Hari ini, Senin (19/12/2022), tepat satu bulan gempa mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Gempa bermagnitudo 5,6 itu merenggut ratusan nyawa dan merusak puluhan ribu rumah. Namun, Cianjur menolak hancur.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·7 menit baca
Gempa bermagnitudo 5,6 di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sebulan lalu, merenggut ratusan nyawa dan merusak puluhan ribu rumah. Namun, Cianjur menolak hancur. Keguyuban penyintas dan dukungan berbagai pihak membuat daerah ini bangkit, meski tertatih."Bahagia melihat saudara di posko selalu ceria, semangat, dan kompak," tulis Elda Astuti (51) di status Whatsapp miliknya, Minggu (18/12/2022). Warga Kampung Kutawetan, Desa Mangunkerta, Cugenang itu juga menyertakan foto sejumlah warga yang tersenyum di bawah tenda pengungsian berwarna biru dengan lantai tanah."Itu keponakan yang awalnya enggak mau mengungsi ke posko. Sekarang malah betah," ucap Elda melalui pesan kepada Kompas, sambil menunjukkan anak kecil itu di foto.
Sejatinya, tidak hanya anak itu yang tidak ingin tinggal di posko pengungsian. Elda dan warga lainnya bahkan tidak pernah membayangkan bakal menghabiskan hari-harinya di tenda.
Sebulan lalu, tepatnya Senin (21/11) pukul 13.21, gempa M 5,6 mengguncang sejumlah wilayah Cianjur, termasuk Cugenang yang jadi episentrumnya. Bencana itu merusak rumah warga yang konstruksinya tidak tahan gempa. Jarak rumah yang berdekatan, jalannya hanya bisa dijangkau kendaraan roda dua, memperburuk kerusakannya.Kediaman Elda tak luput dari amukan gempa. Atap dan plafonnya runtuh. Tembok rumahnya ambruk. Usaha pizza kecil-kecilan yang ia rintis juga layu. Ia dan dua keponakannya selamat karena segera lari keluar rumah. Namun, sejumlah tetangganya meninggal dunia setelah tertimpa reruntuhan bangunan.Ia dan warga lain panik. Tangisan terdengar seakan tiada henti, beriringan dengan sirene ambulans yang hilir mudik. Tidak sedikit juga yang terdiam karena syok. Gempa itu membuat warga limbung akan masa depannya dan menyisakan trauma. Elda pun kerap mengucurkan air mata saat menelepon anaknya yang kerja di Oman.
"Anak saya bilang, bunda jangan nangis. Kalau nangis, anak-anak di sana bagaimana?" ucap Elda menirukan pernyataan anaknya.
Sejak itu, ia tak ingin lagi larut dalam kesedihan. Sehari pasca gempa, ia dan warga mulai menyusun strategi. Apalagi, bantuan awalnya sangat minim ke kampungnya yang sekitar 30 menit dari kota.Orangtua tunggal dengan satu anak ini lalu mengeluarkan semua bahan makanan di kulkasnya, seperti sosis dan nuget. Adiknya, Sri Marlina (48), juga menyumbangkan beras, telur, dan sebagainya. Alat penanak nasi hingga kulkas pun dikeluarkan. Tetangga lainnya juga berkontribusi.Warga lalu mengumpulkan berbagai alat dan bahan dapur itu ke pekarangan rumah Sri yang kemudian menjelma dapur umum posko 2. Atapnya, terpal biru tanpa dinding. Ada juga meja, kursi, gas, kompor, dan lainnya. Warga memasak dan makan bersama. Mereka bergantian mencuci piring. Bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir.
Bahkan, sesuatu yang tak terduga terjadi. "Saya pernah berharap makan pisang. Eh, tanpa diminta, ada teman yang kirim pisang ke Cikarang. Pernah juga kami butuh alat shalat, eh ada yang bawain ke sini. Enggak tahu dari mana. Malah ada yang bawa kornet ke sini," ucap Elda sambil tertawa, menunjukkan kornet di atas meja kayu. Bagi Sri, posko pengungsian memberikan makna baru. Ia, misalnya, sangat jarang berjumpa dengan kerabatnya yang juga tetangganya, Iis Rohaeti (50), sebelum gempa. Kadang, komunikasi keduanya hanya via telepon. Namun, mereka semakin dekat ketika tinggal di pengungsian. "Kami bisa tidur bersama, masak bareng," katanya.Apalagi, sesaat setelah gempa, Sri dan Iis sempat terpisah beberapa hari karena berbeda lokasi pengungsian. Kedekatan antartetangga juga kian lekat pasca gempa. Sri, misalnya, keliling ke rumah penyintas untuk menanyakan ketersediaan bahan pangannya. Jika tidak ada, ia dan warga lainnya memasakkan makanan.
Warga juga bersepakat untuk mengatur alur distribusi logistik. Berbagai bahan pangan hingga pakaian dari donatur disimpan dalam satu rumah. Warga akan mengeluarkan bantuan itu jika dibutuhkan. "Enggak ada yang mengambil makanan terus ditumpuk di tenda karena takut diambil orang seperti di posko lainnya," ungkapnya.
Paling unik, warga sampai menyediakan tempat serupa warung untuk anak-anak. Berbagai makanan ringan hingga susu tertata di rak khusus di depan rumah salah satu warga. Ada juga saset minuman tergantung di tali, layaknya di toko. Bedanya, anak-anak tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli itu. Semuanya gratis.
Alih-alih menyembunyikan bahan pangan, Sri bahkan membagikan telur dan bahan lainnya untuk pengungsi yang kekurangan. Bahkan, ia meminjamkan perabotannya, seperti sendok. Kapan barangnya kembali, ia tak mau tahu. "Di pengungsian, sudah tidak ada ungkapan rumput tetangga lebih hijau. Sekarang, semuanya hijau," kata Iis.Paling unik, warga sampai menyediakan tempat serupa warung untuk anak-anak. Berbagai makanan ringan hingga susu tertata di rak khusus di depan rumah salah satu warga. Ada juga saset minuman tergantung di tali, layaknya di toko. Bedanya, anak-anak tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli itu. Semuanya gratis.
Ide membuat warung kecil-kecilan itu lahir saat anak-anak meminta uang jajan kepada orangtuanya. "Padahal, saat kejadian, bapak-bapak hanya pegang uang Rp 2.000, Rp 20.000. Makanya, saat ada bantuan kue, kami bikin warung. Anak-anak kan suka jajan. Jadi, mereka tetap jajan meski sudah gempa," katanya Abdul Kholil (37).Suasana itu turut memulihkan perasaan anak-anak. Sejumlah anak yang sempat mengungsi ke rumah keluarga di Bandung dan daerah lainnya malah meminta kembali ke posko. "Di posko, kita enggak keluarkan uang. Ada makanan gratis. Asli, beban hidup itu rasanya enggak ada," kata Abdul yang memakai koyo karena sakit gigi.Abdul juga merasa lebih membaur dengan warga pasca gempa. "Dulu, saya kerja dua hari sepekan. Saya cuma duduk di depan rumah. Kalau kerja bakti saya enggak ikut. Dulu, saya aktifnya bukan di kampung. Kalau pernikahan jarang datang. Dengan peristiwa ini, saya jadi aktif," ujarnya Abdul yang bekerja di tempat variasi mobil di kota.
Keguyuban itu, baginya, menjadi modal untuk bangkit. Saat ini, katanya, Yayasan Al Huda turut membangun hunian sementara bagi penyintas. Akan tetapi, belum semua 18 keluarga di kampung itu tertampung di huntara itu. Baru 5 unit huntara yang berdiri dari target 18 unit. Ia berharap, warga tetap dapat tinggal bersama meski di huntara.BangkitBukan hanya Abdul yang berharap segera mendapatkan hunian tetap. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, sebanyak 56.548 rumah yang tersebar di 16 kecamatan rusak akibat gempa. Sebanyak 114.683 orang mengungsi. Tidak hanya itu, sebanyak 602 orang meninggal dunia. Pemerintah pusat menyalurkan bantuan Rp 60 juta untuk perbaikan rumah rusak berat, Rp 30 juta untuk perbaikan rumah rusak ringan, dan Rp 15 juta bagi rumah rusak ringan. Pemerintah telah menyerahkan bantuan tahap satu kepada 8.100 penyintas dan menyiapkan lahan relokasi bagi warga yang tanahnya tak bisa ditempati lagi. Pemerintah juga menyiapkan 200 rumah tahan gempa di Kampung Sirnagalih seluas 2,5 hektar, sekitar 5,2 kilometer dari pusat kota. Targetnya, pembangunan rumah itu tuntas Januari 2023. Di Kecamatan Mande yang luasnya 30 hektar, pemerintah bakal menyediakan lebih dari 1.600 rumah dan tuntas sebelum Lebaran (April 2023).
"Bantuan ini diserahkan secara bertahan sehingga semua pergerakan aktivitas masyarakat kembali. Aktivitas ekonomi juga bisa terbantu dari situ," ucap Presiden Joko Widodo saat meninjau pembangunan rumah tahan gempa di Sirnagalih, Senin (5/12). Presiden berharap, perekonomian penyintas kembali bangkit. Ade Kusyadi (45), warga Desa Mangunkerta, mengapresiasi lahan relokasi yang disiapkan pemerintah. Apalagi, ia dan empat anggota keluarganya sudah dua pekan tinggal di posko pengungsian yang terbatas. ”Anak saya sempat demam dan gatal-gatal. Banyak yang begitu,” katanya.Namun, Ade, yang kehilangan anak keempatnya karena gempa, berharap, kehidupannya tidak mulai dari nol lagi meski rumahnya rata dengan tanah. "Semoga pemerintah bisa membantu jangan sekadar rumah, tapi mata pencahariannya juga. Apalagi, saya kerjanya beternak dan bercocok tanam," ujar bapak empat anak ini.
Adhi Chandra (28), warga Desa Cijedil, Cugenang, bersyukur mendapatkan rumah relokasi. Namun, ia masih berharap pemerintah terus mencari empat anggota keluarganya yang diduga hilang tertimbun reruntuhan rumah dan longsoran. Mereka adalah istri, anaknya yang berusia 2,5 tahun, kakak ipar, dan mertuanya. "Warga di RT 03 Cijedil berinisiatif menyewa dump truck dengan dana pribadi. Bisa Rp 500.000 per hari. Ini untuk memaksimalkan pencarian korban. Di Cugenang, diperkirakan masih ada 11 orang yang hilang," ungkapnya. Ia pun memohon pemerintah kembali menurunkan tim SAR gabungan dan alat berat untuk mencari semua korban. Sebulan pasca gempa, penyintas perlahan bangkit meski tertatih. Bagaimana pun, mereka berusaha tetap menjalani dan memaknai hidup. Seperti warga Kampung Kutawetan yang tetap guyub di tengah bencana. Namun, penyintas masih berharap masa depan lebih cerah.