Negeri Pecel Itu Bernama Madiun
Madiun tidak hanya terkenal dengan brem atau pendekar silatnya, daerah di sisi barat Provinsi Jawa Timur itu juga terkenal dengan kuliner pecelnya yang khas.
”Mau pecel SBY atau Jokowi?” tanya seorang kawan saat hendak menuju ke salah satu warung pecel pincuk di Kota Madiun, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Kedua warung yang pecelnya pernah dinikmati presiden itu, menurut dia, punya taste berbeda.
Benar saja, begitu sampai di lokasi, suasana kedua warung sudah ramai oleh pembeli. Padahal, jarum jam baru lepas pukul 07.00. Sebagian dari mereka berasal dari luar daerah yang datang secara rombongan.
Selain suasananya sama-sama ramai, kedua warung juga memiliki persamaan lain, yakni memajang foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo di dinding masing-masing.
Begitulah, pecel sudah menjadi bagian yang seolah tidak bisa dipisahkan dari Madiun. Kabupaten/kota di wilayah barat Provinsi Jawa Timur ini identik dengan kuliner pecel yang memiliki kekhasan dibandingkan daerah lain yang memiliki kuliner serupa.
Tidak sulit menemukan pecel di kawasan ini. Sejak dari perbatasan dengan kabupaten lain, warung pecel, khususnya pecel pincuk daun pisang, bertebaran di banyak tempat. Mulai dari pedagang kaki lima yang memanfaatkan gerobak dengan tenda sampai yang menempati bangunan permanen berupa rumah makan di pusat kota.
Bahkan, dibandingkan dua dekade lalu, kuliner berupa campuran aneka sayuran dengan bumbu sambal kacang itu kini lebih kentara. Di kawasan Madiun utara, di sepanjang jalan raya Surabaya-Solo, Kecamatan Balerejo dan Mejayan, misalnya, warung-warung pecel kini lebih terekspos berdekatan satu sama lain dengan papan-papan nama mencolok.
Padahal, dulu, di kawasan itu hanya ada beberapa rumah makan—sebagian menjadi lokasi transit pengendara yang melintas, termasuk bus patas antarkota antarprovinsi—yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dengan beberapa menu, seperti rawon, soto, pecel, dan masakan jawa timuran lainnya.
Tak hanya tersebar, mereka juga buka siang-malam. Jika di Yogyakarta ada gudeg yang menghidupkan suasana kota sampai larut; di Cirebon, Jawa Barat, ada nasi jamblang; di Banyuwangi, Jawa Timur, ada sego tempong; maka pecel-lah yang ”menghidupkan” Madiun.
Menu yang disukai semua golongan ini pun kemudian dilekatkan sebagai salah satu julukan kota itu, yakni ”Madiun Kota Pecel”, selain julukan lain, seperti ”Kota Brem” atau ”Kota Pendekar”.
Baca juga : Janji Sepiring Papeda di Pulau Morotai
”Saya selalu mampir ke sini dan menikmati pecel,” ujar Tino (30), warga Surabaya yang baru saja menyantap nasi pecel dengan lauk rempeyek dan paru goreng di salah satu warung di trotoar Jalan Cokroaminoto, Kejuron, Kota Madiun, beberapa waktu lalu.
Bersama dua rekannya, Tino menembus malam yang gerimis demi mengisi perut di warung langganannya itu. Setiap dua bulan sekali, dia pergi ke kota yang berjarak 160 kilometer dari Surabaya itu untuk urusan bisnis.
Menurut dia, pecel Madiun punya cita rasa tersendiri, yakni pedas, manis, dan gurih. ”Bumbu sambal kacangnya kerasa beda, pedes, manis. Pecel di daerah lain ada yang manisnya saja. Ada juga yang memakai tambahan sambal tumpang, seperti di Kediri. Di Surabaya juga ada pecel, yang terkenal di Pandegiling, tapi rasanya beda,” katanya.
Berbeda dengan Tino yang berburu pecel malam, sekelompok ibu-ibu dari beberapa daerah di Indonesia memilih menikmati pagi di salah satu warung pecel legendaris di kawasan Pasar Besi Joyo, Klegen, Kartoharjo. Mereka adalah mahasiswa tahun 1980-an yang tengah mengadakan reuni di Madiun.
”Saya langganan pecel ini sejak kecil, sejak masih SD, bersama ibu saya,” ujar Rina Sulistyowati (40) selaku tuan rumah reuni. Pagi itu, Rina mengajak beberapa teman kosnya waktu kuliah di Surabaya menikmati sejumlah kuliner khas Madiun, salah satunya pecel. Mereka kini tinggal di kota lain, seperti Surabaya, Bali, Solo, Gresik, dan Medan.
Menurut Rina, pecel yang mereka nikmati memiliki ciri khas, yakni lauknya lebih empuk dan terasa. Sementara bumbu pecelnya tidak terlalu pedas. ”Pas banget di lidah, terutama bagi mereka yang tidak terlalu suka pedas,” katanya.
Salah satu rekan Rina, Titin (40), yang kini tinggal di Bali mengamini hal itu. Menurut dia, di Bali banyak warung pecel, namun rasanya berbeda dengan di Madiun. Saat itu, Titin memilih menu mix, rawon campur pecel. ”Baru kali ini saya coba menu campur,” ucapnya.
Pecel Madiun memang kaya cita rasa dan punya ciri khas berbeda. Hendro Prasetyo (48), pemilik warung pecel Yu Gembrot di Klegen, mengatakan, pecel Madiun tidak menggunakan kunci sebagai salah satu unsur bumbu sambal. Hal ini berbeda dengan pecel di wilayah Nganjuk ke timur yang menggunakan kunci.
Selain itu, ada beberapa jenis sayur yang tidak dijumpai di daerah lain, seperti timun krai. Sementara beberapa sayuran yang biasa ada di pecel Madiun adalah kacang panjang, kembang turi, bayam, pepaya, dan daun singkong.
Pecel Yu Gembrot berdiri sejak 1942. Selain di Klegen, warungnya juga ada di Jalan HOS Cokroaminoto dan beberapa rest area di Tol Trans-Jawa. Hendro adalah generasi ketiga. Awalnya, neneknya berjualan secara keliling, lalu dilanjutkan oleh sang ibu pada tahun 1974.
Tidak hanya pelanggan biasa dan artis, menurut Hendro, Presiden Joko Widodo dua kali menikmati menu pecelnya, yakni tahun 2016 dan 2018. Momentum itu pun dia abadikan dalam bingkai foto yang terpasang di dinding warungnya bersama sejumlah artis Ibu Kota.
Baca juga : Kuliner Banyuwangi Menggoda Lidah
”Tahun 2016 saya diundang ke Ponorogo (Presiden melakukan kunjungan kerja di Ponorogo) dan 2018 saya diundang ke Madiun. Lauk favorit Presiden, daging,” ujarnya.
Keberadaan pecel di Madiun terus berkembang. Marlina (40) dari warung Sri Tanjung mengatakan, jumlah warung pecel terus bertambah. Begitu pula setiap ada kegiatan, menu pecel menjadi suguhan utama.
Dengan harga Rp 7.000 per pincuk, pembeli bisa menambahkan beragam lauk yang disukai di warung Sri Tanjung, seperti daging, paru, otak, jeroan, dan ayam, dengan harga mulai dari Rp 2.000 per buah. Buka hampir 24 jam, menurut Marlina, pihaknya biasa menghabiskan 50 kilogram beras setiap hari.
Jumlah ini bisa meningkat saat hari raya Idul Fitri tiba. Selain nasi pecel siap santap di lokasi, pihaknya juga menyedikan bumbu pecel kemasan siap saji yang bisa dikirim ke daerah lain.
”Kemarin kami mengirim bumbu pecel ke Papua sebanyak 1 kuintal untuk dijual lagi di sana. Ke Malang dua minggu sekali sampai 50 kilogram. Saat Lebaran tiba, kadang kami tidak mampu memenuhi permintaan. Lebaran kemarin kami membuat 2 kuintal sambal kacang,” ujarnya.
Begitulah, meski pecel menyebar ke banyak daerah dengan sejumlah variasi rasa, pecel Madiun punya kekhasan tersendiri. Dan penikmat kuliner belum lengkap rasanya kalau belum mencoba pecel dari kawasan ini.