Kasus Kekerasan Seksual Dosen terhadap Mahasiswa Unand Dilanjutkan ke Kemendikbudristek
Satgas PPKS Unand merekomendasikan sanksi berat kepada dosen yang diduga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual kepada sedikitnya delapan mahasiswa. Rekomendasi diteruskan Unand ke Kemendikbudristek.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas diduga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap sedikitnya delapan mahasiswa. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS kampus telah menghasilkan rekomendasi sanksi kategori berat untuk ditindaklanjuti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Terduga pelaku pelecehan dan kekerasan seksual tersebut berinisial KC, dosen Sastra Minangkabau. Kasus tersebut ditangani oleh Satgas PPKS Universitas Andalas (Unand) sejak Oktober 2022. Walakin, beberapa hari terakhir, kasus viral di media sosial Instagram setelah akun @infounand mengunggah video kronologi kejadian terhadap salah satu korban.
Ketua Satgas PPKS Unand Rika Susanti, Senin (26/12/2022), mengatakan, satgas yang beranggotakan 11 orang, termasuk 4 perwakilan mahasiswa, sudah tuntas memeriksa pelaku, korban, dan saksi. Hasil rekomendasi diserahkan kepada rektor untuk diteruskan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
”Kami menunggu keputusan dari rektor dan Kemendikbudristek. Saya sangat yakin pimpinan Universitas Andalas akan menindak seseorang yang melakukan kekerasan seksual sesuai dengan kejahatan yang telah dia lakukan tanpa pandang bulu,” kata Rika saat menanggapi aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Unand.
Rika, ketika diwawancara lebih lanjut, mengatakan, sejauh ini ada delapan mahasiswa yang melaporkan aksi bejat pelaku kepada Satgas PPKS Unand. Salah satu korban bahkan sampai berhenti studi sementara (BSS). Sejauh ini, korban tersebut tidak bersedia didampingi dan memilih tetap di kampungnya.
Sementara itu, terhadap terduga pelaku, kata Rika, rektor sudah mengeluarkan surat keputusan (SK) penonaktifan KC sebanyak tiga kali. SK tersebut berlaku 30 hari dan telah diperpanjang tiga kali. ”Soal pelaku masih berkeliaran di kampus, di luar kewenangan kami. Dia (pelaku) warga kampus, warga Unand,” ujarnya.
Ditambahkan Rika, sampai saat ini terduga pelaku belum ditindak secara hukum pidana. Sebab, dari delapan korban, belum ada yang bersedia untuk melapor ke polisi. ”Tidak mungkin kami saja melaporkan, sedangkan korban tidak mau,” ujarnya.
Aidinil Zetra, ketua tim investigasi Satgas PPKS untuk kasus ini, menyatakan, ada tiga bentuk rekomendasi dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS, yaitu ringan, sedang, dan berat. Secara tersirat, Aidinil mengatakan, satgas memberikan rekomendasi kategori berat.
”Kalau hanya ringan dan sedang, hari ini sudah bisa diputuskan rektor. Kalau berat, harus ke Jakarta (Kemendikbudristek). Rektor sudah berangkat tadi. Saya dan Rika akan menyusul ke Jakarta,” katanya. Ia tidak bersedia menyebutkan sanksi yang diusulkan bagi terduga pelaku karena terikat kode etik.
Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS pada Pasal 14 Ayat (4) huruf b menyebutkan sanksi administrasi berat terhadap dosen pelaku pelecehan/kekerasan seksual di kampus, yaitu pemberhentian tetap sebagai pendidik sesuai UU berlaku.
Tuntutan mahasiswa
Adapun dalam unjuk rasa, sekitar seratus mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unand berunjuk rasa di depan Rektorat Unand. Mereka berorasi dan membawa sejumlah spanduk berisi dukungan terhadap korban dan kutukan kepada pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.
Massa menuntut agar pimpinan kampus menindak tegas terduga pelaku dengan sanksi pemecatan dan pencabutan gelar akademik serta dilarang berkeliaran di kampus. Kampus juga diminta memberikan pendampingan dan ruang aman untuk korban.
Selain itu, rektor diminta pula memberikan perlindungan kepada anggota Satgas PPKS. Sebelumnya, ada anggota satgas yang diduga mengalami tindakan teror oleh pihak terduga pelaku.
”Kami meminta Rektor Unand untuk melindungi petugas Satgas PPKS dari intervensi dan intimidasi pihak mana pun,” kata Yodra Muspierdi, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Unand, membacakan tuntutan aliansi.
Rika menyebutkan, memang salah satu anggota Satgas PPKS Unand pernah dua kali mobilnya dirusak orang tak dikenal selama proses pemeriksaan kasus ini. Walakin, satgas tidak bisa menyimpulkan kejadian itu saling berkaitan. ”Rektor sudah menindaklanjuti dengan petugas pengamanan dan kepolisian,” ujarnya.
Relasi kuasa
Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengatakan, sedikitnya ada delapan korban pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen KC. Lima korban di antaranya pernah didampingi oleh Nurani Perempuan sebelum kasus ditangani oleh Satgas PPKS Unand.
”Korban muncul bertahap. Muncul pertama kali awal tahun (2022). Selanjutnya, ada lagi korban yang berani melapor. Jadi, tidak hanya satu korban terungkap, tapi banyak,” kata Meri.
Pada sejumlah kasus, kata Meri, terduga pelaku menjadikan proses perbaikan nilai kuliah sebagai modus. KC mengajak korban bertemu di kampus malam-malam. Kadang-kadang terduga pelaku juga meminta korban datang ke Padang dari kampung halaman kemudian ia jemput dan diajak ke rumah.
”Salah satu korban terindikasi mengalami tindakan perkosaan. Beberapa korban yang bisa dijemput, diajak ke rumah. Di sana, dilakukan tindak kekerasan seksual, di rumah dinas kampus, kondisinya sepi,” ujar Meri.
Menurut Meri, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa ini sangat timpang. Dampaknya korban berada pada posisi rentan, terutama apabila dikaitkan dengan persoalan nilai mata kuliah. Korban pun jadi takut mengungkap kasus ini.
”Salah satu korban ada yang mencari informasi ke senior-senior terdahulu. Ternyata setiap tahun ada saja yang jadi korban dosen itu (KC),” kata Meri.
Meri melanjutkan, sejauh ini belum ada di antara delapan korban yang berani melapor. Umumnya korban belum memberi tahu orangtua tentang detail kasus. Korban takut orangtua merasa sedih dan kecewa. Walakin, apabila ada korban yang bersedia melapor, Nurani Perempuan bersedia mendampingi.
Mulai berani
WCC Nurani Perempuan mencatat, ada puluhan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi di Sumbar, mulai dari dosen terhadap dosen, dosen terhadap mahasiswa, hingga mahasiswa terhadap mahasiswa. Selama 2020 ada 12 kasus, 2021 ada 6 kasus, dan Januari-November 2022 ada 12 kasus.
”Harapan kami kampus menindak tegas pelaku. Tidak hanya pemecatan di kampus, tetapi di tingkat paling tinggi, pemecatan di Kemendikbudristek. Selain itu, kami berharap ada sanksi hukum. Ajak korban melapor (ke polisi),” katanya.
Meri menyebutkan, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di perguruan tinggi, terutama oleh dosen, sebenarnya sudah ada sejak lama dan sebagian menjadi rahasia umum. Hanya saja tidak bisa diungkap karena tidak ada korban yang berani melapor.
Harapan kami kampus menindak tegas pelaku. Tidak hanya pemecatan di kampus, tetapi di tingkat paling tinggi, pemecatan di Kemendikbudristek.
Akan tetapi, sejak ada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, kata Meri, korban mulai berani melapor. Apalagi sekarang sudah ada Satgas PPKS kampus tempat korban melapor. ”Wadahnya sudah ada. Saat ini mulai ada korban berani laporkan kasus. Harapannya korban dapat perlindungan dan pemulihan serta tidak mengalami kejadian berulang,” ujarnya.
Meri juga mendorong Satgas PPKS kampus bekerja maksimal. Sementara itu, kampus diharapkan membuat aturan spesifik agar peluang predator seksual bisa dipersempit dalam melancarkan aksinya.