Satu Jam di Atas Kapal Pengangkut Pekerja Migran Tanpa Dokumen
Kapal feri rute Batam, Kepulauan Riau, ke Tanjung Pengelih, Malaysia, diduga setiap hari digunakan untuk mengirimkan ratusan pekerja migran tanpa dokumen. Aktivis migran yang juga seorang imam Katolik membuktikannya.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Langit bersih dari awan dan bulan hampir penuh di atas Kota Batam, Kepulauan Riau. Di ruang tengah Shelter Pastoral Migran- Perantau, 20 korban perdagangan orang duduk melingkar untuk sembahyang rosario. Suara lantunan doa Salam Maria timbul tenggelam.
Suasana damai pada Sabtu (10/12/2022) malam itu koyak oleh umpatan dari ruang tamu. Pastor RD Chrisanctus Paschalis tak mampu menahan marah saat menceritakan pengalamannya selama satu jam di atas feri, yang disebutnya ”kapal siluman”.
Kapal dimaksud adalah feri yang melayani rute Batam ke Tanjung Pengelih, Malaysia. Beredar desas-desus kapal-kapal tersebut digunakan sindikat memberangkatkan pekerja migran Indonesia secara nonprosedural ke negeri jiran.
Sudah lama Paschalis ingin membuktikan benar atau tidaknya kabar itu. Namun, kesempatan baru datang kali ini. Aktivis migran itu akhirnya berhasil mendapat tiket ”kapal siluman” dari ”orang dalam”.
Paschalis dan lima rekannya berangkat lewat Pelabuhan Batam Centre pada Selasa (6/12/2022). Ia menumpang feri MV Allya Express 3. Tepat pukul 10.30, kapal itu angkat jangkar untuk berlayar ke Tanjung Pengelih.
”Sadis betul. (Awak kapal) sudah pegang manifes (daftar penumpang) jadi mereka tahu siapa yang pekerja migran Indonesia dan siapa yang bukan. Waktu masuk kapal, aku langsung disuruh mereka ke (dek) atas. Dek bawah dan tengah khusus untuk pekerja migran Indonesia,” kata Paschalis.
Di dek bawah dan tengah, sejumlah awak kapal mondar-mandir memeriksa beberapa nama penumpang, memaksa penumpang menukar uang rupiah dengan ringgit, dan membeli kartu telepon seluler Malaysia.
Dari dokumen manifes yang diperoleh Kompas, diketahui MV Allya Express 3 mengangkut 168 penumpang. Artinya, kapal itu berlayar dengan kapasitas maksimal. Sebanyak 140 penumpang di antaranya diduga kuat adalah pekerja migran Indonesia, yang berangkat hanya berbekal paspor, tanpa visa kerja dan enam dokumen lain sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Dalam dokumen daftar penumpang kapal terlihat ada empat kode khusus di belakang nomor tiket penumpang feri tujuan Tanjung Pengelih, yakni OD, BCK, SY, dan RS. Huruf itu adalah inisial nama empat orang, yang memberangkatkan pekerja migran Indonesia nonprosedural.
Operasi bocor
Jarak Batam ke Tanjung Pengelih sekitar 27 kilometer, waktu tempuh dengan kapal feri selama 1 jam. MV Allya Express 3 yang ditumpangi Paschalis berangkat pukul 10.30 dari Batam dan tiba di Tanjung Pengelih pukul 11.30.
Berselang lima hari, Kompas berangkat ke Malaysia lewat rute yang dilalui Paschalis menumpang MV Dolphin 5.
Pengawasan di gerai imigrasi Pelabuhan Batam Centre amat ketat. Petugas menjelaskan kepada calon penumpang bahwa Tanjung Pengelih tidak cocok untuk pelancong karena jauh dari kota-kota pusat keramaian di Malaysia.
Dari Tanjung Pengelih ke Johor Bahru, Malaysia, butuh waktu lebih dari 1 jam, sedangkan ke Kuala Lumpur sekitar 4 jam menggunakan bus. Oleh sebab itu, pelancong umumnya memilih berangkat ke Malaysia lewat rute Batam-Stulang Laut atau Batam-Pasir Gudang.
Siang itu hanya sembilan calon penumpang yang diloloskan petugas imigrasi. Lima di antaranya warga negara Malaysia. Di ruang tunggu keberangkatan, calon penumpang, SY, menilai kondisi itu tidak wajar. ”Dari sini biasanya pasti penuh, ramai sekali,” ucapnya.
Ia pun bertanya kepada awak kapal MV Dolphin 5 di ruang tunggu. Laki-laki berambut ikal itu menjawab singkat, ”Imigrasi lagi ada operasi.”
Tepat pukul 10.30, MV Dolphin 5 angkat jangkar dari Batam menuju Tanjung Pengelih. Sembilan penumpang bebas memilih 168 kursi yang tersedia. Namun, perjalanan agak molor karena hujan deras dan ombak kuat.
Mereka diangkut ke KL (Kuala Lumpur). Tapi ada juga beberapa yang ditolak (imigrasi) sini, biar petugas tu tampak kerja sikit.(EV)
Setelah melalui pemeriksaan petugas imigrasi Malaysia, sembilan penumpang dari Batam keluar melintasi ruang tunggu Pelabuhan Tanjung Pengelih. Sejumlah penumpang tujuan Batam pun terheran-heran melihat situasi itu. ”Ada apa? Kok sikit (sedikit) kali orang dari Batam,” tanya EV, yang tengah menunggu keberangkatan feri ke Batam.
Ia mengatakan, biasanya rute Batam-Pengelih dilayani dua kapal yang berangkat pukul 10.30 dan 12.30. ”Kapal tu biasanya selalu penuh orang nak kerja sini. Ratusan (orang) isinya,” ujarnya.
EV menyebut pekerja migran tanpa dokumen sebagai PATI (pekerja asing tanpa izin), istilah yang lazim digunakan di Malaysia. Menurut dia, biasanya ada tiga atau empat bus yang telah menunggu di Tanjung Pengelih untuk mengangkut ratusan pekerja asing tanpa dokumen yang datang dengan dua kapal dari Batam itu.
”Mereka diangkut ke KL (Kuala Lumpur). Tapi ada juga beberapa yang ditolak (imigrasi) sini, biar petugas tu tampak kerja sikit,” kata EV.
Pukul 14.30, MV Dolphin 5 angkat jangkar untuk kembali ke Batam dengan 11 penumpang. Di buritan kapal, seorang penumpang tertawa lepas saat berbincang lewat panggilan video. ”Ini anak saya satu-satunya, dari kemarin dia nanya-nanya terus kapan (saya) pulang,” kata IK, pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor konstruksi di Pengerang, Malaysia.
IK harus pulang ke Indonesia karena masa berlaku visa kerjanya akan habis pada 23 Desember. Sejak 10 tahun yang lalu, ia telah bolak-balik masuk Malaysia untuk bekerja dengan atau tanpa visa kerja.
”Enggak ada (orangtua) yang sanggup jauh dari anak, kerja sampai luar negeri begini. Tapi mau gimana lagi di negara kita susah dapat kerja, sedangkan anak istri butuh makan,” ujarnya.