Menyelamatkan “Ruang” Hidup Kalbar yang Masih Tersisa
Bencana alam ditanggapi oleh sejumlah kelompok masyarakat di Kalbar dengan memperbaiki lingkungan terdekat mereka.
Menginjak usia ke 66, Provinsi Kalbar menghadapi tantangan yang tak mudah. Bencana alam kerap melanda provinsi ini akibat degradasi lingkungan. Di tengah kondisi alam yang kian turun kualitasnya, sebagian warga terus berjuang menyelamatkan “ruang” hidup yang tersisa.
Potret keparahan bencana alam salah satunya tergambar pada Oktober tahun lalu. Delapan kabupaten di Kalbar dilanda banjir. Ribuan warga mengungsi. Sebagian warga merasakan dampak banjir kian tahun kian parah.
Banjir pernah memutus transportasi jalur Trans-Kalimantan di Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang menuju Kalimantan Tengah. Jalur tersebut terendam banjir sekitar 1 meter Oktober lalu. Puluhan truk angkutan dan kendaraan umum tertahan beberapa hari karena tidak bisa melintas sehingga menimbulkan tambahan biaya perjalanan. Harga kebutuhan pun ikut naik karena logistik yang terhambat.
Baca juga: Puluhan Ribu Warga Terdampak Banjir di Kalbar
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar dalam beberapa kesempatan menyatakan, banjir yang terjadi tidak semata karena cuaca, tapi juga karena adanya degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan terjadi karena alih fungsi lahan untuk usaha berbasis ekstraktif.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale, mengatakan, degradasi lingkungan terjadi sejak lama. Hal itu bisa dilihat dari kondisi tata ruang Kalbar.
Jika dilihat di atas kertas dari luas administratif sekitar 14 juta hektar (ha), sekitar 8 juta ha di antaranya diperuntukan sebagai kawasan non-produksi, dan sekitar 6 juta ha diperuntukan sebagai kawasan produksi, yakni konsesi perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya.
Kenyataannya, setidaknya tahun 2018-2019, area yang diperuntukkan sebagai perkebunan sudah 5 juta ha, hutan tanaman industri sudah 2 juta ha lebih, pertambangan sekitar 3 juta ha. Artinya, ada lahan non-produksi yang digunakan untuk produksi.
Di tengah kondisi alam yang mengalami degradasi, terdapat masyarakat yang terus berjuang menyelamatkan “ruang” hidup. Mereka berupaya menyelamatkan yang masih tersisa. Meski perjuangan mereka tidaklah mudah.
Potret perjuangan tersebut, misalnya dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Jalai Sekayuq-Kendawangan Siakaran (AMA-JK). AMA-JK merupakan organisasi gerakan masyarakat adat yang mengadvokasi masyarakat adat dan lingkungan wilayah Jalai-Kendawangan, Kabupaten Ketapang.
Mereka berjuang menyelamatkan wilayah kelola masyarakat yang mereka sebut “dahas”. Di dalam “dahas” terdapat sumber daya hutan, antara lain karet, obat-obatan, sayur-mayur, tempat berburu, lokasi berladang, sumber daya air, buah-buahan lokal, dan ternak. “Dahas” dimiliki satu keluarga dalam satu keturunan, bisa juga dimiliki secara pribadi.
Baca juga: Bahu Membahu Mengembangkan Durian Unggul Kalbar
Ruang hidup
Darmono, Sekjen AMA-JK, saat ditemui, Kamis (12/1/2023), menuturkan, perjuangan mereka dalam menyelamatkan “dahas” sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Perjuangan itu dilakukan karena khawatir dengan perkembangan investasi skala besar yang mengancam wilayah kelola masyarakat. “Ancaman terhadap perusakan hutan dan sumber ekonomi masyarakat serta sumber daya air,” ungkapnya.
Pada awalnya mereka mendampingi masyarakat di 163 kampung. Bentuknya berupa penyadaran bahwa ancaman terhadap “dahas” akan terus berlanjut jika investasi ekstraktif dibiarkan. “Kami menggelar pertemuan berkeliling ke kampung-kampung 4-5 kali dalam sebulan,” tuturnya.
Pada 2012 mereka melakukan perampingan pendampingan. Semula mendampingan kepada 163 kampung menjadi 60 kampung. Kemudian pada 2015 pendampingan tinggal untuk 30 kampung karena masifnya investasi tidak terbendung.
Kami pun ingin mengusulkan wilayah kami untuk menjadi hutan adat
Pada akhirnya sekarang pendampingan bertahan di 10 kampung agar “dahas” yang tersisa mereka tidak mengalami alih fungsi lahan. Untuk menyelamatkan yang masih tersisa, pihaknya mendorong komunitas untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat di tingkat kabupaten hingga pusat.
Pada 2020 lalu Surat Keputusan (SK) masyarakat hukum adat sudah mereka terima. Sekarang mereka masih berjuang untuk mendapatkan SK Hutan Adat seluas 2.500 ha. Perjuangan mereka sejauh ini sampai pada tahap meminta rekomendasi pemerintah daerah mulai dari desa, kecamatan, kabupaten hingga masyarakat.
Di daerah lain tepatnya di Dusun Gunung Loncek, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, semangat menjaga hutan dilakukan oleh kelompok tani. Laurensius Edi, Sekretaris Kelompok Tani Hutan Loncek Raya, menuturkan, upaya yang dilakukan salah satunya dengan cara-cara tradisional.
Mereka membuka ladang dengan ritual untuk menjaga harmoni dengan alam. Kemudian, setelah ladang dipanen, daerah yang semula dijadikan ladang akan dihijaukan kembali dengan aneka tumbuhan.
Baca juga: Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang
Ada juga kelompok tani hutan yang melakukan gerakan penanaman lahan kosong. Lahan-lahan masyarakat ditanami beragam tanaman mulai dari jengkol hingga petai. Mereka mendapatkan bantuan bibit dari dinas terkait. “Ada sekitar 10.000 bibit tanaman,” tuturnya.
Sebelumnya pada 2011, Kampung Loncek juga bekerja sama dengan salah satu lembaga untuk membuat program peningkatan kapasitas kelompok tani melalui program nasional pemberdayaan masyarakat. Kala itu programnya berupa penanam 5.000 karet.
Beberapa warga juga pernah menuangkan kisah kampung mereka dalam buku untuk mempertahankan wilayah adat dari ekspansi investasi. Mereka menuliskan sejarah kampung, memetakan tempat keramat, dan budaya topeng loncek serta gerakan tani muda Loncek. “Kami pun ingin mengusulkan wilayah kami untuk menjadi hutan adat,” kata Edi.
Terkait berbagai perjuangan masyarakat tersebut, Gubernur Kalbar Sutarmidji mendukung masyarakat untuk mengusulkan wilayahnya sebagai bagian dari hutan adat ataupun hutan desa.
“Jangan sampai masyarakat sudah turun temurun tinggal di suatu tempat tapi tidak memiliki alas hak atas lahan dia,” tuturnya.
Kalbar selama ini memiliki program desa mandiri yang berfokus pada tiga hal yakni ketahanan ekonomi desa, ketahanan sosial dan budaya, serta ketahanan lingkungan.
Jangan sampai masyarakat sudah turun temurun tinggal di suatu tempat tapi tidak memiliki alas hak atas lahan dia
Dalam ketahanan lingkungan salah satu langkah yang dilakukan adalah penghijauan. Masyarakat misalnya, bisa datang ke pesisir sungai Kupah untuk menanam mangrove. Kemudian perkembangan tanaman itu bisa mereka pantau lewat aplikasi Sipohon. Petugas secara berkala akan memperbarui data dan perkembangan tanaman mangrove tersebut.
Tantangan Kalbar memang tak gampang, namun dengan kerja bersama dan langkah yang nyata, warga berharap lingkungannya bisa terselamatkan.