Korban Gangguan Ginjal Akut di Kepri Menuntut Kompensasi
Korban gangguan ginjal akut progresif atipikal di Kepulauan Riau mendesak pemerintah dan industri farmasi untuk memberi kompensasi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Pasangan suami istri, Eva Nurmala (34) dan Lamhari (39), melihat anak ketiga mereka, Nasifa (2,10), dari balik kaca di Ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) atau Ruang Perawatan Intensif Khusus Anak di Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (27/10/2022).
BATAM, KOMPAS — Orangtua pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal di Kepulauan Riau menuntut tanggung jawab pemerintah untuk memberi kompensasi. Investigasi Ombudsman RI telah membuktikan Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan malaadministrasi terkait dengan kasus gangguan ginjal akut tersebut.
Data Dinas Kesehatan Kepri menunjukkan, ada delapan anak yang mengidap gangguan ginjal akut akibat mengonsumsi obat sirop yang terkontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol. Tujuh dari total delapan anak itu telah meninggal dunia.
Satu-satunya pasien gangguan ginjal akut yang masih bertahan adalah Nasifa, anak perempuan berusia 2 tahun 10 bulan. Ia dirawat di Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam (RSBP) sejak akhir September 2022.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana di depan Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (14/2/2020).
Orangtua Nasifa, Eva Nurmala (34), mengatakan, dokter di RSBP telah menganjurkan agar anaknya dirawat di rumah. Namun, ia tidak memiliki biaya untuk membeli alat penyedot lendir dan alat bantu napas yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan mandiri di rumah.
”Pemerintah tidak memberi bantuan apa pun, kecuali biaya pengobatan di rumah sakit lewat BPJS Kesehatan. Makanya, kami sangat butuh kompensasi untuk membeli alat kesehatan dan biaya pengobatan jangka panjang untuk Nasifa,” kata Eva, Kamis (22/12/2022).
Dokter spesialis anak di RSBP, Ronald Chandra, menuturkan, fungsi ginjal Nasifa sebenarnya telah membaik. Namun, ia mengalami infeksi paru akibat terlalu lama memakai ventilator sebagai alat bantu napas.
Oleh karena itu, pada 14 Desember lalu Nasifa menjalani trakeostomi atau operasi membuat lubang di leher. Itu dibutuhkan untuk menyedot lendir dari paru-paru anak itu.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Petugas Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan memeriksa obat sirop yang telah disimpan di gudang di sebuah apotek di Jalan Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, Jumat (21/10/2022).
Selain mengalami infeksi paru, Nasifa kini juga mengidap defisit neurologis. Menurut Ronald, defisit neurologis secara jangka panjang akan berdampak menghambat perkembangan motorik anak itu.
Ronald menyarankan kepada orangtua pasien agar melakukan perawatan di rumah mengingat anak itu sudah berada di rumah sakit hampir selama tiga bulan. ”Namun, tampaknya orangtua pasien memang belum siap melakukan perawatan di rumah,” ujarnya.
Adapun Eva mengatakan, ia bersedia merawat Nasifa di rumah asalkan pemerintah menanggung biaya pembelian alat penyedot lendir dan alat bantu napas yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan mandiri di rumah. ”Pemerintah harus tanggung jawab karena anak kami mengidap gagal ginjal karena ada kelalaian dalam pengawasan obat,” ucapnya.
Sebelumnya, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan terbukti malaadministrasi terkait dengan kasus gangguan ginjal akut anak. Laporan hasil pemeriksaan pun telah diberikan kepada dua instansi tersebut, (Kompas, 16/12/2022).
Ketua Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M Mufti Mubarok telah mendesak pemerintah dan industri farmasi agar memberi kompensasi bagi para korban gangguan ginjal akut. Bantuan dan ganti rugi itu untuk mengembalikan kondisi kesehatan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral untuk korban (Kompas, 15/12/2022).