Pakar Transportasi Sebut Jalan Tol Lingkar Luar Solo Bukan Solusi Kemacetan
Pakar transportasi menilai pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Timur-Selatan Solo tak akan menyelesaikan masalah kemacetan. Daripada membangun tol, pemerintah didorong mengoptimalkan transportasi publik.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Pakar transportasi menilai wacana pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Timur-Selatan Solo tak akan menyelesaikan permasalahan kemacetan di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Untuk mengatasi kemacetan, pemerintah daerah diharapkan meningkatkan layanan transportasi publik agar warga mau beralih dari kendaraan pribadi.
”Kita tidak harus selalu menambah prasarana (jalan tol). Karena, kalau menambah prasarana itu tidak akan menyelesaikan masalah,” kata pakar transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, saat dihubungi Senin (9/1/2023).
Djoko menyatakan, berkaca dari pengalaman di Jakarta, masalah kemacetan tak kunjung bisa diselesaikan meski penambahan jalan tol terus dilakukan. Pasalnya, penambahan jalan dinilai hanya akan memanjakan pengguna kendaraan pribadi.
Oleh karena itu, penambahan jalan diyakini memicu pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang menjadi pemicu utama kemacetan lalu lintas di jalan.
Djoko memaparkan, dirinya sebenarnya tidak anti terhadap pembangunan jalan tol. Namun, dia menyebut sangat disayangkan jika pembangunan tol yang dilakukan ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah kemacetan. Apalagi, jika pembangunan itu nantinya memakai banyak lahan pertanian produktif.
”Boleh saja tol itu dibangun. Tetapi, baiknya berupa tol layang. Memang jalan tol layang itu permasalahannya pada biaya, bisa sepuluh kali lipat nilainya dibandingkan jalan yang biasa. Jadi, kalau jalan itu dibangun dengan ketinggian tertentu, di bawahnya masih bisa dimanfaatkan untuk pertanian,” kata Djoko.
Daripada membangun jalan tol, Djoko menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan layanan transportasi publik bagi masyarakat. Keandalan layanan transportasi publik bisa mendorong masyarakat agar mau beralih dari kendaraan pribadinya. Dengan begitu, kemacetan lalu lintas bisa dikurangi.
Menurut Djoko, Surakarta sebenarnya sudah mempunyai keberpihakan terhadap transportasi publik. Hal itu dibuktikan dengan adanya rekayasa lalu lintas berupa contraflow atau lawan arus khusus untuk Batik Solo Trans di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di Surakarta.
Djoko menambahkan, karakteristik Surakarta sebagai daerah aglomerasi juga perlu diperhatikan. Sebagai aglomerasi, kota tersebut menjadi pusat aktivitas perekonomian warga dari kabupaten sekitarnya. Oleh karena itu, transportasi publik yang tersedia hendaknya juga menjangkau wilayah-wilayah sekitarnya.
”Kawasan-kawasan perumahan, seperti di Karanganyar, Sragen, dan Klaten, itu seharusnya juga dirambah dengan angkutan umum, khususnya bagi pekerja-pekerja yang ke Surakarta,” kata Djoko.
Seperti diketahui, rencana pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Timur-Selatan Solo ramai diperbincangkan sejak dua pekan terakhir. Terdapat tiga daerah di Jawa Tengah yang dilintasi jalan tersebut, yakni Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Klaten.
Namun, tiga kepala daerah tiga kabupaten itu merasa keberatan dengan rencana pembangunan Tol Lingkar Luar Timur-Selatan Solo. Sebab, proyek pembangunan itu akan mengurangi luas lahan pertanian produktif. Model pengelolaan jalan tol yang tertutup juga tidak bisa dimanfaatkan untuk aktivitas perekonomian warga sekitar yang terdampak proyek tersebut.
Usulan pembangunan jalan tersebut diajukan Pemerintah Kota Surakarta kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak tahun 2015. Usulan itu semula berupa permintaan pembangunan jalan lingkar nontol.
Pada 2021, usulan tersebut baru ditindaklanjuti kembali oleh Kementerian PUPR. Namun, rencana proyek tersebut berubah menjadi pembangunan jalan tol.
Kawasan-kawasan perumahan, seperti Karanganyar, Sragen, dan Klaten, itu seharusnya juga dirambah dengan angkutan umum. (Djoko Setijowarno)
Kepala Dinas Perhubungan Kota Surakarta Taufiq Muhammad menyampaikan, pihaknya telah melaksanakan kajian mengenai potensi kemacetan di Kota Surakarta. Berdasarkan kajian itu, lalu lintas di kota tersebut terancam macet total pada tahun 2031 apabila pemerintah tidak berupaya mengurangi kemacetan.
Upaya mengurangi kemacetan itu bisa berupa penambahan ruas jalan, pengurangan jumlah pelintasan sebidang, serta peningkatan layanan transportasi publik. ”Dalam hitungan ini, asumsinya terjadi pertumbuhan kendaraan 4 persen per tahun. Lalu, sebagian besar penduduk juga mengendarai kendaraan pribadi,” kata Taufiq.
Taufiq menambahkan, kondisi lalu lintas di Surakarta saat ini sudah cukup padat. Dia menyebut, dalam sehari, setidaknya ada 1,5 juta hingga 2 juta kendaraan yang lalu lalang di kota tersebut. Jumlah itu bisa meningkat sekitar 1,5 kali lipat pada masa liburan.
Pembangunan jalan lingkar, kata Taufiq, hanya salah satu opsi untuk mengatasi kemacetan di Surakarta. Dengan adanya jalan lingkar itu, konsentrasi kepadatan lalu lintas diharapkan bisa diurai.
Meski demikian, Taufiq menyatakan, opsi utama untuk mengatasi kemacetan lalu lintas tetap dilakukan dengan mendorong publik memanfaatkan angkutan umum. Namun, jangkauan transportasi publik di Surakarta belum bisa merambah ke semua kabupaten tetangga.
Padahal, mayoritas warga yang beraktivitas di Surakarta justru berasal dari daerah tetangga. Bahkan, jumlah kendaraan dari wilayah sekitar itu bisa mencapai 50 persen dari total pergerakan kendaraan di Surakarta dalam sehari.
”Jadi, kuncinya tetap public transport. Tetapi, yang sampai ke wilayah-wilayah itu kewenangan pembiayaannya dari pemerintah provinsi. Kami terus berusaha mengembangkan jaringan. Harapannya nanti masyarakat semakin mau beralih ke angkutan umum,” kata Taufiq.