Geliat Sei Bermula dari Sini
Dapur legendaris di kampung Baun menerbangkan aroma sei hingga ke mancanegara. Dari sana, sei menggeliat menjadi kuliner khas Kota Kupang.
Kepulan asap membawa aroma daging matang berarak menyambut setiap mereka yang melangkah mendekati dapur. Di dalamnya berdiri tungku yang telah lama menerbangkan aroma daging sei hingga ke mancanegara. Dapur legendaris itu mengepul selama lebih dari dua dasawarsa.
Tungku berbentuk persegi panjang dengan bara api dari kayu kesambi (Schleichera oleosa) terus menyala. Uap panasnya memanggang daging yang digelar di atas kayu. Ada daging isi, ada campuran lemak, juga rusuk.
Di atas daging itu dibentangkan daun kesambi basah agar olahan daging lebih wangi dan gurih.
Daging sudah boleh disantap bila warnanya mulai memerah dan minyaknya tak lagi menetes. Selesai diangkat dari tungku, daging yang masih melepas uap panas itu langsung dihidangkan.
Di meja makan sudah menanti beberapa pegawai yang berkantor di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur suatu siang akhirnya Desember 2022 lalu.
Pusat Kota Kupang dengan tempat pengolahan sei yang terpaut sekitar 25 kilometer bukan jadi penghalang bagi mereka ingin mengecapi sei langsung dari dapurnya. Lokasi sei berada di kampung Baun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang.
Pengunjung ingin menikmati olahan langsung dari tangan Gasper Tiran (52), pengelola sei yang melegenda itu.
"Di kota ada warung sei tapi rasanya beda. Di sini semua masih alamiah. Bakar daging pake kayu api, tempat panggang juga dari kayu, dan ditutup pake daun kesambi. Tidak pake alat panggang besi. Sei di sini selalu bikin ketagihan, " kata Mercy (35), warga Kota Kupang yang sudah belasan kali ke sana.
Olahan daging sei memang bukan barang baru bagi masyarakat Timor, suku yang mendiami Timor, pulau terbesar di NTT. Turun temurun, daging sapi atau daging babi biasanya dibuat dalam bentuk sei untuk persediaan makanan selama satu hingga dua minggu.
Naik pamor
Sei sekaligus merupakan metode pengawetan daging terutama hasil buruan yang tidak habis dimakan dalam satu hari. Seiring waktu, metode pengolahan itu ditinggalkan setelah masyarakat mengenal lemari pendingin.
Gasper yang merupakan putra Timor mencoba memopulerkan sei dari sekedar makanan rumahan menjadi bisnis kuliner.
Baca juga: Metamorfosis Bai Bersama Se'i
Gasper yang akrab dipanggil Om Bai itu dulunya penjual daging keliling. Sejak masih remaja, ia berjalan kaki dari kampung ke kampung menjajakan daging babi atau daging sapi.
Tahun 1997, ia mencoba membuat sei dari sisa daging yang tidak laku terjual. Olahan itu ia pajang di dekat jalan dan perlahan diminati para pelintas. Ia kemudian memutuskan tidak lagi menjual daging mentah.
Ia membeli babi atau sapi yang sudah siap dipotong. Babi berumur sekitar satu tahun dan sapi tiga tahun sudah bisa memberi hasil maksimal dari sisi kualitas daging.
Setelah disembelih, daging diiris panjang kemudian diperas hingga tidak lagi mengeluarkan darah. Tujuannya mengurangi kadar air seminimal mungkin. Selanjutnya, daging ditaburi aneka bumbu alamiah.
Proses pengolahan mulai dari pemotongan hewan hingga daging selesai dipanggang membutuhkan waktu sekitar 12 jam.
Menjadi rahasia dapur, Om Bai enggan membeberkan resep bumbu yang digunakan dalam mengolah sei. Bumbu yang membuat sei lesat sehingga menaklukan lidah para penikmat.
"Salah satunya pakai garam. Hehehe," ujar Om Bai melempar candaan. Om Bai mempertahankan formula racikan bumbu alamiah hingga kini.
Sekitar tahun 2003, sei mulai naik pamor dari makanan orang kampung menjadi santapan kaum urban di perkotaan. Sejumlah warung di Kota Kupang membeli sei dari Om Bai lalu menjualnya kepada konsumen yang tidak sempat ke kampung Baun. Sei semakin populer di kalangan masyarakat Kota Kupang.
Pada setiap akhir pekan atau hari libur, jalanan menuju kampung Baun dilewati banyak mobil yang membawa orang-orang untuk menikmati sei.
Salah satunya pakai garam (Gasper)
Dapur sei Om Bai sangat sibuk. Puluhan pelayanan dengan tugas masing-masing seperti memanggang, mengemas, hingga mengantar makanan ke meja pengunjung.
Sensasi
Makan sei di dapur menghadirkan sensasi yang berbeda. Aroma daging bakar dan juga sambal khas yang diolah dengan campuran minyak daging, cabai, kemangi, dan jeruk purut kecil. Penjualan per hari di dapur Om Baik bisa menembus 100 kilogram. Ini di luar pesanan khusus untuk dikirim ke luar daerah.
Di tempat itu tersedia nasi, sayuran, dan minuman. Namun tak jarang ada pengunjung yang membawa nasi dan sayuran dari rumah. Tiba di sana tinggal memesan sei yang baru dipindahkan dari tungku. Om Bai tidak melarang pengunjung membawa makanan dari luar.
Di tengah kelangkaan pasokan daging babi akibat virus demam babi afrika serta kenaikan harga bahan kebutuhan lainnya, kini harga jual sei juga ikut naik.
Sei yang diolah secara tradisional di perdesaan kini hadir di meja makan kaum urban di perkotaan (Haris Oematan)
Harga sei per akhir tahun 2022 mendekati Rp 300.000 per kilogram. Padahal tahun 2021 harga per kilogramnya berkisar Rp 250.000.
Dia juga menyebutkan, di kedainya pembelian minimal setengah kilogram. Tapi kalau ada yang datang bawa uang Rp 100.000 tetap dilayani. Apalagi akhir pekan yang lagi ramai, ada ketentuan setiap orang hanya boleh beli paling banyak satu kilogram, biar yang lain juga kebagian.
"Tidak boleh ada orang yang merasa punya uang sehingga bisa borong sebanyak-banyaknya," kata Om Bai.
Tak hanya melayani makan di tempat dan pemesanan dari warga lokal, sei dari kampung Baun juga dipesan para penggemarnya bahkan dari sejumlah negara.
Setelah didingin kemudian dikemas, sei bisa bertahan hingga satu bulan bahkan lebih dalam lemari pendingin. Cara makan cukup dipanaskan saja. Tak perlu dicuci sebab bumbunya akan hilang.
Direktur Circle of Imagine Society Timor Haris Oematan menilai keberadaan dapur sei Om Bai ikut mengangkat nama kampung Baun, pusat Kerajaan Amarasi.
Sebelumnya nama Baun perlahan tenggelam seiring berkembanganya sistem pemerintahan seperti sekarang. Padahal, Amarasi merupakan salah satu kerajaan berpengaruh di sisi selatan Timor.
Keberadaan sei juga mengangkat kuliner tradisional masyarakat Timor yang perlahan mulai tersisi dari Kota Kupang. "Sei yang diolah secara tradisional di perdesaan kini hadir di meja makan kaum urban di perkotaan," ujarnya.
Lauk itu bahkan sudah berhasil membuat konsumen ketagihan, tak hanya Indonesia tetap juga mancanegara. Kuliner sei menjadi media memperkenalkan budaya suku Timor.
Sei di Baun menjadi destinasi wisata kuliner di Kupang. Bagi para penggemar olahan itu, rasanya belum sempurna makan sei di Kupang jika tidak menikmatinya langsung dari tungku milik Om Bai di kampung Baun. Memang beda rasa, dan benar-benar bikin ketagihan.
Baca juga: Serbuan Se'i ke Lidah Kaum Urban