Sidang Pidana Jadi Gerbang Pencarian Keadilan Korban Tragedi Kanjuruhan
Sidang pidana Tragedi Kanjuruhan yang dimulai pada Senin (16/1/2023) di Pengadilan Negeri Surabaya menjadi gerbang pencarian keadilan bagi keluarga korban. Sejumlah keluarga korban pun turut menghadiri sidang tersebut.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, menggelar sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan, Senin (16/1/2023). Peradilan perkara pidana itu menjadi gerbang pencarian keadilan bagi keluarga 135 korban meninggal dan lebih dari 600 korban luka.
Dalam sidang perdana itu, sejumlah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan turut hadir. ”Saya ingin ikuti sidangnya meski sudah enggak percaya dengan hukum,” kata Rini Hanifah (43), ibunda korban meninggal bernama Agus Riansyah, sebelum mengikuti sidang.
Rini datang ke Surabaya dengan naik sepeda motor dari tempat tinggalnya di Pasuruan, Jawa Timur. Dia kemudian bergabung dengan tiga perwakilan keluarga korban untuk menghadiri sidang tersebut.
Menurut Rini, penanganan Tragedi Kanjuruhan, insiden sepak bola yang dipicu penembakan gas air mata oleh petugas keamanan kepada suporter di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 malam, tidak memenuhi rasa keadilan. Hal itu, antara lain, terlihat dari jumlah tersangka yang hanya enam orang. Lima di antara enam tersangka itu telah mulai menjalani sidang.
”Korban meninggal 135 orang, tetapi terdakwa lima orang. Ini enggak masuk akal,” kata Rini.
Rini menuturkan, putra sulungnya yang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan itu bukanlah pelaku kejahatan. Agus yang biasa dipanggil ibunda dengan Si Tole adalah pemuda desa yang menjadi pendukung Arema FC. Anak pertama dari tiga bersaudara itu datang ke Stadion Kanjuruhan untuk melihat laga liga 1 antara klub kecintaannya dan Persebaya Surabaya.
”Malah dibantai, ditembaki. Andai yang menjadi korban itu keluarga pelaku, pejabat, mungkin prosesnya enggak ribet seperti ini,” ujar Rini.
Korban meninggal 135 orang, tetapi terdakwa lima orang. Ini enggak masuk akal. (Rini Hanifah)
Sepekan setelah insiden berdarah itu, Polri telah menetapkan enam orang sebagai tersangka. Namun, setelah sekitar tiga bulan penyidikan, Polri belum menetapkan tersangka baru. Selain itu, para terdakwa bukan pejabat strategis dan mereka pun dikenai dakwaan tuntutan hukuman ringan.
Enam tersangka itu ialah bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris, bekas security officer Suko Sutrisno, bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Dari enam tersangka itu, hanya Lukita yang belum menjalani sidang. Berkas perkara Lukita masih dilengkapi oleh Polda Jatim sehingga belum bisa didaftarkan untuk persidangan.
Sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya sejak pukul 10.00 WIB. Sidang itu dilarang disiarkan secara langsung. Kehadiran publik juga dibatasi dengan mengutamakan keluarga korban.
Kelima terdakwa tidak dihadirkan dalam Ruang Cakra melainkan mengikuti sidang secara daring dari rumah tahanan negara. Sidang dipimpin oleh majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya (ketua) dan Mangapul serta I Ketut Kimiarsa (anggota).
Sesuai nomor berkas perkara, sidang pembacaan tuntutan berlangsung berurutan yang dimulai dari Hasdarmawan kemudian Wahyu Setyo Pranoto, Bambang Sidik Achmadi, Suko Sutrisno, dan Abdul Haris.
Dalam pembacaan dakwaan, jaksa penuntut umum menyatakan, kelima terdakwa menyebabkan mati dan atau luka-luka orang lain karena kealpaan. Kelimanya didakwa melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana maksimal penjara 5 tahun.
Terdakwa Hasdarmawan, misalnya, didakwa memerintahkan penembakan gas air mata ke arah penonton di tribun yang memicu kericuhan di dalam Stadion Kanjuruhan. Akibatnya, penonton berdesakan dan berusaha keluar dari arena untuk menghindari dampak gas air mata. Namun, situasi itu berubah menjadi horor karena banyak korban yang sesak napas, terluka, terinjak, terjepit, dan kemudian meninggal di tempat atau saat dibawa ke rumah sakit.
Sementara itu, terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno juga didakwa melanggar Pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Seusai pembacaan dakwaan, Ketua Majelis Hakim, Abu Achmad Sidqi, mengatakan, sidang berikutnya dengan agenda pembacaan eksepsi terdakwa akan digelar pada Jumat (20/1/2023). Sidang kasus ini direncanakan dilaksanakan 2-3 kali dalam seminggu untuk percepatan.
Secara terpisah, Wakil Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Parnata mengatakan, sidang berikutnya akan digelar di tempat yang sama. Namun, Parnata belum dapat memastikan apakah sidang berikutnya bisa disiarkan secara langsung dan para terdakwa bisa dihadirkan.