Penetapan Hutan Adat di Danau Toba Jadi Solusi Konflik Agraria
Dari 74.157 hektar wilayah adat di kawasan Danau Toba, baru 6.400 hektar yang mendapat SK penetapan dari KLHK. Kemauan politik pemda dan pemerintah pusat sangat minim dalam mengakui dan melindungi hak masyarakat adat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Konflik agraria di kawasan Danau Toba masih terus terjadi karena minimnya penetapan hutan adat. Dari 74.157 hektar wilayah adat di kawasan itu, baru 6.400 hektar yang mendapat penetapan hutan adat. Kemauan politik pemerintah daerah dan pusat sangat minim dalam mengakui dan melindungi hak ulayat masyarakat adat.
Hal itu menjadi benang merah diskusi bertajuk ”Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Tahun 2022” di Medan, Sumatera Utara, Senin (9/1/2023). Konflik antara masyarakat adat dengan pemegang konsesi dan pemerintah sebagai pemegang hutan negara terus terjadi.
”Sepanjang tahun 2022, kriminalisasi dan intimidasi masyarakat adat juga meningkat. Ada 14 masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum karena mempertahankan wilayah adatnya,” kata Ketua AMAN Wilayah Tano Batak Roganda Simanjuntak.
Roganda menjelaskan, konflik agraria di kawasan Danau Toba sudah lebih dari 30 tahun terjadi. Sebagian besar konflik terjadi sejak kawasan hutan adat dan hutan negara dilepaskan sebagai konsesi hutan tanaman industri kepada PT Toba Pulp Lestari. Titik terang penyelesaian konflik agraria terlihat setelah Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat kepada enam komunitas adat, Februari 2022.
Empat komunitas yang mendapat SK Penetapan Hutan Adat itu adalah Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan, Bius Huta Ginjang, Aek Godang Tornauli (Tapanuli Utara), dan Pandumaan Sipitu Huta (Humbang Hasundutan). ”Dua komunitas lagi hanya mendapatkan SK Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat justru karena Bupati Toba Poltak Sitorus tidak mau mengeluarkan SK bupati penetapan masyarakat adat, yakni Janji Maria dan Simenak Henak,” kata Roganda.
Roganda menyebut, tahun ini hanya Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang mengajukan penetapan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada tujuh komunitas masyarakat adat yang mengajukan, yakni Masyarakat Adat Simardangiang mengajukan penetapan 6.500 hektar, Janji Angkola 9.300 hektar, Lumban Toruan 3.770 hektar, Siunggas 17.800 hektar, Pancur Batu 8.900 hektar, Tapian Nauli 2.010 hektar, dan Bona Ni Dolok 1.600 hektar.
”Saat ini prosesnya di tahap verifikasi oleh Pemkab Tapanuli Utara. Kami berharap tahun ini bisa mendapatkan penetapan hutan adat. Tujuh komunitas masyarakat adat itu menghadapi konflik dengan pemegang konsesi dan hutan negara,” kata Roganda.
Dia pun meminta pemkab lainnya di kawasan Danau Toba mendorong penetapan hutan adat. Namun, kemauan politik dari tiap-tiap kepala daerah tidak terlihat karena tersandera juga dengan kepentingan politik di tingkat lokal.
Di Kabupaten Toba, misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Toba sudah mengesahkan Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir. Namun, Bupati Toba tidak mau mengeluarkan SK bupati sebagai aturan turunan untuk penetapan masyarakat adat.
Di Humbang Hasundutan, perda secara khusus hanya mengatur satu komunitas masyarakat adat, yakni Pandumaan-Sipituhuta. Sudah tiga tahun perda itu didorong untuk direvisi agar bisa menjadi payung hukum untuk semua komunitas masyarakat adat, tetapi DPRD dan bupati tidak menindaklanjutinya.
Banyak perda yang tidak bisa disahkan dengan alasan tidak ada anggaran.
Di Kabupaten Samosir, perda sudah disahkan DPRD Kabupaten Samosir, tetapi digantung tidak mendapatkan penomoran sehingga belum bisa berlaku. ”Di Simalungun, meskipun banyak konflik agraria terjadi di sana, pemkab ataupun DPRD tidak pernah mau mengeluarkan perda perlindungan masyarakat adat,” kata Roganda.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi mengatakan, sepanjang 30 tahun, konflik agraria berlangsung di kawasan Danau Toba hampir tanpa solusi berarti. Kehadiran perusahaan hutan tanaman industri juga tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
”Di Kabupaten Samosir, misalnya, ada 40.000 hektar konsesi hutan tanaman industri, tetapi persentase penduduk miskin di daerah itu sangat tinggi, yakni 12,52 persen,” kata Delima.
Dia menyebut, pejabat-pejabat pemerintah tampak bangga mengenakan pakaian adat, tetapi di balik itu tidak pernah mengedepankan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat. Anggaran untuk membuat perda saja sangat sulit disetujui pemerintah. Banyak perda yang tidak bisa disahkan dengan alasan tidak ada anggaran.
Pemerhati masyarakat adat, Abdon Nababan, mengatakan, wilayah adat sangat penting dalam kehidupan masyarakat Batak yang mendiami kawasan di sekitar Danau Toba. ”Masyarakat Batak itu kalau ketemu hanya bertanya dua hal, apa marganya dan di mana huta (wilayah adatnya). Konflik agraria akan terus terjadi jika hak ulayat masyarakat adat dirampas karena huta menjadi bagian yang sangat penting bagi masyarakat,” ucapnya.
Abdon mempertanyakan komitmen politik pemerintah pusat ataupun DPR karena hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat tidak kunjung disahkan. Padahal, pengesahan RUU itu diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Pasal 18B. ”Apa yang diperjuangkan masyarakat adat adalah yang diperintahkan konstitusi, tetapi ironis karena tidak mendapat dukungan politik dari negara,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Huria Kristen Batak Protestan Nommensen, Janpatar Simamora, mengatakan, pengakuan masyarakat adat dimuat dalam amendeman ke-2 UUD 1945. Namun, sudah lebih dari 23 tahun amanat konstitusi itu belum bisa dilaksanakan negara.
Secara historis, kata Janpatar, masyarakat hukum adat lebih dulu ada dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum ada hukum negara, kehidupan masyarakat diatur oleh hukum adat, termasuk mengatur hak ulayat di wilayah adat. Hal itu yang menjadi dasar pengakuan konstitusi terhadap masyarakat hukum adat.
Janpatar mendorong agar pemerintah pusat memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat tahun ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemda bergerak duluan mengeluarkan perda dan SK kepala daerah karena ada desakan dari bawah. Pengesahan RUU Masyarakat Adat sangat penting untuk menjadi payung hukum penetapan masyarakat hukum adat.