Kisah Nida-Nurdin Mengikat Janji Suci di Tengah Duka
Bagi para penyintas bencana, termasuk para pasangan muda, masa depan setelah gempa bumi Cianjur membingungkan.
Di bawah plafon bolong, Nida Khovia Syukur (22) berhias. Bulu matanya lentik. Pipinya merona. Gaun putih yang menjuntai ke bawah membuat perempuan ini lebih anggun.
Minggu (4/12/2022) ini, ia memulai hidup baru sebagai pengantin sekaligus melanjutkan nasib sebagai penyintas gempa Cianjur. Seharusnya, Nida bersolek di depan kaca hias dengan penyejuk ruangan.
Wedding organizer atau penyelenggara pernikahan juga semestinya mengurus semua keperluan hari bahagianya. Namun, gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) siang.
Rumah keluarganya di Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang, yang menurut rencana jadi tempat nikah, ambruk. Rumah pemilik usaha rias yang bakal mendandaninya juga terdampak. Sofa pernikahan rusak. Rencananya yang disusun dua bulan lalu buyar. Hajatannya serba terbatas.
”Duh, maaf ya, bedaknya berantakan karena kena gempa,” ucap ibu perias menunjukkan sisa bedak dan lipstik yang berserakan di atas kursi robek.
Sambil duduk tegap, Nida tersenyum. Tidak ada cermin di hadapannya. Belum juga tuntas, keluarga memintanya segera ke rumah.
Baca juga : Cemas Menanti Kelahiran di Tengah Trauma Gempa
Petugas kantor urusan agama setempat telah datang. Menggunakan sandal gunung, Nida berjalan pelan di tengah puing-puing genteng dan bata. Memakai sepatu hak tinggi cukup berisiko.
Anggota keluarganya memegang gaunnya di belakang. Tidak ada iring-iringan dan lampu kilat kamera. Melintasi rumah retak dan ambruk, rombongan lebih banyak diam. Mereka melalui jalan setapak yang di sisinya berdiri tenda pengungsian.
Setelah berjalan sekitar 150 meter, sampailah ia di rumahnya. Di sana, sudah ada kerabat, tamu, dan Muhammad Nurdin (29), calon suaminya.
Nyaris tidak tampak tanda-tanda pernikahan selain wali dan petugas KUA. Jangankan janur kuning melengkung, makanan prasmanan dan pagar betis pernikahan saja tiada. Apalagi, panggung dan pengeras suara yang biasanya berisi lagu dangdut. Semuanya tidak tersedia.
Meski terbatas, acara ikatan janji suci itu berjalan khidmat. Penghulu menyampaikan ceramah singkat pernikahan dan mengajak berdoa.
Suasana haru terasa setelah akad nikah. Nurdin menyalami satu per satu keluarga sembari meneteskan air mata. Keluarga juga berpelukan.
Perasaan keduanya campur aduk, antara suka dan duka. ”Sedih juga ya melihat bangunan kayak gini (rusak dan ambruk). Tapi, Alhamdulillah bisa tetap nikah. Kami memang sudah merencanakan nikah hari ini. Sudah masuk daftar di KUA,” ucap Nurdin merangkul Nida.
Kebahagiaan tampak saat Nurdin menyerahkan mahar pernikahan berupa gelang emas yang tersimpan dalam tempat berbentuk love, seperti jantung, kepada mempelai perempuan. Wajah pasangan sejoli ini tampak memerah, malu-malu.
”Pasangin gelangnya, sudah halal,” teriak seorang tamu.
Apalagi, saat pertanyaan rencana bulan madu menyasar mereka. Sambil tertawa, Nida menutup mulut dengan jemarinya yang dihiasi motif bunga berwarna putih.
”Di posko aja,” kelakar Nurdin. Ibu-ibu dan tamu lainnya ikut tertawa. Tapi, di balik keceriaan itu tersimpan kesedihan.
Sudah hampir dua pekan, Nurdin tinggal di tenda pengungsian. Rumahnya di Desa Cirumput, Cugenang, runtuh akibat gempa.
Saat petaka itu datang, ia sedang mengajar di sebuah pondok pesantren. Namun, adiknya, Siti Maulida, istirahat untuk selamanya setelah tertimpa bangunan. Ibunya yang berusia renta juga terkena bata sehingga terluka. Ibunya kini mengungsi di tempat keluarga karena semakin kesulitan berjalan.
Mungkin ini ujian bagi saya dan suami. Semoga ada berkah.
Di hari pernikahannya, anak yatim ini hanya ditemani kakaknya. ”Ibu cuma berpesan dan mendoakan acara saya lancar dan berkah,” katanya.
Nurdin belum bisa memastikan rencana ke depan dengan sang istri. Sementara ia akan tinggal di rumah mertuanya yang masih berdiri atau ke tenda pengungsian. Apalagi, gempa susulan masih mengintai. Hingga Minggu siang, sudah 382 gempa susulan, terbesar berkekuatan M 4,2.
Nida juga belum membayangkan detail masa depan keluarga barunya. Ia masih berupaya membiasakan diri tidur beratapkan tenda dan berlantai terpal pada malam hari.
”Mungkin ini ujian bagi saya dan suami. Semoga ada berkah,” ucap santri di salah satu ponpes di Cianjur ini.
Abdul Syukur (56), ayah Nida, menganggap rumah-rumah yang runtuh karena tak tahan gempa dan jaraknya berdekatan sebagai takdir. ”Kami hanya pasrah saja karena ini takdir. Makanya, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Syukur yang merasakan getaran sebelum gempa.
Meski tak jadi menyebar 200 undangan yang telah dicetak, keluarga tetap bergotong royong untuk hari bahagia Nida. Tante Nida, misalnya, membuat kue bolu dan nasi bungkus untuk tamu. Menunya terdiri dari nasi, tahu, ayam, sambal, dan mi. Keluarga juga membikin rengginang.
Ai Sutisna, pembantu pegawai pencatat perkawinan KUA Desa Sarampad, mengatakan baru kali ini menikahkan pasangan di tengah bencana. Bulan ini, menurut rencana ada dua pasangan lagi yang menikah di daerahnya. Namun, acara tidak bisa dilakukan di kantor KUA karena bangunan ambruk kena gempa.
”Alhamdulillah, dokumen-dokumen masih aman. Tapi, pembuatan buku nikahnya harus proses ke kota. Kami doakan pasangan yang menikah ini keluarganya sakinah,” ucap Ai yang belum menyerahkan buku nikah Nida dan Nurdin.
Cemas akan masa depan
Nida dan Nurdin termasuk dalam 114.683 pengungsi yang cemas akan masa depannya setelah gempa. Hingga Minggu sore, tercatat 8.161 rumah rusak berat, 11.210 unit rusak sedang, dan 18.469 unit rusak ringan. Gempa juga mengakibatkan 334 korban jiwa dan delapan orang masih dalam pencarian.
Kondisi ini rentan berdampak pada kehidupan penyintas, seperti Nurdin yang rumahnya hancur. Apalagi, ia akan bertanggung jawab untuk istri dan anaknya kelak.
”Saya juga lagi mencari kerja,” ucapnya.
Bukan tidak mungkin, beban hidup penyintas kian berat. Sebelum gempa saja, tingkat kemiskinan warga Cianjur tahun lalu tercatat 11,18 persen atau sekitar 260.000 orang.
Angka kemiskinan ini termasuk tertinggi di Jabar, yang rata-ratanya 8,4 persen. Jumlah penganggur juga mencapai 109.562 jiwa.
Kisah pernikahan Nida dan Nurdin menunjukkan, hidup memang tetap harus berjalan. Namun, tanpa persiapan, masa depan mereka di tengah gempa belum sepenuhnya cerah.
Baca juga : Fisik Bisa Sembuh, tapi Batin Belum Tentu Pulih