalah ternak sapi dan bertani. Dari usaha-usahanya itu, Sargi mampu menyekolahkan hingga membelikan dua unit rumah untuk dua anaknya di luar kampung rehabilitasi.
”Waktu saya sudah punya uang, istri dan anak-anak tak boyong kemari. Soalnya, saya tidak bisa kalau hidup di luar kampung ini, saya trauma karena dulu pernah dikucilkan,” kata Sargi saat ditemui di rumahnya.
Kampung rehabilitasi kusta di Desa Banyumanis terdiri atas empat blok yang ditinggali oleh 286 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 69 keluarga merupakan mantan penderita kusta dan 36 keluarga bukan penderita kusta. Sebagian besar mantan penderita kusta yang tinggal di kampung itu merupakan warga dari luar daerah yang berobat ke Rumah Sakit Kusta Donorojo.
”Kampung rehabilitasi ini sebenarnya merupakan tempat untuk para mantan penderita kusta latihan kembali ke masyarakat. Harusnya, setelah dianggap berhasil bersosialisasi di tempat ini, mereka sudah bisa kembali ke daerah asalnya. Namun, banyak yang memilih untuk menetap di sini karena takut tidak diterima di tempat asalnya. Bahkan, ada yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sini,” ujar Rismanto Arie, pekerja sosial Rumah Sakit Kusta Donorojo.
Selama tinggal di kampung rehabilitasi, para mantan penderita kusta menjalani kehidupan bermasyarakat, seperti halnya masyarakat di kampung-kampung pada umumnya. Mereka juga melakukan aktivitas ekonomi mulai dari bertani, beternak, hingga berdagang. Tak sedikit juga yang membuka usaha seperti mebel, bengkel, dan jahit.
”Aktivitas ekonomi sangat penting untuk mendukung supaya para mantan penderita kusta bisa hidup mandiri saat di luar kampung rehabilitasi. Keluarga para mantan penderita kusta ini juga diharapkan bisa memiliki penghidupan yang layak,” imbuh Arie.
Menurut Kepala Bidang Pelayanan dan Keperawatan Khusus Rumah Sakit Kusta Donorojo Joko Winarno, salah satu cara memangkas penderitaan orang-orang kusta adalah dengan mengangkat status ekonominya. Jika status ekonominya terangkat, kualitas hidup mereka akan lebih baik.
Baca juga : Ketulusan Hati Biarawati Merawat Pasien Kusta
Selama ini, Rumah Sakit Kusta Donorojo selalu memberikan pelatihan vokasi dan konseling psikologi bagi pasien yang telah selesai menjalani pengobatan. Bahkan, akses permodalan juga diberikan kepada mereka, termasuk memberikan bantuan berupa bibit ternak dan tanaman. Namun, tidak semua usaha para mantan penderita kusta ini berhasil.
”Ada yang gagal karena produknya tidak laku. Bukan karena kualitasnya tidak baik, rata-rata produk tidak laku karena tahu kalau yang bikin produknya orang kusta. Pembeli merasa ketakutan kalau sampai tertular,” ujar Joko.
Untuk itu, Joko mengajak masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada para mantan penderita kusta berdaya dengan cara membeli produk mereka. Menurut Joko, masyarakat memang harus mewaspadai penularan kusta, tetapi juga bukan berarti mengucilkan para penderitanya.
Joko menyebut, penyakit kusta memang menular, tetapi penularannya juga tidak mudah. Penularan baru akan terjadi ketika seseorang berkontak fisik erat dalam waktu lama dengan penderita kusta yang belum diobati. Penderita kusta yang telah diobati atau yang sudah dinyatakan sembuh kemungkinan besar tidak akan menularkan kusta kepada orang lain.
Sargi, Ibnu, dan Karim mengaku, hidup dengan penyakit kusta tidaklah mudah. Bangkit dan kembali hidup mandiri juga tak kalah susah. Untuk itu, mereka berharap masyarakat ikut membantu membantu meringankan penderitaan mereka. Jika tak bisa, setidaknya jangan menambah beban mereka dengan mengucilkan mereka.