Kebiasaan ”Nujah” Muncul Lagi, Tawuran di Palembang Kian Marak
Tawuran terjadi karena meneruskan tradisi ”tujah” (tusuk) yang sudah ada. Alasan lain adalah saling ejek di media sosial, kurangnya pengawasan orangtua, dan faktor lingkungan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sepanjang Januari 2023, peristiwa tawuran di Kota Palembang, Sumatera Selatan, masif terjadi. Polrestabes Palembang mencatat setidaknya ada 15 kasus tawuran dalam 18 hari terakhir. Kebiasaan nujah atau menusuk diperkirakan muncul lagi di kalangan anak muda.
Hal ini disampaikan Kepala Polrestabes Palembang Komisaris Besar Mokhamad Ngajib saat menghadiri rapat koordinasi 4 Pilar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di Gedung DPRD Palembang, Kamis (19/1/2023). Hadir dalam rapat tersebut jajaran Polrestabes, Kodim 0418 Palembang, jajaran Pemkot Kota Palembang, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Ngajib menuturkan, angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu. Biasanya dalam satu bulan hanya terjadi dua sampai tiga kali peristiwa tawuran. ”Bahkan, saat bulan puasa tahun lalu, tawuran hanya terjadi tiga kali, selebihnya sudah bisa kami antisipasi,” ucapnya.
Namun, kali ini, tawuran terjadi hampir setiap hari, bahkan sampai menelan dua korban jiwa. Hasil pemetaan menunjukkan, dari 18 kecamatan di Kota Palembang ada 25 kawasan yang rawan menjadi tempat tawuran.
Beberapa tempat rawan, di antaranya, di kawasan Demang Lebar Daun, Jeramba Geledek, dan kawasan 9-10 Ulu. Para pelaku tawuran biasanya adalah anak muda atau bahkan anak di bawah umur yang masih berstatus siswa di sejumlah sekolah.
Mereka membentuk kelompok beranggotakan 10-20 orang kemudian menentukan satu tempat sebagai markas dan kemudian menunggu musuh datang. ”Ini menunjukkan tawuran yang terjadi di Palembang bukan karena ada konflik semata, tetapi memang ajang untuk menunjukkan jati diri. Tentu dengan cara yang salah,” ucapnya.
Senjata yang digunakan pun beragam, misalnya gergaji ukuran besar dan pedang berukuran 50 cm yang dikaitkan dengan bambu sepanjang 3 meter. Hal itu dinilai sangat meresahkan karena sangat membahayakan.
Para pelaku melakukan itu karena meneruskan tradisi ”tujah” (tusuk) yang sudah ada. Padahal, kebiasaan itu tak sesuai lagi diterapkan di zaman sekarang. Alasan lain adalah saling ejek di media sosial, kurangnya pengawasan orangtua, dan faktor lingkungan.
Banyaknya tawuran juga disebabkan oleh masih tingginya tingkat pengangguran di Palembang (Kombes Mokhamad Ngajib).
Karena itu, generasi muda harus diberikan pemahaman agar kebiasaan ini bisa dihilangkan. Di sisi lain, pembekalan keterampilan juga harus terus digiatkan agar niat mereka untuk tawuran bisa teralihkan dengan kegiatan yang lebih positif. ”Banyaknya tawuran juga disebabkan masih tingginya tingkat pengangguran di Palembang,” kata Ngajib.
Melihat kompleksnya penyebab tawuran di Palembang, Ngajib meminta keterlibatan semua pihak agar kasus ini tidak meningkat dan menjadi momok bagi masyarakat sekitar. Pengaktivan lagi sistem keamanan keliling menjadi salah satu jalan.
Lurah 20 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Kota Palembang, Muttaqin mengatakan, di kawasannya juga kerap terjadi tawuran antar-pemuda. Kondisi ini terjadi karena kurangnya keterlibatan tokoh masyarakat yang disegani untuk memperingatkan anak muda tersebut. Padahal, pendekatan secara langsung lebih efektif dibanding tindakan yang represif.
Sebenarnya kebiasaan nujah di Palembang sudah hilang sejak 2005 lalu. Sejak saat itu, sudah jarang orang membawa senjata tajam, tetapi entah mengapa saat ini kembali marak. ”Mungkin pengawasan dari masyarakat sudah semakin pudar,” katanya. Oleh karena itu, ia berharap agar digalakkan lagi siskamling sehingga keamanan dapat kondusif hingga lingkup terkecil.
Komandan Kodim 0418 Palembang Kolonel Inf Sumarlin Marzuki mengatakan, jika hanya mengandalkan kerja aparat tentu tawuran yang marak ini tidak akan hilang. ”Orang yang tawuran pasti sudah tahu kapan petugas akan patroli dan kapan tidak. Saat patroli berlangsung, kondisi akan aman, tetapi ketika patroli selesai, potensi tawuran tinggi lagi,” ujarnya.
Berbeda halnya jika mitigasi sudah mulai dilakukan dari lingkup terkecil. Karena itu, ucap Sumarlin, perlu ada peran dari tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mengingatkan anak muda agar tidak lagi mengedepankan tawuran untuk mencari jati diri. ”Kepekaan sosial tentu harus dikedepankan bukan hanya peduli pada diri sendiri, melainkan juga lingkungan sekitar,” ujarnya.