Tradisi Imlek begitu beragam, tetapi rupanya tidak semua orang paham makna di baliknya. Hal ini berhubungan dengan sejarah politik yang terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Tradisi Imlek yang ada sekarang—seperti membersihkan rumah, menghias rumah dengan ornamen merah, dan menyiapkan hidangan khas—merupakan kebudayaan warisan dari nenek moyang. Meski tradisi itu masih dilakukan, tidak semua orang paham makna di baliknya karena memori kolektif orang Tionghoa sempat terputus di masa lalu.
Warga Pontianak, Kalimantan Barat, Ivanka (26) dan keluarganya, membersihkan rumah jauh-jauh hari sebelum Imlek, tepatnya sejak Desember 2021. Mereka selesai berbenah 4-5 hari sebelum hari H, seperti ajaran neneknya. Semua persiapan Imlek juga harus selesai di hari itu, mulai dari hidangan untuk tamu dan keluarga hingga baju baru.
”Tapi, saya tidak tahu kenapa harus 4-5 hari sebelum Imlek,” kata Ivanka saat dihubungi, Senin (31/1/2022).
Ia mengaku ada banyak makna tradisi Imlek yang tidak ia pahami. Ama (nenek) dan akongnya (kakek) pun kerap jadi rujukan untuk belajar tradisi berikut makna-makna di baliknya.
”Kebetulan ama dan akong adalah pendatang langsung dari China. Saya beruntung punya mereka yang bisa ditanya-tanya banyak hal. Jika tidak, pengetahuan soal tradisi pasti terputus,” ucap Ivanka.
Menurut peneliti dan pengamat budaya Tionghoa, Agni Malagina, putusnya pemahaman publik tentang budaya Tionghoa berhubungan dengan sejarah politik. Hal ini tidak hanya terjadi di masa Orde Baru, tetapi juga di masa kolonial.
”Pada 1740, terjadi pembantaian orang Tionghoa di Batavia. Dampak dari (peristiwa) ini cukup panjang, termasuk Perang Kuning,” ucap Agni.
Pembantaian yang menyebabkan ribuan orang Tionghoa tewas ini terjadi, antara lain, karena krisis ekonomi. Turunnya ekspor gula mendorong krisis politik, kemudian bermuara pada kekerasan dan pembantaian terhadap orang Tionghoa di Batavia. Hal ini juga memicu Perang Geger Pacinan.
Perang Geger Pacinan merupakan pertempuran orang Tionghoa dan Jawa yang bersatu melawan VOC atau Belanda. Perang ini disebut sebagai perang terbesar yang pernah dialami kompeni Belanda.
”Selain itu, di masa kolonial ada privilese bahwa orang yag masuk agama Kristen akan menjadi ‘warga kelas satu’. Hal ini sekaligus mengubah orientasi kebudayaan, bukan hanya budaya orang Tionghoa, tetapi juga yang lain. Menurut saya, ini dapat memicu putusnya ingatan budaya dan hilangnya regenerasi,” kata Agni.
Larangan merayakan Imlek secara terbuka saat Orde Baru juga memicu putusnya ingatan kolektif orang Tionghoa tentang budayanya. Larangan itu dicabut presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada tahun 2000. Pada 2001, Gus Dur menyatakan Imlek sebagai hari libur fakultatif atau berlaku hanya bagi mereka yang merayakan.
Larangan merayakan Imlek secara terbuka saat Orde Baru juga memicu putusnya ingatan kolektif orang Tionghoa tentang budayanya. Larangan itu dicabut presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada tahun 2000.
Pada 2002, presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002.
Agni menambahkan, globalisasi turut berperan dalam lunturnya sejumlah tradisi orang Tionghoa. Kemudahan akses informasi dan komunikasi membuat generasi muda menjadi warga dunia. Hal tersebut juga mempercepat akulturasi.
Terus berlangsung
Sebelumnya, budayawan Tionghoa, Aji Chen Bromokusumo, mengatakan, tidak semua generasi muda menghayati tradisi Imlek. Ini tidak masalah selama tradisi masih diajarkan orangtua.
”Berkurangnya penghayatan atas tradisi tidak hanya terjadi pada orang Tionghoa, tetapi juga di budaya lain. Ini bukan masalah selama masih dirawat dan dilestarikan,” kata Aji di Jakarta, Jumat. Terkikisnya penghayatan terhadap tradisi ia nilai sebagai konsekuensi paparan kemajuan global (Kompas, 26/1/2020).
Agni mengatakan, kendati generasi muda kerap tidak paham, tradisi yang masih dilakukan hingga sekarang merupakan bentuk penghargaan terhadap budaya. Dengan kreativitas, generasi muda memiliki cara sendiri untuk terhubung kembali dengan akar budayanya, misalnya dengan modifikasi busana ataupun pernak-pernik acara adat.
”Walau tidak mengerti makna atau filosofinya, anak muda tetap mengikuti tradisi dan berkumpul bersama keluarga. Pada akhirnya, esensi Imlek adalah kembali ke keluarga dan mempererat hubungan,” ucap Agni.
Walaupun demikian, menurut Agni, memahami makna tradisi tetaplah penting. Jika tidak, rasa kepemilikan terhadap tradisi akan sulit tumbuh. Padahal, rasa kepemilikan merupakan modal dasar pelestarian dan pemanfaatan budaya.
Di sisi lain, generasi muda saat ini merupakan generasi yang kreatif dan mau tahu. Mereka memiliki cara sendiri untuk terhubung kembali dengan akar budayanya.
Sebagai contoh, penyelenggara acara atau event organizer muda kini luwes memadukan budaya Tionghoa klasik dengan sentuhan modern. Misalnya, tulisan yi shuang xi (kebahagiaan ganda) pada acara pertunangan orang Tionghoa atau sang jit dulu kerap dibuat dengan warna merah. Kini, tulisan tersebut dibuat dengan warna kuning emas.
Warna merah dalam budaya Tionghoa melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran. Penggunaan warna kuning emas dinilai masih relevan karena juga berarti kemakmuran.
Selain itu, modifikasi produk budaya juga tampak dari beragamnya model dan bahan baju cheongsam. Ada yang memadukannya dengan batik, membuatnya dengan siluet ketat dan lebar, ada pula yang dibuat dengan potongan asimetris.
”Cheongsam kini tidak hanya bergaya ala Hong Kong tahun 1990-an,” ucap Agni.
Menurut dia, anak muda akan selalu mempunyai cara untuk menemukan budayanya, menggalinya, kemudian mengeksplorasinya sesuai perkembangan zaman. Hal ini dapat memicu tumbuhnya pemahaman baru tentang budaya.
”Mereka menggali dan memaknainya dengan cara yang baru. Bagi saya, mereka membawa pemaknaan (budaya) ke level selanjutnya dengan cara kreatif,” tambahnya.