Tahun ini, perayaan Imlek di kawasan Kampung Pecinan di sudut Kota Bandar Lampung kembali meriah dengan adanya atraksi barongsai. Seni tradisi masyarakat Tionghoa ini menjadi potret keberagaman di Lampung.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat perayaan Imlek di Lampung terasa sunyi tiga tahun terakhir. Tahun ini, perayaan Imlek di kawasan Kampung Pecinan di sudut Kota Bandar Lampung kembali meriah dengan adanya atraksi barongsai. Seni tradisi masyarakat Tionghoa ini menjadi potret keberagaman di Lampung.
Selasa (17/1/2023), alunan musik dari tabuhan gong, tambur, dan simbal terdengar riuh dari lantai dua gedung Yayasan Dharma Bhakti di Kelurahan Pesawahan, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung. Malam itu, 12 pemuda yang tergabung dalam Grup Barongsai Dharma Bakti Berdikari tengah latihan untuk tampil di perayaan Imlek. Tiga pemuda bertugas sebagai penabuh alat musik dan satu orang sebagai pengatur gerak. Sementara, delapan pemuda lain menjadi pemain barongsai.
Para pemain barongsai lihai meliuk-liukkan badan mengikuti alunan musik. Mereka menari, melompat-lompat, berjongkok, dan memperagakan gerakan naik ke pundak satu sama lain. Setelah lima belas menit pertama latihan, mereka beristirahat.
Dari 12 anggota grup, hanya satu orang yang merupakan keturunan asli Tionghoa. Sebelas orang lainnya adalah warga sekitar dari berbagai suku dan agama yang berbeda.
”Tahun ini kami harus latihan lebih giat setelah tiga tahun tidak tampil,” ucap M Basir (30), nelayan keturunan suku Lampung yang mempelajari barongsai sejak remaja.
Selain latihan, mereka juga membersihkan kostum barongsai yang mulai lusuh karena tak pernah digunakan. Siang harinya, para pemuda itu sibuk mengecat ulang kepala barongsai yang terlihat kusam dan memperbaiki jenggot barongsai yang rusak.
Saat Imlek, mereka biasanya pentas di kawasan Kampung Pecinan di Jalan Ikan Kakap, Kelurahan Pesawahan, yang menjadi salah satu lokasi pusat perayaan Imlek di Bandar Lampung. Di dekat lokasi itu, berdiri Wihara Thay Hin Bio, tempat ibadah bagi Umat Buddha tertua di Lampung. Wihara yang berdiri sejak tahun 1896 itu selalu ramai saat perayaan Imlek.
Tak hanya masyarakat Tionghoa, atraksi barongsai juga dinikmati ribuan orang dari berbagai suku dan agama yang hidup berdampingan Lampung. Barongsai menjadi atraksi yang menggambarkan keberagaman dan keharmonisan masyarakat Lampung.
Kemauan untuk merawat budaya dan keberagaman yang dilakukan para pemuda itu tentu butuh pengorbanan. Basir, misalnya, rela izin tak melaut sejak bulan lalu untuk berlatih. Irfan Irawan (35), warga keturunan Tionghoa, memilih istirahat jualan mi tek-tek untuk sementara waktu. Adapun Asep Saifullah (21), pemuda berdarah Sunda, berhenti sejenak dari pekerjaaanya sebagai ojek daring.
Asep belajar bermain barongsai sejak usia 13 tahun. Ia tertarik menjadi pemain setelah menyaksikan atraksi barongsai di Kampung Pecinan, tak jauh dari rumahnya, pada perayaan Imlek tahun 2014 silam.
Selain belajar bermain barongsai, Asep juga belajar menabuh tambur dari Rayen Sentana, pemuda keturunan Tionghoa yang menjadi teman akrabnya. Sayangnya, Asep tak bisa lagi berlatih bersama dan mengucapkan selamat Imlek pada sahabatnya itu. Rayen meninggal karena sakit pada tahun 2020.
”Kalau lupa dengan alunan musiknya, saya hanya bisa melihat video-video lama saat berlatih memainkan tambur bersama Rayen,” kata Asep berkaca-kaca.
Ia bertekad terus bermain barongsai dan berlatih tambur demi mengenang persahabatannya dengan Rayen. Kini, ia juga mulai mengajari teman-temannya bermain tambur. Ia ingin, tradisi itu terus lestari.
Sementara bagi Irfan, barongsai juga telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Saat bermain barongsai di perayaan Imlek beberapa tahun silam, ia bertemu seorang gadis cantik keturunan Jawa yang kini menjadi istrinya.
Begitu pun ketika anak pertamanya meninggal, teman-temannya di grup barongsai itu yang pertama kali datang ke rumahnya untuk menyampaikan bela sungkawa. ”Bagi saya, barongsai ini membawa hoki, sekaligus teman setia saat berduka. Kami semua bersaudara walaupun berbeda suku dan agama,” ucapnya.
Persaudaraan
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Lampung Christian Chandra memuji semangat anak-anak muda di Lampung untuk turut melestarikan seni tradisi barongsai. Ia berharap atraksi barongsai dan perayaan Imlek tahun ini semakin mempererat persaudaran dan keharmonisan masyarakat Lampung.
”Saat Imlek, ada juga tradisi berbagai kue keranjang, tak hanya untuk keluarga dari keturunan Tionghoa. Di Lampung, Imlek itu milik semuanya,” katanya.
Menurut Christian, warga keturunan Tionghoa di Lampung saat ini diperkirakan berjumlah lebih dari 100.000 orang. Mereka hidup berdampingan dan berbaur dengan masyarakat berbagai suku di 15 kabupaten/kota di Lampung. Tak sedikit pula warga Tionghoa yang kemudian menikah dengan warga dari suku lain.
Selama ini, PSMTI Lampung juga turut merawat keharmonisan dan keberagaman masyarakat Lampung lewat berbagai kegiatan sosial. Selain donor darah, pihaknya juga secara rutin mengadakan bakti sosial untuk masyarakat luas. Mereka juga terlibat dalam berbagai kegiatan seni budaya masyarakat Lampung.
”Kami juga belajar seni karawitan,” ucapnya.
Dalam sejarahnya, atraksi barongsai pernah dilarang dipentaskan secara terbuka pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat itu, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang isinya membatasi kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China di ruang publik.
Warga keturunan Tionghoa di Lampung saat ini diperkirakan berjumlah lebih dari 100.000 orang. Mereka hidup berdampingan dan berbaur dengan masyarakat berbagai suku di 15 kabupaten/kota di Lampung. Tak sedikit pula warga Tionghoa yang kemudian menikah dengan warga dari suku lain. (Christian Chandra)
Inpres itu kemudian dicabut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hingga saat ini, atraksi barongsai menjadi salah satu seni tradisi yang dilestarikan dan dinikmati oleh masyarakat dari berbagai suku dan agama.
Dosen sosiologi Universitas Lampung, Pairul Syah, berpendapat, keharmonisan hubungan warga keturunan Tionghoa dengan masyarakat Lampung sudah berlangsung sejak lama dan masih terjaga hingga kini. Sejarah transmigrasi juga menunjukkan, wilayah Lampung sudah terbuka bagi masyarakat dari berbagai budaya di Tanah Air. Walaupun beberapa tahun belakangan, Lampung juga menjadi daerah persembunyian anggota jaringan teroris. Namun, hal yang patut disyukuri, perbuatan keji akibat radikalisme, seperti bom bunuh diri, tidak pernah terjadi di Lampung.
Menurut Pairul, Lampung dipilih menjadi daerah persembunyian teroris karena lokasinya yang dianggap strategis dan dekat dengan Ibu Kota. Masyarakatnya juga cenderung terbuka dengan pendatang. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk bersembunyi dan menyaru dengan masyarakat.
Karena itulah, perayaan Imlek ini menjadi momentum untuk memperkuat kembali rasa persaudaraan dan toleransi di Tanah Air. Seperti harapan dalam atraksi barongsai, yakni memberi keberuntungan dan kebahagiaan, serta mengusir berbagai hal buruk.