Kasus Percabulan Terus Berulang, Perlindungan Anak di Banyumas Memprihatinkan
Kekerasan seksual di Banyumas terus berulang. Pengawasan dan pembekalan pendidikan seksual perlu terus digencarkan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Kasus pemerkosaan oleh 8 pria, yang 4 di antaranya adalalah lansia, terhadap remaja putri yang duduk di bangku kelas 1 SMP di Banyumas, Jawa Tengah, menjadi sinyal darurat kekerasan seksual. Kasus percabulan yang berulang mendesak dicegah lewat pendidikan seksual sejak dini, sosialisasi apa itu kekerasan seksual dan ancaman hukumannya, serta penguatan lembaga dari desa hingga RT/RW demi melindungi masa depan anak-anak.
”Ini menjadi keprihatinan kita semua. Dalam konteks perlindungan anak, artinya Banyumas sedang tidak baik-baik saja karena kejadian ini berulang,” kata pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tri Wuryaningsih, Jumat (20/1/2023).
Dia mengatakan, orangtua perlu membekali anak dengan pendidikan seksual sejak dini serta mengawasi dengan siapa saja mereka bergaul. “Misalnya, untuk anak balita, diberi pengertian bahwa bagian tubuh tertentu tidak boleh disentuh atau dipegang orang lain. Jika ada yang menyentuh, anak diajari untuk berteriak atau berlari menghindari orang itu. Demikian pula saat akil baligh, anak perlu dibekali tentang kesehatan reproduksi,” tutur Tri.
Selain itu, Tri menyebutkan, sosialisasi bahwa kekerasan seksual itu merupakan tindak kejahatan dan bisa diancam pidana maksimal 15 tahun perlu digencarkan. Hal itu diperlukan karena dari pengamatannya, masyarakat baru menganggap hal itu dosa semata. Apalagi, jika ada anggapan bahwa persetubuhan berasal dari inisiatif korban atau sama-sama mau.
”Mungkin bayangannya itu sekadar dosa, tapi tidak melanggar undang-undang. Berdasarkan penelitian saya terhadap pelaku kekerasan seksual, ditemukan bahwa ketika anak inisiatif sendiri, mau, fine-fine saja itu dianggap tidak melanggar hukum. Padahal, apa pun alasannya, yang namanya orang dewasa menyetubuhi anak adalah kekerasan seksual,” paparnya.
Menurut Tri, lembaga terstruktur dari tingkat desa, RT-RW, dasawisma atau juga PKK perlu terus menggencarkan dan mengingatkan pentingnya perlindungan anak dan bahaya kekerasan seksual. ”Masyarakat dengan segala elemennya sampai di level bawah harus kampanye antikekerasan seksual dan perlindungan anak,” ucapnya.
Seperti diberitakan Kompas.id (18/1/2023), seorang siswi disetubuhi oleh 8 pria di waktu dan tempat yang berbeda kurun November-Desember 2022. Korban kini telah mengandung dengan usia kehamilan sekitar 3 bulan.
Dari 8 pelaku, 5 orang telah ditahan kepolisian dengan 4 di antaranya berusia lanjut. Para pelaku adalah tetangga korban. Untuk melancarkan aksinya, para pelaku mengiming-imingi uang Rp 20.000 hingga Rp 50.000 kepada korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyumas Komisaris Agus Supriadi Siswanto menyampaikan, persetubuhan dilakukan mulai di rumah pelaku, di hotel, hingga di areal pekuburan. Para tersangka yang telah ditahan adalah W (70), J (50), SA (69), K (67, dan Y (27).
Selain kasus itu, dari catatan Kompas, Polresta Banyumas juga pernah menangkap seorang pria berinisial A (41) karena melakukan pelecehan seksual terhadap dua remaja laki-laki yang masih duduk di bangku SMP. Korban yang sering bermain ke rumah kontrakan pelaku untuk memakai fasilitas Wi-Fi atau jaringan internet itu lalu dilecehkan secara seksual. Korban pun diimingi uang Rp 50.000 (Kompas.id, 2/8/2022).
Pada September 2022, seorang remaja putri dengan keterbelakangan mental berinisial FT (15) menjadi korban percabulan oleh sembilan tetangganya yang sebagian besar sudah berusia lanjut. Korban dalam keadaan hamil dengan usia kandungan 3 bulan. Korban juga dirayu uang Rp 20.000 sampai Rp 50.000.
Mengutip data dari https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan, sejak 1 Januari hingga kini, di Indonesia terdapat 1.320 kasus kekerasan. Dari jumlah itu, ada 190 korban laki-laki dan 1.203 korban perempuan. Di Banyumas, tercatat ada 25 kasus kekerasan.