Peluang IKN dan Impian Hilirisasi Industri
Lebih dari 100 tahun perekonomian di wilayah Kaltim tak beranjak dari lapangan usaha ekstraktif. Setelah Indonesia merdeka dan kini Kaltim berusia 66 tahun, bagaimana perekonomian warga Kaltim akan dibawa?
Pemandangan hilir mudik tongkang yang mengangkut berton-ton batubara sudah seperti hidangan di Sungai Mahakam yang alirannya melewati Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Selain semilir angin, warga yang berpakansi di sekitar sungai mau tak mau harus menikmati pemandangan ”emas hitam” itu.
Seperti penampakannya yang mencolok di perairan tersebut, struktur perekonomian Kalimantan Timur pun didominasi lapangan usaha pertambangan dan penggalian, di mana tambang batubara ada di dalamnya. Hal itu mudah terlihat dari data yang rutin dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Naik-turunnya pertumbuhan ekonomi Kaltim selalu bergantung pada lapangan usaha tersebut.
Pada triwulan II-2020, misalnya, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur minus 5,46 persen secara tahunan. Sektor pertambangan memiliki andil negatif terbesar, yakni 3,32 persen, akibat harga batubara yang terus menurun dan melambatnya permintaan ekspor.
Terakhir, setelah harga bat bara dan ekspor membaik, kinerja ekonomi Kalimantan Timur triwulan III-2022 mengalami pertumbuhan 5,28 persen secara tahunan. Sumber pertumbuhan ekonomi terbesar pun ada pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 1,74 persen. Selanjutnya, diikuti sektor lain yang tak sampai menyentuh angka 1 persen.
Pertambangan batubara begitu dominan dan berpengaruh dalam perekonomian Kaltim lantaran dapat mendatangkan uang cepat. Namun, batubara di Kaltim sebagian besar langsung dijual dalam bentuk barang mentah ke luar negeri. Lantaran bergantung ekspor, sektor ini pun amat bergantung pada perekonomian global.
Saat harga batubara dan permintaan dari luar negeri tinggi, pertumbuhan ekonomi Kaltim terdongkrak. Sebaliknya, saat terjadi konflik atau persoalan ekonomi dunia, sektor batubara bisa anjlok dan memengaruhi lesunya perekonomian Kaltim.
Ironinya, sektor pertambangan batubara tak menyerap banyak tenaga kerja. Hal itu terlihat dari survei Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2022 yang dirilis BPS. Sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap 71.542 perkerja, lebih rendah dibandingkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyerap 93.832 pekerja.
Lihat juga: Ritual Bersoyong Suku Paser
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, mengatakan, kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan. Ia memberi contoh, investor di bidang pertambangan butuh Rp 3 triliun-Rp 5 triliun untuk memulai usahanya. Sementara di usaha peternakan dan pertanian hanya butuh investasi sekitar Rp 500 miliar.
Artinya, gaji di sektor itu akan jomplang. ”Orang yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian gajinya tinggi, sedangkan di sektor pertanian penghasilannya rendah,” kata pria yang karib disapa Cody itu, Kamis (6/1/2023), di Samarinda.
Akibatnya, lanjut Cody, meskipun produk domestik bruto Kaltim tinggi, hal itu tak mencerminkan kesejahteraan warga. Sebagian besar orang bekerja di sektor pertanian, sementara pendapatan terbesar ada di warga yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian yang jumlahnya sedikit.
Artinya, gaji di sektor itu akan jomplang. Orang yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian gajinya tinggi, sedangkan di sektor pertanian penghasilannya rendah
Meskipun, efek berganda dari sektor pertambangan dan penggalian juga ada. Contohnya, lantaran pekerja pertambangan berpenghasilan tinggi, mereka dengan mudah membeli jasa dari warga di sekitarnya, seperti penatu, indekos, tempat makan, dan seterusnya. Namun, efek berganda yang panjang itu tak terjadi pada sektor pertanian dan perkebunan yang berpenghasilan lebih rendah meskipun jumlah pekerjanya lebih banyak.
Upaya hilirisasi
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim Puguh Harjanto mengatakan, Kaltim sedang menyiapkan hilirisasi industri tak hanya di sektor minyak, gas, dan batubara. Beberapa di antaranya di sektor pertanian, pariwisata, dan Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta untuk hilirisasi industri komoditas kelapa sawit.
Upaya hilirisasi di Kaltim diharapkan bisa menyerap tenaga lebih banyak dan Kaltim tak melulu menjual barang mentah sumber daya alam. Itu, salah satunya, terlihat dari realisasi investasi Kaltim pada 2022 yang mencapai Rp 41,20 triliun. Beberapa investasi ada di sektor pengolahan batubara, beberapa yang lain di sektor hilirisasi sawit. Itu, kata Puguh, yang akan terus dipertahankan agar industri hilir sumber daya alam tumbuh di Kaltim.
Namun, Puguh juga melihat sejumlah catatan yang perlu dianalisis lebih dalam oleh Pemprov Kaltim. Dilihat dari jumlah investasi yang masuk, Kota Bontang dan Kota Balikpapan merupakan dua daerah yang mendapat suntikan investasi cukup besar. Namun, tingkat pengangguran terbuka di dua kota tersebut tercatat yang paling tinggi di provinsi.
Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat pengangguran terbuka Kota Balikpapan pada 2018 berada di angka 9,27 persen. Kemudian menurun pada 2019 di angka 7,15 persen, naik kembali di tahun 2020 menjadi 9,00 persen, dan terakhir turun sedikit pada 2021 di angka 8,94 persen.
Kota Bontang bahkan tak beranjak di angka 9 persen dalam empat tahun terakhir. Tingkat pengangguran terbuka pada 2018 ada di 9,41 persen. Pada 2019 turun sedikit menjadi 9,02 persen, tahun 2020 naik kembali di angka 9,46 persen, dan terakhir tahun 2021 meningkat menjadi 9,92 persen.
”Ini banyak faktor, kita juga perlu menganalisis lebih jauh. Bisa jadi banyak pengangguran karena orang melihat banyak peluang sehingga banyak yang datang ke kota tersebut," katanya.
Baca juga: Kuatkan Ekonomi Kaltim dengan Industri Hilir Ramah Lingkungan
Pihaknya perlu berkoordinasi dengan organisasi perangkat daerah di Kaltim untuk menganalisis apa penyebab tingginya tingkat pengangguran terbuka. Hal itu akan menjadi landasan untuk menentukan strategi selanjutnya. Tujuannya, agar investasi yang masuk ke Kaltim berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan, investasi di Kalimantan Timur mulai bergerak untuk hilirisasi. Salah satunya, gasifikasi batubara menjadi metanol di Kabupaten Kutai Timur yang sebentar lagi berjalan pembangunannya.
”Itu investasi kerja sama dengan Amerika. Itu akan mengelola batubara yang rendah kalori menjadi metanol,” kata Isran.
IKN dan paradigma baru
Jika ditilik lebih jauh, Kaltim sebenarnya sudah mengandalkan lapangan usaha ekstraktif lebih dari 100 tahun. Sebelum Indonesia merdeka, pada 1830-an, wilayah Kaltim sudah mengekspor damar, rotan, dan hasil alam lain. Selanjutnya, pada 1888 berdiri perusahaan tambang batubara pertama di Kaltim dengan pola mengambil batubara dan diekspor.
Saat perang dunia kedua tahun 1939-1945, giliran minyak di Kaltim yang dieksploitasi besar-besaran. Setelah merdeka, pada tahun 1960-1980-an, Kaltim mengandalkan sektor kayu. Saat ini, ekonomi Kaltim kembali lagi mengandalkan batubara. Ironinya, kata Cody, semua perdagangan di sektor-sektor itu dilakukan hanya dengan menjual dan mengekspor barang mentah alih-alih membuat produk turunannya.
Ia mengatakan, upaya hilirisasi sumber daya alam di Kaltim perlu dilakukan. Sejalan dengan itu, menurut Cody, paradigma Kaltim perlu mulai diubah. Sebab, batubara suatu saat nanti akan habis jika terus menerus dikeruk. Selain itu, saat harga barang tinggi hanya pemilik modal yang banyak menikmati hasilnya. Sektor pertambangan pun akan berdampak terhadap menurunnya daya dukung lingkungan.
Baca juga: IKN Baru Tak Hanya Soal Pembangunan Fisik
Menurutnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bisa menjadi peluang. IKN diproyeksikan bakal mendatangkan sekitar 1,5 juta orang. Menurut Cody, Kaltim bisa mulai bersiap untuk memenuhi kebutuhan pangan orang-orang tersebut.
”Tugas pemerintah untuk meriset daerah mana cocok untuk (pertanian) apa. Perkebunan dan pertanian milik masyarakat bisa didorong untuk berkembang. Selanjutnya tinggal menarik ke arah industri,” katanya.