Tetap Waspada Membeli Obat Sirop Anak
Kasus gangguan ginjal akut pada anak sudah mereda. Namun, orangtua masih harus waspada karena masih ada ratusan obat sirop yang dilarang beredar.

Sebanyak 200 vial fomepizole telah diterima oleh Indonesia dari Jepang yang diberikan secara hibah. Fomepizole merupakan antidotum atau obat penawar yang digunakan untuk pasien gangguan ginjal akut.
Kasus gangguan ginjal akut anak terus menunjukkan tren pengendalian setelah pemerintah mendatangkan antidotum atau obat penawar. Meski demikian, pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan obat sirup harus terus dijalankan mengingat masih ada ratusan obat sirop yang dilarang beredar.
Tetap perlunya pengawasan terhadap peredaran obat sirop setidaknya mempertimbangkan tiga aspek. Pertama, faktor penyebab kasus gangguan ginjal akut karena adanya racun pada obat sirop. Kedua, masih adanya celah pelarangan obat sirop. Meski pemerintah telah melarang sejumlah obat sirop, masih ditemui sejumlah apotek yang menjual obat yang dilarang beredar.
Aspek ketiga ialah perkembanganinformasi tentang merek obat apa saja yang sudah diizinkan beredar.Pembaruan informasi obat sirop yang diizinkan beredar kembali belum tentu dipantau oleh semua lapisan masyarakat. Hingga 18 November 2022, BPOM telah mengizinkan 126 obat sirop dijual kembali. Namun, masih ada 168 obat sirop yang dilarang.
Pengetahuan akan informasi terbaru ini diperlukan mengingat sudah 200 anak Indonesia meninggal dalam waktu cepat karena gangguan ginjal akut. Kerusakan ginjal anak disebabkan bahan berbahaya yang memiliki tingkat toksisitas tinggi di dalam obat sirop penurun demam, batuk, dan pilek. Dua bahan berbahaya tersebut adalah dietilen glikol (DEG) dan etilon glikol (EG).
Bahan EG dan DEG di dalam obat sirop bersifat toksik untuk manusia dan dapat berakibat fatal. Dampak paling umum adalah nyeri perut, muntah, diare, nyeri kepala, penurunan volume urine, dan berakhir dengan gagal ginjal akut.

Pegawai toko minimarket di kawasan Kramat, Jakarta, menarik produk obat sirop yang mengandung paracetamol, Kamis (20/10/2022). Kementerian Kesehatan mengeluarkan edaran untuk menghentikan sementara pemberian obat dalam bentuk cair atau sirop karena diduga menjadi faktor risiko kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Tujuan awal pemberian obat sirop agar anak lekas sembuh malah berujung kerusakan ginjal yang mengancam keselamatan anak. Setelah mengonsumsi obat dengan bahan beracun tersebut mungkin penyakit anak berupa demam, batuk, pilek akan reda. Namun, setelah itu muncul berbagai gejala aneh.
Bukannya sembuh total, anak-anak tersebut mulai demam kembali, mual, muntah, atau diare. Selang beberapa hari, mereka mulai kesulitan buang air kecil hingga sama sekali tidak kencing, yang menandai terjadinya gangguan ginjal akut.
Apabila tidak lekas ditangani, tubuh anak makin lemah dan muncul banyak komplikasi organ tubuh lainnya, seperti jantung, paru-paru, organ pencernaan, hingga sistem saraf. Gangguan pada sistem saraf akan berujung pada kejang, koma, atau kelumpuhan organ lain sehingga berisiko tinggi meninggal. Kondisi seperti itu yang sedang dialami ratusan anak-anak di Indonesia.
Kasus gagal ginjal akut di Indonesia hingga 18 November 2022 mencapai 324 kasus dan terjadi di 27 provinsi. Kasus meninggal sebesar 200 orang, artinya mortalitas mencapai 61,4 persen. Bahkan, di sejumlah rumah sakit rujukan, mortalitasnya juga melebihi 60 persen. Total pasien dalam perawatan berjumlah sekitar 13 orang di seluruh Indonesia.

Petugas memindahkan bahan baku obat sirop propylene glycol yang disita Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan, Sumatera Utara, Senin (31/10/2022). Bahan baku itu disita dari PT Universal Pharmaceutical Industries yang memproduksi obat mengandung cemaran etilen glikol dan dietilen glikol melebihi ambang batas.
Upaya pengendalian yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah menghentikan penjualan dan penggunaan semua obat sirop untuk anak. BPOM juga terus melakukan uji laboratorium kandungan berbagai macam jenis obat sirop. Sementara penanganan pasien akan diperkuat obat dari Singapura, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Kabar gangguan ginjal akut yang menyerang anak-anak secara cepat dan meluas dimulai dari Gambia di Afrika pada Juli 2022. Berselang dua bulan, sebanyak 70 anak meninggal karena gangguan ginjal akut misterius. Atas kasus ini, WHO melakukan investigasi terhadap obat yang dikonsumsi korban dan menemukan bahan beracun EG serta DEG.
Kontaminasi massal EG dan DEG sebenarnya sudah terjadi sejak hampir satu abad yang lalu, tepatnya dari tahun 1937. Hingga tahun 2022, tercatat sedikitnya 18 negara pernah menghadapi persoalan gangguan ginjal akut karena dua bahan beracun tersebut.
Kasus kerusakan ginjal akut paling awal terjadi di Amerika Serikat, yang dikenal dengan insiden Massengill pada 1937 silam. Kejadian berikutnya ditemukan di Afrika Selatan, Spanyol, India, Nigeria, Bangladesh, Argentina, Panama, China, Nigeria, hingga Gambia dan Indonesia di tahun 2022. Kematian terbesar terjadi tahun 1990-1992 di Bangladesh yang menewaskan 236 jiwa.

Pelarut
Produsen obat dalam bentuk sirop selama ini banyak menggunakan gliserin atau propilen glikol sebagai bahan pelarut. Bahan pelarut yang digunakan memang diperbolehkan dalam pembuatan obat sesuai standar keamanan produk farmasi.
Hanya saja, proses produksi bahan pelarut yang tidak tepat berisiko menghasilkan bahan berbahaya dan bersifat toksik, yaitu EG dan DEG. Ambang batas aman untuk EG dan DEG sebenarnya telah disepakati secara internasional, yaitu 0,5 mg per kilogram berat badan per hari.
Secara fisik, senyawa EG adalah cairan bening dengan titik didih tinggi yang memiliki rasa manis. Senyawa yang memiliki rasa manis ini digunakan sebagai pelarut di dalam obat sirop anak. Padahal, sifat alaminya tersebut telah dimanfaatkan secara luas di industri radiator kendaraan bermotor.
Senyawa ini dengan cepat akan diserap tubuh apabila tertelan. Organ yang paling cepat menyerap senyawa EG adalah saluran usus. Setelah diserap tubuh, metabolisme EG berlangsung dengan cepat dan menghasilkan banyak senyawa turunan, salah satunya asam oksalat yang kemudian bergabung dengan kalsium dan menyebabkan gagal ginjal akut.

Petugas Balai Besar POM Padang memantau obat-obatan yang dijual oleh Apotek Musi di gudang kawasan Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Senin (24/10/2022).
Masuknya senyawa EG ke dalam tubuh manusia akan menimbulkan efek keracunan dan gangguan masif terhadap stabilitas fungsi banyak organ. Efek yang muncul 30 menit hingga 12 jam setelah senyawa EG masuk ke dalam tubuh manusia adalah munculnya depresi pada sistem saraf pusat yang berujung pada kesulitan bicara, ataksia, dan mengantuk.
Pada bagian lambung muncul iritasi yang menyebabkan mual dan muntah. Saat metabolisme EG berlanjut di tubuh manusia, efek yang lebih parah mulai muncul. Pasien akan mengalami gangguan gerak motorik tubuh, melemahnya tubuh, kejang otot, hingga pembengkakan otak.
Stadium selanjutnya, setelah 12 hingga 24 jam jantung akan mengalami peningkatan detak melebihi rata-rata normalnya, tekanan darah naik drastis, kadar asam darah sangat tinggi, napas tidak beraturan, hingga gagal jantung kongestif. Kadar kalsium dalam darah juga turun drastis dan berimbas pada munculnya hiperefleksia dan kontraksi tiba-tiba pada otot.

Petugas Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan memeriksa obat sirop yang telah disimpan di gudang di sebuah apotek di Jalan Setia Budi, Medan, Sumatera Utara (21/10/2022).
Keparahan kondisi tubuh pada durasi 12 hingga 36 jam setelah EG masuk ke dalam tubuh adalah fase paling kritis. Organ tubuh mengalami banyak kegagalan fungsi, termasuk ginjal. Apabila pasien tidak segera diobati atau diberikan penanganan, risiko kematian sangat besar.
Stadium akhir dari keracunan senyawa EG (24 hingga 72 jam) ditandai dengan rusaknya ginjal dan munculnya nekrosis (matinya sel-sel sehat di organ tubuh), terdeteksinya protein di dalam urine, penurunan volume urine, hingga berhentinya buang air kecil secara total. Semua gejala tersebut akan berakhir pada kondisi gagal ginjal akut.
Tiga fase perburukan tubuh karena keracunan senyawa EG menggambarkan manifestasi klinis yang terjadi secara cepat. Hal serupa juga terjadi pada cemaran bahan beracun DEG yang memiliki karakteristik fisik sama dengan senyawa EG, yaitu bening dan manis. Hasil pemrosesan di dalam tubuh menghasilkan 2-hydroxyethoxyacetic acid (HEAA) yang menyebabkan kerusakan pada sistem saraf dan ginjal.

Obat
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah konservatif dalam penanganan kasus gagal ginjal akut misterius pada anak-anak, yaitu melarang penggunaan semua obat sirop. Langkah ini terbilang sangat terlambat karena baru diambil saat kasus melonjak tajam.
Pendekatan yang digunakan harusnya secara preventif, mengingat temuan kasus serupa sudah mulai tercatat pada awal tahun 2022. Seharusnya BPOM dan Kemenkes RI melakukan pengawasan ketat melalui pengujian berkala produk farmasi.
Ratusan anak harus direnggut nyawanya karena bahan beracun EG dan DEG, demikian pula ratusan orangtua dipaksa menerima kenyataan pahit ini. Demi menekan angka keparahan gagal ginjal akut dan tingkat kematian, Pemerintah Indonesia akan mengimpor obat dari sejumlah negara.

Seorang ibu membeli obat di Apotek Wisnu, Ciledug, Kota Tangerang, Banten (23/10/2022). Sebagian obat sirop masih dilarang beredar terkait munculnya kasus gangguan ginjal akut pada anak yang mematikan.
Negara-negara yang akan mengirim obat atau antidotum adalah Singapura, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat. Bagi pasien dengan kerusakan stadium awal, pemberian antidotum memiliki potensi keberhasilan cukup tinggi sehingga ginjal dapat berfungsi seperti sedia kala.
Antidotum yang diimpor berjenis fomepizole yang digunakan sebagai penawar racun dari senyawa EG dan DEG. Penggunaan obat ini bersamaan dengan dialisis atau cuci darah untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh pasien. Pantauan sebagian kasus di rumah sakit rujukan telah menunjukkan perbaikan kondisi pasien setelah diberikan antidotum.
Baca Juga: Mencermati Fatalitas Gagal Ginjal Akut pada Manusia
Kasus gagal ginjal akut misterius yang menyerang anak-anak harusnya dapat dicegah. Peredaran bahan beracun EG dan DEG di dalam obat sirop anak-anak adalah bentuk kelalaian pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat. Fatalitas yang disebabkan bahan beracun tersebut sangat tinggi, utamanya bagi anak-anak usia muda.
Ke depannya, pemerintah melalui BPOM harus lebih ketat melakukan pengawasan secara berkala. Tak hanya itu, dibutuhkan langkah sigap untuk tindak lanjut temuan kasus-kasus awal tanpa harus menunggu lonjakan kasus. Pengawasan dari otoritas menjadi kunci melindungi masyarakatkarena masih ada ratusan obat sirop yang dilarang beredar. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Dilema Status Kejadian Luar Biasa Gangguan Ginjal Akut Anak-anak