Korban Gangguan Ginjal Akut Berhak Mendapatkan Kompensasi
Pemerintah dan industri farmasi terkait perlu memberikan kompensasi bagi para korban gangguan ginjal akut.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
HIDAYAT SALAM
Ketua Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M Mufti Mubarok (tengah) saat konfrensi pers hasil investigasi kasus gangguan ginjal akut pada anak di kantor BPKN, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Hasil temuan tim pencari fakta atau TPF kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal menunjukkan hampir semua korban berasal dari keluarga kalangan menengah ke bawah. Badan Perlindungan Konsumen Nasional mendesak pemerintah bertanggung jawab atas kematian dan kerugian yang dialami para korban gangguan ginjal akut.
Ketua TPF Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M Mufti Mubarok menyampaikan, hasil investigasi kasus gangguan ginjal akut itu menemukan hingga saat ini belum ada kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban gangguan ginjal akut, baik dari pemerintah maupun industri farmasi. Bantuan dan ganti rugi itu bertujuan untuk mengembalikan kondisi kesehatan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral untuk korban.
”Kami menemukan jumlah korban jiwa akibat kasus gagal ginjal akut sebanyak 202 jiwa dari total kasus yang ada yakni 324 kasus. Dari data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa 74 persen korban kasus gangguan ginjal akut adalah anak balita dengan sebagian besar korban tidak memiliki penyakit komorbid,” ucap Mufti saat konferensi pers di Kantor BPKN, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Pemerintah dan industri farmasi didesak memberi kompensasi bagi para korban. Menurut dia, sama seperti yang terjadi pada korban Tragedi Kanjuruhan, sudah seharusnya seluruh korban gangguan ginjal akut juga diberikan santunan tersebut. ”Nilai besaran yang diberikan dapat mengikuti bantuan pada korban Kanjuruhan,” kata Mufti.
Menurut ia, terjadi kelalaian oleh instansi farmasi, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dalam mengawasi bahan baku obat dan peredaran obat tersebut. Apalagi, terdapat obat sirop yang terkontaminasi cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Padahal, bahan kimia EG dan DEG termasuk dalam kategori berbahaya untuk kesehatan sehingga memerlukan aturan khusus dalam penggunaannya. Mufti juga mendorong agar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit pengawasan dan peredaran produk obat–obatan terutama pada bahan baku di industri farmasi.
Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Yogi Prawira, menjelaskan, ambang batas cemaran EG dan DEG tak boleh melebihi 0,1 persen. Cemaran dalam batas tersebut dinilai tak memicu efek kesehatan yang merugikan.
TPF menemukan ketidakharmonisan instansi di sektor kesehatan, baik komunikasi maupun koordinasi, saat penanganan kasus gangguan ginjal akut.
Sementara itu, menurut Yogi, hasil pemeriksaan sampel darah dan urine oleh Kementerian Kesehatan pada anak dengan gangguan ginjal akut itu menunjukkan sebagian besar pasien ditemukan senyawa kimia berbahaya EG dan DEG.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang ibu membeli obat di Apotek Wisnu, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu (23/10/2022). Kemenkes mengeluarkan surat edaran Nomor SR.01.05/III/3461/2022 pada Rabu (19/10/2022) tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi, dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal.
”Keracunan akibat cemaran EG dan DEG ini pun memiliki tingkat keparahan beragam pada para pasien. Tingkat keparahan pada pasien tergantung dosis yang dikonsumsi. Walaupun demikian, obat sirop yang mengandung senyawa itu juga mudah dan cepat keluar dari tubuh melalui urine dan feses,” katanya.
Namun, kekurangan nutrisi dalam tubuh juga dapat menjadi penyebab keparahan intoksikasi atau keracunan akibat cemaran EG. Hal ini karena terjadi penurunan imunitas. Terlebih cemaran itu terkonsumsi sekali minum dalam jumlah dan dosis besar.
Perbaikan layanan kesehatan
Menurut Kepala BPKN Rizal Edy Halim, TPF ini terdiri dari anggota kepolisian, kejaksaan, jurnalis, akademisi, Kementerian Kesehatan, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Tujuan dari pembentukan TPF ini ialah menggali data yang kemudian hasilnya disandingkan dengan data yang beredar terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak.
FAKHRI FADLURROHMAN
Deretan obat sirop yang menjadi barang bukti temuan penindakan industri farmasi yang memproduksi obat tidak memenuhi standar diperlihatkan saat rilis di Kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022).
Rizal mengatakan, TPF menemukan ketidakharmonisan instansi di sektor kesehatan, baik komunikasi maupun koordinasi, saat penanganan kasus gangguan ginjal. Hasil temuan ini akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo dengan harapan dapat memperbaiki pelayanan kesehatan termasuk sektor farmasi. Hal ini pun mengantisipasi agar kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan fungsi pengawasan dan melaksanakan kebijakannya. Apalagi, dalam proses pengajuan izin obat, BPOM seharusnya melakukan uji produk melalui laboratorium sebelum memberikan izin.
”Pemeriksaan seharusnya dilakukan pada produk sirop obat, mulai dari pasokan bahan baku obat, proses produksi, hingga pemasarannya. Kepolisian juga harus menindak dengan transparan kepada seluruh pihak yang terlibat,” ujar Tulus.
FAKHRI FADLURROHMAN
Barang bukti obat sirop yang yang tidak memenuhi syarat dipindahkan ke dalam truk di Kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022).
Sebelumnya, Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, selama ini penindakan pelanggar jaminan keamanan dan mutu produk farmasi belum berefek jera. Sanksi umumnya hanya sekitar tiga bulan dan masa percobaan. Karena itu, harus lebih tegas.
”Tragedi (kasus gangguan ginjal akut pada anak) ini membuat kita harus segera memperbaiki sistem jaminan keamanan mutu dan memberi efek jera pada pelanggar agar tak terulang. Kejahatan obat itu ada dan dia (pelanggar) akan memanfaatkan berbagai peluang dan gap,” ujarnya (Kompas, 1/11/2022).