Pembongkaran Pendopo Kepatihan Mangkunegaran Tak Sesuai Prosedur
Pembongkaran bangunan Pendopo Kepatihan Mangkunegaran di Kota Surakarta, Jawa Tengah, menimbulkan kontroversi. Prosedur pembongkaran dinilai tidak sesuai dengan kaidah pemugaran cagar budaya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Pembongkaran bangunan Pendopo Kepatihan Mangkunegaran di Kota Surakarta, Jawa Tengah, menimbulkan kontroversi. Pemilik bangunan mengklaim, pembongkaran dilakukan untuk revitalisasi. Namun, prosedur pembongkaran itu dinilai tidak sesuai dengan kaidah pemugaran cagar budaya.
Pendopo Kepatihan Mangkunegaran berlokasi di Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Dulu, bangunan itu merupakan milik Kadipaten Mangkunegaran, salah satu kerajaan tradisional di Surakarta. Namun, saat ini bangunan tersebut merupakan milik perseorangan.
Dari sisi historis, keberadaan bangunan itu dinilai punya makna penting karena disebut berkait dengan cikal bakal perkembangan penyiaran radio amatir yang diinisiasi oleh Mangkunegara VII pada tahun 1933. Hal itu ditandai lewat berdirinya Solo Radio Vereening (SRV).
Namun, bangunan tersebut ternyata telah dibongkar. Pembongkaran bangunan bersejarah tersebut ramai diperbincangkan sejak Kamis (12/1/2023).
Kepala Bidang Pembinaan Sejarah dan Pelestarian Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta Sungkono menyampaikan, pihaknya telah melakukan klarifikasi kepada pemilik bangunan terkait dengan pembongkaran Pendopo Kepatihan Mangkunegaran.
Pemilik bangunan mengklaim, pembongkaran itu merupakan bagian dari proses revitalisasi pendopo tersebut. Informasi yang menyebut bahwa sang pemilik akan mendirikan bangunan lain di atas lahan itu juga dibantah.
”Sekarang, komponen bangunannya itu masih utuh di sana. Yang dibongkar mau dibenahi dan dikembalikan lagi. Barang-barangnya (komponen bangunan) masih disimpan,” kata Sungkono saat ditemui di kantornya, Jumat (13/1/2023).
Namun, Sungkono menyebut, proses revitalisasi yang dilakukan itu bermasalah. Hal ini karena pemilik bangunan tak melakukan kajian teknis terlebih dahulu sebelum melakukan revitalisasi.
Padahal, Pendopo Kepatihan Mangkunegaran telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor 432.2/310 Tahun 2019. Bahkan, prasasti penanda juga didirikan di dekat lokasi pendopo tersebut.
Selain itu, sejak setahun lalu, Sungkono mengaku telah menyarankan pemilik bangunan untuk membuat kajian teknis sebelum revitalisasi dilakukan. Namun, saran itu ternyata tak dituruti.
Di sisi lain, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta juga sempat memperoleh dua kali laporan dari masyarakat lewat Unit Layanan Aduan Surakarta (ULAS) mengenai pembongkaran tersebut.
”Itu (saran kajian teknis) sudah beberapa kali saya katakan kepada mereka. Sepertinya tidak diindahkan. Tahu-tahu sudah dibongkar,” kata Sungkono.
Proses revitalisasi yang dilakukan itu bermasalah. Hal ini karena pemilik bangunan tak melakukan kajian teknis terlebih dahulu sebelum melakukan revitalisasi.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Surakarta Nur Basuki menyampaikan hal serupa. Menurut dia, kajian teknis sebagai syarat revitalisasi ternyata belum ada. Oleh karena itu, pihaknya mengirimkan surat perintah kepada pemilik bangunan untuk menghentikan sementara pengerjaan yang dilakukan.
”Itu ada kesalahan prosedur. Itu saja yang dipakai jadi acuan. Pengerjaannya berhenti sampai persyaratannya nanti dipenuhi semua,” kata Basuki.
Dihubungi terpisah, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah Sukronedi mengatakan, kajian teknis merupakan syarat mutlak dalam revitalisasi cagar budaya. Kajian itu menjadi pedoman bagi pelaksanaan revitalisasi. Dengan kajian teknis, proses pemugaran bisa dilakukan tanpa merusak bangunan sejarah.
”Dari hasil kajian bisa diketahui, apa saja yang akan direvitalisasi. Mana saja yang harus dipertahankan atau boleh dibongkar. Itu nanti di lapangan bisa diketahui perencanaannya mau seperti apa begitu,” kata Sukronedi.
Sukronedi menambahkan, pengerjaan revitalisasi tanpa menempuh kajian teknis tidak diperbolehkan. Bahkan, tindakan itu bisa dianggap sebagai perusakan cagar budaya. Di sisi lain, kriteria cagar budaya hanya bisa diperoleh jika bangunan tersebut sudah terdaftar dan memenuhi syarat sebagai cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.