Karena Warga Tionghoa Tak Sekadar Piawai Berbisnis dan Jual Beli
Warga Tionghoa berkiprah dalam beragam karya dan bentuk. Dokumentasi yang ditampilkan dalam pameran ”Sintjhia” menegaskan bahwa aktivitas mereka bukan sekadar berdagang dan jual beli saja.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Warga Tionghoa memiliki banyak cerita dan karya di bumi Nusantara. Dokumentasi yang ditampilkan dalam pameran ”Sintjhia” di Bentara Budaya Yogyakarta membuktikan ragam kiprah mereka sungguh nyata dan tidak sekadar berkutat seputar urusan bisnis atau jual beli semata.
Dibuka pada Senin (16/1/2023), pameran ”Sintjhia” digelar selama sembilan hari hingga 25 Januari 2023. Pameran ini menampilkan puluhan karya seni hingga media cetak yang dibuat oleh warga Tionghoa selama tahun 1910 hingga tahun 1960-an. Karya seni yang ditampilkan antara lain karya seni fotografi, cerita bergambar, seni ilustrasi cerpen, cerpen, dan komik. Karya komik Sie Djin Koei yang populer di masanya, satu di antara yang ditampilkan.
Ada pula cerita bergambar tanpa teks atau yang biasa disebut sebagai komik strip. Sejumlah koran dan sekitar 50 majalah terbitan warga Tionghoa ditampilkan dalam lemari. Pameran ini juga menyajikan sejumlah peralatan memasak khas Tionghoa, seperti alat membuat kue gapit dan panci kukusan.
”Dibuat oleh warga Tionghoa, semua yang ditampilkan dalam pameran ini adalah cerita mereka tentang Indonesia,” ujar Hermanu, kurator Bentara Budaya Yogyakarta, ditemui di sela-sela pembukaan pameran, Senin.
Semua yang ditampilkan dalam pameran didapatkan dari penelusuran dari koran dan majalah Tionghoa yang terbit dari masa Antarbellum, yaitu masa setelah Perang Dunia I, masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa awal Indonesia merdeka.
Hermanu mengatakan, dokumentasi ini membuktikan bahwa warga Tionghoa juga memiliki ragam kreasi dan karya yang demikian kaya. Sempat menghadapi tekanan di masa Orde Baru, aktivitas masyarakat Tionghoa, termasuk dalam berkesenian, sempat mati suri. Namun, semangat berkarya dan berkesenian mereka juga tidak pernah benar-benar berhenti.
Karya-karya seni lukis, misalnya, masih tetap ada hingga kini. Cerita-cerita komik juga tetap berlanjut dengan nama tokoh-tokoh baru yang berbeda dengan sebelumnya.
”Yang sekarang benar-benar mati dan tidak pernah ditemui lagi mungkin hanyalah media cetak seperti koran dan majalah Tionghoa saja,” ujar Hermanu.
Seniman dan maestro tari, Didik Nini Thowok, mengatakan, salah besar jika menganggap bahwa warga Tionghoa hanya sibuk berkutat pada urusan bisnis dan kurang tertarik pada seni budaya. ”Banyak orang Tionghoa menjadi penggerak dan pelaku seni budaya. Bahkan, ketika melakukannya, mereka benar-benar total terlibat di dalamnya,” ujarnya.
Didik, yang juga seorang warga keturunan Tionghoa, mengatakan, dalam penelitian yang sering dilakukan dan pergaulannya dengan sesama seniman serta lingkungan sekitar, dia banyak menemukan orang Tionghoa terlibat sebagai pelaku seni. Di Malang, misalnya, pernah terbentuk grup wayang orang Ang Hien Ho, di mana semua pemainnya adalah warga Tionghoa.
Di kota itu pula pernah ada seorang warga Tionghoa yang piawai menari tarian Jawa dan sering diminta pentas di hadapan Presiden Soekarno. Akhirnya, penari itu, bernama Nelly le, mendapatkan nama Jawa dari Soekarno, yakni Ratna Juwita.
Di masa kecilnya, Didik juga mengenal orang Tionghoa yang diketahuinya luwes menari tari Cakil. Penari sekaligus penjaja bumbu masakan itu kerap datang ke rumah karena ibu Didik menjadi pelanggan bumbu masakan yang dijualnya.
”Menari adalah aktivitas yang dijalani di sela-sela pekerjaannya sehari-hari menjadi penjaja bumbu masakan,” ujarnya.
Aktivitas kesenian warga Tionghoa juga tidak pernah mati. Di tengah tekanan di masa pemerintahan Orde Baru, kesenian tetap bisa lestari karena berbagai ragam seni, khususnya tari, melakukan akulturasi dengan budaya daerah setempat, termasuk budaya Jawa.
Di Keraton Yogyakarta dan Solo, misalnya, Didik mengatakan, bentuk akulturasi terjadi pada tari Srimpi, yang menampilkan kisah putri China. Di Bali pun ada tarian tertentu yang menampilkan kisah warga Tionghoa.
Cerita-cerita dari komik Sie Djin Koei, menurut dia, juga dipakai menjadi cerita ketoprak Jawa dengan nama-nama tokoh di dalamnya diganti menjadi nama Jawa. ”Dalam ketoprak tersebut, nama Sie Djin Koei pun diubah menjadi Sudiroprono,” ujarnya.
Dalam pandangannya, kesenian menjadi jalan terbaik untuk menyatukan dan memupus habis semua perbedaan segala bentuk, ras, dan golongan.
”Kesenian adalah media yang sangat cair dan tanpa sekat,” ujarnya.
Trauma
Bernie Lim (78), pemerhati seni budaya Tionghoa di Yogyakarta, mengatakan, hingga saat ini, kesenian tetap bisa lestari. Namun, tekanan dari pemerintah di masa Orde Baru tetap meninggalkan jejak dan dampak traumatis pada kalangan orangtua. Hal itu pada akhirnya menghambat proses pewarisan adat tradisi Tionghoa pada generasi muda.
”Banyak orang muda Tionghoa sekarang tidak lagi mengetahui, mengenal adat tradisinya sendiri, karena orang-orang tua di keluarga mereka memilih diam, serta tidak bercerita tentang tradisi dan sejarah di masa lalu,” ujarnya.
Bernie mengatakan, salah satu hal yang cukup traumatis dan sulit dilupakan di masa Orde Baru adalah saat warga Tionghoa tidak boleh memakai nama asli dan harus mengubah namanya menjadi nama pribumi.
Tekanan dan sunyinya aktivitas masyarakat Tionghoa selama 32 tahun, menurut dia, juga terasa sangat menyedihkan. Karena tekanan di masa itu, Bernie sangat terharu dan bahagia ketika akhirnya bisa melihat liong dan barongsai di masa reformasi.
Salah satu hal yang cukup traumatis dan sulit dilupakan di masa Orde Baru adalah saat warga Tionghoa tidak boleh memakai nama asli dan harus mengubah namanya menjadi nama pribumi. (Bernie Lim)
Namun, ketika itu, dia pun belum sepenuhnya lega dan masih tetap cemas situasi akan kembali berubah. ”Ketika itu, saya tetap saja cemas, situasi politik berubah, dan kami kembali dilarang beraktivitas sama seperti di masa Orde Baru,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia pun sangat bersyukur situasi yang dirasakannya di masa reformasi tetap berlanjut hingga sekarang.
Warga Tionghoa tetap butuh kesempatan dan ruang untuk membangun dan mewarnai negeri. Karena mereka bukan sekadar ada untuk berdagang dan menghitung cuan....