Ceria Anak Mengikis Duka Cianjur
Keceriaan anak-anak menjadi pelipur lara di tengah kehidupan warga Cianjur yang tidak menentu setelah gempa melanda daerah tersebut. Mereka ini sejatinya tengah berjuang untuk memulihkan diri dari stres ataupun trauma.
Keceriaan anak-anak di pengungsian yang sempat hilang akibat gempa Cianjur perlahan mulai kembali. Meskipun dengan kegiatan seadanya di tengah tenda, mereka tertawa saat belajar bersama dan mendapatkan ilmu baru. Senyuman para orangtua yang melihat mereka tertawa ini diiringi harap agar anak-anak kembali bahagia seperti sediakala.
Tawa lepas anak-anak terdengar renyah di salah satu tenda Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di SDN Jambudipa 2, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Sabtu (17/12/2022). Berdiri di tengah lapangan sekolah, tenda oranye ini menjadi kelas darurat untuk belajar 43 anak yang berada di sekitarnya.
Baca juga : Penyintas Gempa Khawatir Bantuan Berkurang
Mereka belajar mengenal tanda-tanda stres di dalam tubuh saat merasakan takut atau menerima tekanan, seperti saat gempa yang dirasakan pada Senin (21/11/2022) silam. Sebagian besar berteriak, ”Reuwas! Nyeri beuteung! (kaget, sakit perut)” yang diiringi tawa anak-anak lain.
Amalia (19), fasilitator kelas saat itu, kewalahan mendengar antusiasme anak-anak ini. Suaranya hampir habis, berteriak riuh untuk mengimbangi suara anak-anak yang berebutan menjawab pertanyaannya. Dia menjelaskan secara sederhana, apa yang dirasakan anak-anak ini adalah respons tubuh saat menerima tekanan atau stres.
Amalia meminta mereka untuk menggambarkan sosok manusia utuh, kemudian menunjukkan posisi mana yang merasakan tekanan itu saat bencana terjadi. ”Sekarang kalau yang merasa sakit perut, kasih tanda di perut gambar kalian. Kalau ada yang merasa keringatan, gambarkan keringat di tubuhnya,” ujar Amalia kepada anak-anak.
Puluhan anak ini pun larut dalam imajinasi dan ingatannya. Kertas berukuran A4 pun dicorat-coret beraneka warna. Salah satunya Dikri (12), yang tampak serius menggambar sesuai arahan, kemudian memberikan tanda di wajah, dada, perut, dan kaki.
”Waktu gempa, saya lagi main, sudah pulang sekolah. Saya keringatan, deg-degan, mulas,” ujarnya sambil tertawa. Segaris senyum ini tentu tidak terukir di bibirnya saat bumi tempatnya berpijak diguncang gempa. ”Saya menangis, takut,” ucapnya pelan.
Tidak hanya Dikri, bocah dari RW 007 Desa Jambudipa, Cianjur, ini yang kehilangan keceriaannya kala itu. Gempa berkekuatan M 5,6 ini berdampak besar pada sebagian wilayah Cianjur. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Cianjur, hingga Minggu (18/12/2022) pukul 17.00, jumlah pengungsi gempa Cianjur mencapai 114.683 orang.
Dari jumlah tersebut, 27.388 orang masuk dalam kelompok anak di bawah usia 12 tahun. Para pengungsi ini tersebar di 180 desa di 16 kecamatan. Bahkan, gempa tersebut menewaskan 602 jiwa dan menyebabkan rumah rusak sebanyak 56.548 unit.
Sebagian besar warga terpaksa masih tidur di tenda pengungsian atau sekadar mendirikan tenda di depan rumahnya. Kondisi ini dialami oleh Endang (40), warga Jambudipa, yang tengah mengamati anaknya belajar bersama.
”Sekarang bikin tenda di depan rumah. Kalau siang berani masuk, tapi kalau malam tidur di tenda atau di dalam warung. Rumah retak-retak, anak-anak panik kalau sudah terasa gempa,” ujarnya.
Endang tersenyum melihat dua anaknya bermain bersama teman-teman sebayanya. Setidaknya itu bisa memberikan rasa lega karena dia melihat mereka tertawa lepas kembali. ”Sebelumnya mereka sering diam. Kalau gempa wajahnya panik, yang kecil menangis,” ujarnya.
Mengenali stres
Endang pun turut menyimak materi yang disampaikan oleh Amalia dari Yayasan Sekretariat Masyarakat Anak (Semak) tersebut dari luar tenda. Dia akhirnya menyadari, ketakutan dan stres yang dialami saat merasakan gempa itu adalah hal yang wajar dan bisa ditanggulangi.
”Syukurlah kalau anak-anak jadi lebih tahu dan bisa mengatasi rasa takutnya. Saya juga baru tahu kalau itu juga disebut stres. Saya pikir stres itu kalau lagi mikir bagaimana cara membangun rumah lagi,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut Program Coordinator Mental Health and Psychosocial Support Save the Children Indonesia Fajar Suryawan, pengenalan stres bagi anak diperlukan agar mereka mengetahui itu adalah perasaan yang normal. Bahkan, stres yang sama juga dialami pada kondisi yang lain sehingga anak-anak tidak perlu takut jika merasakan hal tersebut.
”Situasi-situasi yang anak-anak rasakan ini adalah stres yang normal meskipun dalam situasi tidak normal, seperti gempa, yang membuat kehidupan mereka berubah. Jadi, anak-anak tidak perlu khawatir dan ini belum tentu sebuah trauma. Butuh observasi dan jangka waktu lama serta pernyataan dari para ahli untuk menyebut kondisi trauma tersebut,” paparnya.
Pembekalan bagi anak untuk lebih mengenali diri ini digagas oleh Save the Children Indonesia. Organisasi yang fokus terhadap anak ini telah masuk dan berkegiatan di Cianjur segera setelah bencana gempa melanda akhir November silam.
Situasi-situasi yang anak-anak rasakan ini adalah stres yang normal meskipun dalam situasi tidak normal, seperti gempa, yang membuat kehidupan mereka berubah. Jadi, anak-anak tidak perlu khawatir dan ini belum tentu sebuah trauma. Butuh observasi dan jangka waktu lama serta pernyataan dari para ahli untuk menyebut kondisi trauma tersebut.
Response Team Leader Save the Children Indonesia Fadli Usman menyebut, layanan dukungan psikososial seperti ini telah menjangkau 1.711 anak dan 287 guru. ”Ini menjadi sangat penting untuk dapat memastikan bahwa anak-anak mendapat tempat yang aman untuk bercerita serta mengatasi situasi sulit yang telah dihadapi mereka,” katanya.
Baca juga : Menanti Relokasi Sembilan Desa di Cianjur yang Dilalui Sesar Cugenang
Fadli menjelaskan, selain layanan psikologis ini, pihaknya telah menjangkau lebih dari 14.000 warga dari empat kecamatan di Cianjur, dengan 7.877 orang di antaranya adalah anak-anak. Selain memberikan materi yang diharapkan bisa membekali anak, Save the Children juga memberikan bantuan lain, seperti 300 paket kedaruratan, 944 paket perlengkapan kebersihan, hingga 137,660 liter air bersih untuk warga. ”Semua ini dibutuhkan oleh anak-anak,” ujarnya.
Belajar etika
Keceriaan anak-anak saat belajar di tengah keterbatasan juga terdengar di salah satu tenda pengungsian RT 002 RW 005 Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Cianjur. Mereka gembira mendapatkan paket alat tulis dan tas ransel dari salah seorang donatur yang dibagikan di tenda dari terpal tersebut.
Tuti Yanah (45), guru mereka, meminta anak-anak untuk rapi, kemudian mengajarkan mereka untuk menuliskan nama dan tanda tangan sebagai bukti menerima bantuan. Sejumlah orangtua turut menanti sambil mengamati anak-anaknya bercanda dan tertawa dengan teman sebaya.
Di tenda ini, 21 anak dari berbagai umur belajar bersama. Tuti pun mengajar di beberapa tingkatan, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, pada saat bersamaan. Mereka belajar pengetahuan umum hingga etika dalam kehidupan sehari-hari sampai saatnya menerima bantuan.
”Saya tidak ingin anak-anak ini tumbuh sebagai peminta-minta. Memang mereka membutuhkan bantuan, tapi bukan berarti mereka harus meminta-minta. Harus ada sikap dan etika sehingga anak-anak juga dihargai saat ada yang memberikan bantuan,” ujarnya.
Keresahan ini mulai dirasakan oleh Tuti sesaat setelah tinggal di pengungsian. Dia melihat anak-anak bermain tidak tentu arah dan sebagian hanya diam saja di dekat orangtuanya. Nurani Tuti tergerak untuk mengajar anak-anak ini meskipun dia sudah tidak menjadi guru selama lebih dari tujuh tahun.
”Dulu saya sempat berhenti mengajar. Tetapi, sebagai lulusan pendidikan guru, saya merasa bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan ke anak-anak ini. Jadi, saya kumpulkan mereka, dan kami mulai belajar bersama,” tuturnya.
Materi yang diberikan pun bukanlah dari silabus pendidikan formal. Tuti merasa hal itu terlalu berat diterima anak-anak yang masih hidup dalam kecemasan. Karena itu, pengetahuan umum, matematika dasar, hingga perilaku menjadi bahan belajar bagi mereka.
”Semua biar anak-anak mau belajar lagi. Lumayan, itu bisa membuat mereka sibuk dan dengan bermain bersama teman-temannya membuat mereka ceria. Setidaknya itu yang bisa saya lakukan untuk anak-anak,” ujar Tuti.
Iyuningsih (43), salah satu orangtua anak yang juga pengungsi dari RT 002, bersyukur saat Tuti bersedia mengajar anak-anak. Dia akhirnya kembali melihat senyum dari anaknya yang sebelumnya sering ketakutan saat gempa susulan terjadi.
”Sekarang sudah biasa. Dia sama adiknya juga sudah sering tertawa. Kalau begini, beban sedikit berkurang,” ujarnya.
Tawa anak-anak ini bisa memberikan sedikit ketenangan bagi orangtua di tengah keresahan menghadapi harta benda hingga tempat tinggal yang binasa setelah gempa. Dengan belajar bersama, anak-anak ini lebih mengenal kehidupannya yang baru dan bisa menghadapinya.