Tim Mitigasi Kerawanan Pelecehan Seksual Dibutuhkan
Pelecehan seksual di tingkat sekolah perlu dicegah sejak dini. Dibutuhkan tim khusus untuk memantau pelaksanaan pendidikan di tingkat sekolah supaya kejahatan seksual tidak berulang.
Oleh
Megandika Wicaksono
·5 menit baca
Mitigasi potensi kerawanan, pengawasan oleh tim terpadu di tingkat sekolah, dan komunikasi yang terbuka antara anak dan orangtua dibutuhkan untuk mencegah berulangnya kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Hal itu diungkapkan oleh Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo dalam menanggapi kasus pencabulan oleh seorang guru agama di SD kepada 15 siswinya di Cilacap.
”Yang jelas, pencegahan itu bisa secara formal legal dan juga ada pencegahan informal kultural. Kalau legal formal tentunya dimulai dari adanya permendikbud, saya tidak tahu sudah ada atau belum tentang kejahatan seksual di sekolah karena yang baru ada kan permendikbud di perguruan tinggi. Itu perlu diturunkan lagi di setiap sekolah,” kata Ugung, Jumat (10/12/2021) kemarin.
Menurut Ugung, perlu dibentuk tim kecil di setiap sekolah khusus untuk memantau dan mengawasi potensi kerawanan kejahatan seksual. Tim ini layaknya tim satgas Covid-19 yang dibentuk di berbagai lini hingga lini terkecil di akar rumput.
”Di antara legal formal dan kultural informal tadi, menurut saya, perlu adanya mitigasi kekerasan seksual atau kejahatan seksual. Di sini sifatnya pencegahan. Kita beberapa kali menerima adanya laporan pencabulan-pencabulan. Itu artinya ada kejadian, baru kita bereaksi. Perlu tim di sekolah yang intens untuk memahamkan semua pihak tentang peluang terjadinya kekerasan seksual. Jangan sampai itu terjadi,” tuturnya.
Tim ini, kata Ugung, terus memantau adanya laporan dan indikasi, misalnya ada siswa atau siswi pulang malam. ”Jika perangkatnya sudah ada, implementasi dan sosialisasi dilakukan oleh satgas atau tim khusus secara kontinu,” ujarnya.
Selanjutnya, kata Ugung, diperlukan pula pendewasaan psikoreligius artinya religiositas itu bukan hanya dalam tataran pemahaman, melainkan juga implementasi.
”Ini yang harus dikawal dalam budaya di sekolah. Selama ini mungkin kita terlalu menekankan pada kognitif semata sehingga kurang menekankan pada attitude, kurang menekankan pada sisi afektif. Ini bisa menjadi masalah ketika dihadapkan pada situasi atau stimulus terkait seksualitas baik dari sosial media dan internet,” paparnya.
Yang terakhir adalah adanya relasi kuasa yang tidak sehat. Di sini guru memiliki posisi berkuasa yang lebih, demikian juga laki-laki punya posisi demikian. Ini membuat orang merasa bisa menguasai orang lain.
Menurut Ugung, orang yang religiositasnya bukan hanya dalam tataran kognitif tapi juga implementasi, harusnya seorang guru memahami bahwa dirinya harus menjaga murid, bukan malah melihatnya sebagai peluang atau kesempatan untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
”Yang terakhir adalah adanya relasi kuasa yang tidak sehat. Di sini guru memiliki posisi berkuasa yang lebih, demikian juga laki-laki punya posisi demikian. Ini membuat orang merasa bisa menguasai orang lain,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Ugung, jika kejahatan pertama berhasil, maka akan diikuti kejahatan berikutnya. ”Kalau bisa memang di hukum positif kita juga menempatkan pelaku-pelaku pencabulan apalagi pada anak yang di bawah umur itu harus dengan hukuman yang tegas dan dipercepat dalam prosesnya sehingga orang meski religiusitasnya lemah, dia akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatan,” ujarnya.
Komunikasi antara anak dan orangtua juga perlu diciptakan seterbuka mungkin tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain terhadap tubuhnya. Siapa saja orang-orang terdekat di sekitarnya, baik itu teman, guru, maupun juga tukang ojek atau tukang becak yang mengantar siswa.
Seperti diberitakan Kompas.id (10/12/2021), Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cilacap menangkap MAYH (51) guru SD di Desa Rawaapu, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap karena mencabuli 15 siswinya di sekolah. Guru yang juga aparatur sipil negara ini memeluk korban, meremas payudara, dan meraba-raba kemaluan korban dengan iming-iming mendapatkan nilai bagus untuk mata pelajaran yang diampunya. Sedikitnya empat psikolog disiapkan untuk mendampingi korban.
”Tidak ada persetubuhan dan tidak sampai telanjang. Korban diiming-imingi nilai bagus untuk khusus pelajaran agama. Itu dilakukan di ruang kelas. Ada yang di hadapan anak-anak lain dan ada yang dilakukan saat seorang diri,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cilacap Ajun Komisaris Rifeld Constatien Baba saat dihubungi dari Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (10/12/2021).
Rifeld menyampaikan, korban yang semuanya perempuan duduk di bangku kelas IV SD. Pelaku yang sudah bekerja di SD itu selama 14 tahun mencabuli korbannya di saat jam istirahat.
”Setiap jam istirahat, tersangka tetap di dalam kelas shingga dia dapat mencabuli korban dengan mudah dengan cara memeluk para korban, meraba kemaluan dan payudara korban dengan maksud untuk dapat menyalurkan hasrat birahi tersangka,” tuturnya.
Barang bukti yang disita dari kasus ini antara lain 1 potong baju batik warna merah seragam guru, satu potong celana kain warna hitam seragam guru, 5 potong rok merah seragam sekolah, 2 potong baju warna putih seragam sekolah, dan 3 potong baju batik warna merah seragam sekolah. ”Tersangka ini sudah berkeluarga, ada istri dan anak,” paparnya.
Menurut Rifeld, para korban mengalami trauma dan kini didampingi oleh instansi terkait, yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Cilacap.
”Kami mengimbau pihak sekolah untuk lebih melakukan pengawasan apalagi di saat pandemi di mana siswa yang masuk tidak banyak, harus diawasi di dalam dan luar kelas. Untuk orangtua juga harus membangun komunikasi apa saja yang dilakukan anak di sekolah. Ini tanggung jawab bersama,” katanya.
Tersangka dijerat dengan Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Kepala Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Cilacap Budi Santoso mengatakan, pihaknya mengerahkan 4 orang psikolog dan akan bekerja sama dengan psikolog dari RSUD Cilacap untuk mendampingi korban.
”Kami fokus ke korban agar kejadian ini tidak menimbulkan traumatis supaya mereka tetap punya masa depan jangan sampai ini jadi noda hitam yang menghantui selamanya. Kami mengerahkan semua kemampuan yang ada,” papar Budi.
Budi mengakui, kasus seperti ini adalah pekerjaan yang tidak ringan dan butuh dukungan banyak pihak dan elemen. ”Ini jadi tanggung jawab banyak pihak karena kami pemerintah tidak bisa sendiri. Bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, kami sedang menyiapkan sekolah ramah anak, mentalitas dan moralitas pendidik perlu ditingkatkan. Kualitas dan profesionalitas pendidik harus terus ditingkatkan,” tutur Budi.
Berdasarkan data dari Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Cilacap, jumlah korban kekerasan di Cilacap terus bertambah dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 terdapat 99 korban kekerasan, pada 2019 ada 109 korban kekerasan, dan pada 2020 ada 147 korban kekerasan. Adapun pada 2021 hingga Juni terdapat 64 korban kekerasan (Kompas.id, 19/10/2021).