Pandemi Covid-19 telah mengganggu penanganan penyakit kusta. Selain menyebabkan pasien terputus pengobatannya, upaya penemuan kasus aktif di sejumlah daerah juga menurun drastis.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah mengganggu penanganan berbagai penyakit endemis, salah satunya kusta yang jumlah penderitanya di Indonesia terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Selain menyebabkan pasien putus berobat, upaya penemuan kasus aktif di sejumlah daerah juga menurun drastis.
”Aktivitas penemuan kasus aktif kusta di sejumlah daerah terganggu selama pandemi. Akibatnya, case detection rate (angka penemuan kasus) turun sekitar 36 persen dibandingkan dengan tahun 2019 sebelum pandemi,” kata peneliti kusta dari Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbangkes) Papua Kementerian Kesehatan, Hana Krismawati, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi kusta di Indonesia tahun 2020 mencapai 13.180 kasus, sementara jumlah kasus barunya 11.173 orang. Angka ini turun dari tahun 2019 yang sebanyak 17.439 kasus. Penurunan itu terutama terjadi karena penemuan kasus menurun.
Menurut Hana, banyaknya petugas yang terinfeksi Covid-19 menyebabkan sejumlah puskesmas tutup untuk beberapa waktu. Kondisi itu mengakibatkan pelayanan pengobatan kusta terlambat, bahkan terjadi kenaikan angka putus berobat. Di sisi lain, kebijakan pembatasan mobilitas menyebabkan pasien yang tengah menjalani pengobatan semakin enggan mengakses layanan kesehatan.
Pengobatan kusta seharusnya dilakukan secara kontinu atau berkelanjutan. Sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paket obat yang disebut multi drugs treatment (MDT), terdiri dari tiga antibiotik, harus diminum oleh pasien kusta selama 6 bulan untuk jenis kusta kering dan 12 bulan untuk jenis kusta basah.
Obat ini didistribusikan ke seluruh negara endemis dan dapat diakses secara gratis oleh pasien. Program paket MDT telah berhasil membebaskan banyak negara dari endemisitas kusta, tentu dikombinasikan dengan intervensi lain yang dikembangkan oleh masing-masing negara.
Menurut Hana, terputusnya pengobatan bisa memperlambat penyembuhan dan kemungkinan sisa kuman juga bisa ditularkan ke orang lain. ”Hal ini juga bisa menyebabkan resistensi obat,” katanya.
Selain dengan pengobatan rutin, pemberantasan kusta dilakukan melalui pencarian aktif kasus dan survei kontak. Menurut Hana, upaya ini perlu dilakukan karena, jika kasusnya sedini mungkin ditemukan dan diobati, rantai penularan kusta dapat diputus.
”Penemuan kasus dan pengobatan dini juga sangat signifikan mencegah kecacatan. Saat ini, pengendalian kusta ditambah dengan pemberian kemopropilaksis. Intervensi ini telah dilakukan di beberapa negara, tetapi di Indonesia belum dilakukan secara luas,” tuturnya.
Jangan lupakan kusta
Menurut Hana, hingga saat ini banyak tantangan yang harus dihadapi dalam membebaskan Indonesia dari kusta. Selain karena persoalan pandemi Covid-19, kusta termasuk dalam daftar penyakit terabaikan sehingga dukungan pembiayaan internasional jauh lebih kecil dibandingkan dengan penyakit lain, seperti tuberkulosis atau TBC, HIV, dan malaria.
Kondisi ini juga memengaruhi prioritas nasional dalam menetapkan berbagai aksi penanggulangan kusta. Padahal, edukasi aktif ke masyarakat masih sangat diperlukan karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini. Edukasi juga diperlukan untuk meningkatkan dukungan sosial kepada penderita.
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat sekaligus memperingati Hari Kusta Sedunia pada 30 Januari, Litbangkes Papua bersama Unit Penelitian Klinis Universitas Oxford di Jakarta atau Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) menggelar pameran foto karya orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), anggota keluarga, dan masyarakat. Pameran foto diselenggarakan pada 29-31 Januari 2022 di Aula Litbangkes Papua.
Penemuan kasus dan pengobatan dini juga sangat signifikan mencegah kecacatan. Saat ini, pengendalian kusta ditambah dengan pemberian kemopropilaksis. Intervensi ini telah dilakukan di beberapa negara, tetapi di Indonesia belum dilakukan secara luas.
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua Ary Pongtiku mengatakan, karya fotografi ini ditujukan untuk menceritakan pengalaman mereka menghadapi stigma, beban sosial, dan keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini didanai Sasakawa Leprosy Initiative yang berbasis di Jepang.
Acara yang juga digelar serentak oleh 32 organisasi dari 13 negara ini didukung oleh Sasakawa Leprosy Initiative. Lembaga ini sejak tahun 2021 telah meluncurkan kampanye ”Don’t Forget Leprosy” untuk memastikan bahwa upaya melawan kusta tidak dikesampingkan di tengah pandemi Covid-19.
Pergolakan sosial dan ekonomi yang disebabkan pandemi virus korona sangat berat bagi para penyandang kusta dan keluarganya, yang awalnya banyak dari mereka berada dalam posisi rentan. Penguncian yang diterapkan pemerintah mempersulit mereka untuk mengakses pengobatan, membuat mereka kehilangan peluang menghasilkan pendapatan, dan memperburuk deprivasi yang dihadapi komunitas mereka yang terpinggirkan.
Yohei Sasakawa, Duta Besar WHO untuk Eliminasi Kusta, dalam pesan tertulisnya mengatakan, ”Kampanye jangan lupakan kusta bertujuan agar penyakit kusta tidak luput dari pandangan di tengah pandemi Covid-19 dan memastikan kebutuhan mereka yang terkena penyakit tidak terabaikan,” ujarnya.
Data yang dipublikasikan WHO pada September 2021 untuk tahun kalender 2020 menunjukkan penurunan kasus baru kusta secara global sebesar 37 persen dari tahun sebelumnya. Ini menjadi bukti bahwa, di banyak negara, upaya penanggulangan kusta, termasuk deteksi kasus dan pengobatan, telah terganggu oleh pandemi.
Penyakti kusta telah ditemukan sejak 700 sebelum Masehi, tetapi hingga sekarang masih endemik. Menurut data WHO, Indonesia menduduki peringkat ke-3 di dunia setelah India dan Brasil dengan jumlah penderita kusta sekitar 16.000 orang. Indonesia memilki kantong-kantong kusta di sekitar 300 kabupaten di 17 provinsi dan Papua termasuk kantong terbesar.
Menurut Hana, kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Gejalanya seperti penyakit kulit biasa menyerupai panu, bercak merah. Kuman ini menginfeksi jaringan saraf dan berkembang di bagian sel saraf yang disebut sel schwan. Implikasinya, selain tampak sebagai gangguan kulit, kusta menyebabkan kerusakan saraf mulai dari rasa kebas hingga cacat permanen di organ gerak, bahkan di mata atau kebutaan.
Selain beban kecacatan, penyakit kusta sangat erat dengan stigma. Bahkan, di beberapa wilayah di Indonesia, kusta masih dianggap sebagai penyakit kutukan. Selain harus menanggung beban penyakitnya, penderita kusta juga memikul beban psikologis.