Serbuan Se’i ke Lidah Kaum Urban
Beberapa tahun terakhir ini, kelezatan se’i menyusup ke lidah orang-orang di Jawa, bahkan mancanegara.
Satu-dua dekade terakhir, se’i naik pamor. Daging asap yang dulu dibuat sebagai cadangan makanan, terutama di musim paceklik, kini jadi bagian dari gaya hidup dan identitas masyarakat urban Kupang. Belakangan, kelezatan se’i menyusup ke lidah orang-orang di Jawa, bahkan mancanegara.
Selama bara tungku di Kampung Baun masih menyala, selama itu pula kelezatan se’i akan mengembara. Kampung yang terletak di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu dua dekade terakhir ini dikenal sebagai produsen dan pemasok se’i. Salah satu pembuatnya yang melegenda adalah Gasper Tiran atau akrab dipanggil Om Ba’i (50).
Rabu (25/8/2021), saat udara terasa gerah, Om Ba’i sibuk mengolah se’i di dapurnya di Teunbaun, Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, sekitar 25 kilometer dari Kota Kupang. Ia menutup hamparan daging segar yang sedang dipanggang dengan daun kesambi (Schleichera oleosa). Daun itu dipakai untuk meredam aroma daging agar tidak terbang dibawa angin. Selain itu, tanaman yang tumbuh di daerah kering seperti NTT ini memberi rasa gurih dan unik pada se’i.
”Kuncinya (pembuatan se’i) ada di kosambi. Pakai kesambi biar dagingnya merah, kering, wangi, dan tahan lama,” ujar Om Ba’i yang juga menggunakan kayu kosambi sebagai bahan bakar tungku pemanggangan.
Sekitar 1 jam kemudian, daging sudah matang, kemudian didinginkan, dikemas, dan dikirim ke alamat pemesan. Namun, ini hanyalah potongan akhir dari proses panjang pengolahan daging se’i yang boleh direkam. Sisanya menjadi ”rahasia perusahaan”. Yang jelas, sebelum sampai ke tahap pemanggangan, perlu proses pengolahan lainnya yang makan waktu sekitar 12 jam.
Om Ba’i yang memproduksi se’i sejak 1997 hanya menceritakan secuplik kiat untuk mengolah se’i terbaik. Ia memilih daging terbaik dari hewan berusia 1 tahun untuk babi dan 3 tahun untuk sapi. Daging diiris memanjang dengan lebar dan ketebalan sekitar 5 sentimeter. Lantas, darah dalam daging diperas berjam-jam hingga menyisakan serat.
”Kalau masih ada darah, saat pemanggangan, dagingnya tidak bisa matang sempurna. Nanti cepat basi,” kata Om Ba’i yang memberi racikan bumbu alami. Begitulah, untuk mencecap kelezatan se’i yang paripurna, memang perlu waktu panjang dan usaha.
Di sela-sela proses pemanggangan, Om Ba’i sibuk menerima telepon dari pemesan. Ia mengatakan, pemesan datang dari mana-mana, mulai sekitaran Kota Kupang, kota-kota di Jawa, hingga ke mancanegara. Senin (23/8), ia mengirim 12 kilogram se’i ke Singapura dengan ongkos kirim Rp 80.000 per kilogram. Sebelumnya, ia mengirim ke beberapa negara di Eropa hingga Amerika Serikat setelah melewati pemeriksaan di laboratorium di Jakarta.
Selain Om Ba’i, ada Tri Lestari Rahayu (58) yang memproduksi se’i sejak 20 tahun terakhir. Bersama keluarganya yang tergabung dalam Usaha Ibu Soekiran, Tri juga mengolah se’i dengan kayu dan daun kosambi. Produksinya dijual di pusat oleh-oleh khas NTT Ibu Soekiran di Kupang. Selain itu, ia melayani pesanan melalui Whatsapp. Setiap hari, Tri mengirim 50 hingga 80 bungkus se’i ke sejumlah kota di Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya. Satu bungkus berisi setengah kilogram se’i.
Satu dekade terakhir, se’i benar-benar naik pamor. Ini bisa dilihat dari semakin banyaknya depot atau pusat-pusat penjualan se’i. Selain se’i Om Ba’i dan Ibu Soekiran, ada beberapa warung se’i terkenal lainnya di Kupang, antara lain Depot Se’i Aroma dan Bambu Kuning.
Se’i buatan mereka menjadi pilihan favorit masyarakat urban Kupang dan oleh-oleh wajib bagi pelancong yang datang dari daerah lain. Oleh karena itu, varian se’i yang dijual terus berkembang. Jika dulu dijual dalam bentuk keratan daging asap, kini ada yang dijual sebagai topping nasi goreng atau mi.
Daya adaptasi se’i
Makin terkoneksinya Kupang dengan kota-kota lain lewat penerbangan dan akses internet membuat kelezatan se’i merambah ke beberapa kota di Indonesia. Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, Lasarus Jehamat, menduga, awalnya konsumen se’i di kota-kota besar adalah kaum urban yang berasal dari Kupang.
”Mereka beromantisme dengan kampung halaman dengan makan se’i. Kemudian se’i menyebar (ke warga urban lainnya) karena rasanya yang enak bisa menembus ruang dan waktu,” ujarnya.
Di Jawa, lanjut Lasarus, se’i mengalami komodifikasi agar memiliki nilai jual di mata konsumen yang beragam. Kemasannya dibuat modern, misalnya ditaruh di kotak nasi yang menarik atau dipadukan dengan variasi sambal selain sambal lu’at. Se’i-nya sendiri harus beradaptasi sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kultural di tempat barunya.
”Karena masyarakat Indonesia itu plural dan tidak semua orang bisa mengonsumsi daging babi. Alhasil, mayoritas tempat penjualan se’i di Jawa menggunakan daging sapi dan ayam,” tutur Lasarus. Bahkan, sekarang ada juga yang menyodorkan se’i vegan untuk pasar yang tidak mengonsumsi daging.
Lewat kemampuan adaptasi ini se’i diterima dengan tangan terbuka oleh konsumen dari aneka latar belakang kultural yang berbeda. Tidak heran jika dalam beberapa tahun terakhir bermunculan kedai-kedai se’i di wilayah Jabodetabek dan kota-kota besar di Jawa. Di kawasan Bintaro muncul Se’ilera; di Pasar Santa, Kabayoran Baru, ada Kedai Koka Sikka; di Lebak Bulus, ada Se’i Sapi Narama, di Sunter ada Se’i Sapi Dewa.
Selain itu, ada jaringan kedai se’i waralaba, seperti Se’i Selatan, Raja Se’i, dan Sapi Kana. Yang terakhir tersebar di beberapa tempat, seperti Ciputat, Depok, Bogor, Kepala Gading, Karawang, hingga Purwokerto dan Yogyakarta.
Lewat kedai-kedai yang belum tentu dimiliki warga asal Kupang atau NTT ini, citra kelezatan se’i menyusup ke dalam budaya makan warga urban di Jawa yang mayoritas Muslim.
Jejak se’i
Se’i sebenarnya adalah metode mengawetkan daging dengan cara dipanggang hingga garing yang umum dilakukan masyarakat Timor. Mereka menyebutnya se’ik.
Haris Oematan, Direktur Circle of Imagine Society Timor Haris Oematan, mengatakan, orang Timor mengawetkan daging sebagai cadangan makanan, terutama untuk musim paceklik. Daging yang digunakan dulu adalah daging rusa. ”Waktu itu, kan, rusa masih melimpah. Satu ekor tidak habis dimakan dalam satu-dua hari. Solusinya harus dibuat se’ik,” kata Haris.
Belakangan, lanjut Haris, proses pengolahan yang sama digunakan untuk daging babi. Ini dipopulerkan oleh om Ba’i pada 1997. Sebutannya pun berubah dari se’ik menjadi se’i. Jika daging se’ik harus dipanggang hingga garing, pada se’i daging dipanggang cukup sampai matang saja.
Bagaimana sejarah rinci se’i? Lasarus Jehamat, sosiolog dari Undana, berpendapat, dari namanya, se’i berasal dari bahasa suku Rote yang berarti daging disayat dalam ukuran kecil memanjang dan diasapkan.
Rote adalah kepulauan di NTT yang letaknya berada di wilayah paling selatan Indonesia. Jadi, Rote terletak di luar Pulau Timor di mana Kupang berada. Terkait se’i, alih-alih dikenal sebagai makanan khas Rote, se’i malah lebih sering disebut sebagai makanan khas Kupang. ”Fenomena ini menunjukkan perlu kajian lebih lanjut mengenai asal mula se’i yang sebenarnya,” ujar Lasarus.
Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran Bandung, Fadly Rahman, yang menekuni sejarah makanan Nusantara, menjelaskan, teknik memasak dengan pengasapan, termasuk se’i merupakan teknik memasak masyarakat purba. Tidak hanya di kalangan masyarakat pemburu, tetapi juga nelayan. Tujuannya untuk pengawetan sekaligus ekonomisasi pola konsumsi masyarakat saat itu.
”Teknik seperti itu sudah sangat purba dan sudah berlangsung lama sekali,” ujar Fadly yang menyebut se’i sebagai hidangan dari etnis Rote.
Bagaimana pun asal-usulnya, se’i telah diterima di lidah masyarakat di banyak kota besar di Indonesia. Selamat datang se’i! (DWA)