Cemas Menanti Sinterklas
Harap-harap cemas. Berharap kado, tapi cemas Sinterklas tak datang sendiri. Desember penuh dag-dig-dug bagi anak-anak di Manado. Meski akhirnya, semua dapat kado.
Raut wajah Azrakal (3) waswas ketika empat mobil berhenti di depan pelataran rumahnya di perkampungan Paal IV, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (10/12/2022) siang. Diiringi lagu disko khas Manado yang memekakkan telinga, pria gempal berjenggot putih lebat yang mengenakan topi, baju, dan celana beludru serba merah turun serta menyapa ramah Azrakal.
Namun, perhatian anak balita yang digendong neneknya, Meydi Lengkong (44), itu terpusat pada empat laki-laki berjubah hitam dengan wajah yang dihias seram.
Mereka mendekati Azrakal. Lalu, salah satu bersuara nyaring dalam Melayu Manado, ”Ooooh, ini kang yang ja banakal? (Ini, ya, anak nakal?)” Yang lain menimpali, ”Main HP (ponsel) terus!” Yang lain lagi berseru, ”Isi jo di karung! (Masukkan saja di karung!)”
Azrakal menangis sejadi-jadinya dan meringkuk di pelukan Meydi. Sang nenek menenangkannya sambil menahan tawa. Si pria berjenggot pun mengelus-elus kepala bocah itu sambil menyerahkan hadiah berisi aneka camilan serta peralatan makan berbahan plastik dan balon helium. Tangis Azrakal reda.
Mobil pikap berspanduk ”Panitia Santa Claus God Bless” bersama gerombolan pria berkostum itu pun melanjutkan perjalanan.
Itulah salah satu cara warga Manado, Minahasa Raya, dan daerah lain di Sulawesi Utara memestakan Natal bagi anak-anak, yaitu menghadirkan kebaikan hati Sinterklas sekaligus kegalakan Piet Hitam alias Sinterpiet langsung di rumah. Azrakal adalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan anak yang pada Desember ini akan mendapat kunjungan itu.
Panitia Santa Claus God Bless hanya satu dari sekian banyak panitia Sinterklas di Sulut yang dibentuk dua bulan silam. Kepanitiaan biasanya dibesut warga kampung, komunitas pemuda, atau anak-anak tongkrongan biasa.
Mereka menawarkan paket-paket hadiah dengan biaya tertentu kepada para orangtua yang ingin memberikan kejutan bagi anak-anaknya. Pendaftaran dibuka secara langsung maupun lewat Facebook dan WhatsApp.
Panitia Santa Claus God Bless, misalnya, tahun ini menerima pendaftaran 67 anak penerima hadiah dengan biaya Rp 50.000. Kenly Kalare (39), ketua kelompok sinterklas tersebut, mengklaim biaya pendaftaran mereka paling murah di seantero Manado. Kebanyakan panitia sinterklas memasang harga Rp 75.000-Rp 175.000 per anak. Semakin mahal, semakin beragam hadiahnya.
Baca juga: Melestarikan Hubungan dengan yang Telah Berpulang
“Uang pendaftaran itu kami habiskan semuanya untuk beli hadiah, snack, balon, dan cetak foto. Biaya operasional lainnya kami dapat dari berjualan makanan, buah, dan es. Jadi total semuanya, termasuk untuk bikin seragam, beli peralatan, dan sewa mobil, kira-kira Rp 10 juta-Rp 12 juta,” kata dia.
Akhirnya, mereka datang pada hari pelaksanaan dengan konvoi mobil dan sepeda motor diiringi bisingnya lagu-lagu disko tanah. Lalu lalang mereka selalu meramaikan jalanan di Manado sejak awal Desember. Apa yang mereka lakukan tak ubahnya sinterklas di Barat yang masuk ke rumah membawa hadiah pada tengah malam lewat cerobong asap, tetapi dengan kearifan lokal Manado.
Butuh dua sampai tiga hari untuk mengantarkan semua hadiah dari rumah ke rumah, dari kelurahan ke kelurahan, baik yang ada di Kota Manado maupun Kabupaten Minahasa. Kenly mengatakan, mereka tidak mengambil untung dari kepanitiaan itu. “Kalau ada sisa, kami akan buat pembubaran panitia, main di pantai sambil makan-makan,” kata dia.
Kepala Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) di Tomohon, Denni HR Pinontoan, mengatakan, berbagai catatan menunjukkan sinterklas dan piet hitam mulai dikenal di Tanah Minahasa bersamaan dengan daerah lain di Hindia Belanda sejak abad ke-20. Alih-alih berbau keagamaan, dua sosok itu merupakan bagian dari budaya populer terkait Natal.
Tokoh Sinterklaas sendiri sebenarnya berasal Belanda. Ia disebut sebagai seorang uskup imajiner dari Myra di Yunani yang setiap akhir tahun berkunjung dari Spanyol ke Belanda dengan sebuah kapal uap (Rodenberg & Wagenaar, 2016). Setiap malam pada 5 Desember, Sinterklaas disebut berkunjung ke rumah-rumah untuk memberi permen dan hadiah untuk anak yang bersikap baik sepanjang tahun sebelumnya.
Kepercayaan ini diadaptasi di Minahasa seiring berkembangnya gereja protestan dan dipraktikkan mula-mula oleh para pemuda yang berbagi hadiah untuk anak-anak di lingkup satuan jemaat. “Belakangan dia menjadi bisnis, mata pencarian tiap akhir tahun. Yang melaksanakan juga bukan lagi cuma gereja, tetapi dari klub atau geng-geng,” kata Denni.
Panitia sinterklas pun menjadi tradisi tahunan yang berkelindan erat dengan ekonomi pasar. Sekalipun panitia menyebut mereka bekerja secara nonprofit, tetap ada transaksi ekonomi dan pihak-pihak yang diuntungkan. “Makanya ada istilah Merry Christmas and Merry Capitalism,” tambah Denni sambil tertawa.
Nasihat dan ancaman
Di sisi lain, bagi para orangtua, kedatangan sinterklas dan piet hitam menjadi sarana untuk memberikan nasihat kepada anak-anak mereka. Karena itulah Meydi, nenek Azrakal, bahkan mendaftarkan cucunya sebagai penerima hadiah dari beberapa panitia sinterklas tahun ini.
Ketika mendaftar, ia menitipkan pesan dan nasihat untuk cucu yang ia sebut bandel itu. Pesan-pesan tersebut kemudian akan dibacakan lewat megafon oleh panitia serta lewat penyampaian sinterklas dan ancaman piet hitam.
Maka, sekalipun keluarga Meydi beragama Islam, mereka tetap antusias terlibat. Lagipula, tidak ada muatan agama Kristen dalam kegiatan itu. “Dia (Azrakal) ini terlalu banyak main HP. Kalau ketemu sinterpiet, dia bakal takut, terus berhenti main HP,” kata Meydi sambil tersenyum.
Alhasil, kegalakan piet hitam menjadi hal yang paling dinanti warga dalam kunjungan sinterklas. Ancaman bahwa anak bandel dan nakal akan dimasukkan ke karung lalu dibawa pergi selalu sukses bikin bocah-bocah menangis.
Fransiska Nessa (35), juga warga Paal IV, bahkan mengaku sengaja mendaftarkan anaknya, Angelo Makaado (3) sebagai penerima hadiah agar ia takut ketika piet hitam datang. “Dia suka sekali mandi di kuala (sungai). Saya bilang, kalau mandi di sungai lagi, sinterpiet mau culik,” kata Fransiska sambil menenangkan Angelo yang masih syok karena bertemu piet hitam.
Karena hal ini pula, Rivaldo Hermanus (17), salah satu pemeran piet hitam di Panitia Sinterklas God Bless, selalu total saat menakut-nakuti anak-anak.
Menurut dia, pesan seperti jangan sering mandi di sungai, adalah wujud kekhawatiran orangtua yang harus tersampaikan ke anak. Apalagi, kabar anak kecil meninggal akibat terbawa arus ketika hujan deras tidaklah jarang di Manado.
Baca juga: ”Bapirang”, Warga Manado Bersolek Rayakan Natal
Namun, bukan berarti semua panitia sinterklas di Manado menerapkan pendekatan ini. Panitia Sinterklas Second Family, misalnya, meminta delapan piet hitam dan satu badut mereka untuk tidak menakut-nakuti anak-anak yang mereka kunjungi sekalipun tetap merias diri sengeri iblis.
Nyatanya, bocah-bocah tetap menangis ketika melihat mereka. “Ada permintaan khusus dari orangtua agar mereka jangan ditakut-takuti. Jangan sampai kami bikin mereka trauma,” kata Dekwin Aditya (30), ketua umum Second Family yang merupakan komunitas pemuda penggemar aksi sosial, Minggu (11/12).
Tahun ini, Second Family menerima pendaftaran 83 anak yang kebanyakan tinggal di wilayah permukiman padat Manado. Sebagian orangtua membeli paket Rp 125.000 yang mencakup hadiah, foto, dan camilan, sebagian lagi Rp 150.000 dengan tambahan nasi ayam goreng ala Kentucky.
Selama dua hari, para anggota berkonvoi dari rumah ke rumah dengan mobil-mobil pribadi diiringi dentuman lagu disko tanah. Kendati begitu, apa yang mereka lakukan itu sebenarnya bertentangan dengan larangan konvoi sinterklas sepanjang Desember yang diterbitkan Pemkot Manado pada 29 November.
Namun, panitia sudah terlanjur menerima uang pendaftaran dan membelanjakannya untuk hadiah. “Jadi kami menjamin tidak akan ugal-ugalan di jalan, apalagi mabuk-mabukan. Kami tetap ingin membawa kebahagiaan untuk anak-anak. Mereka memang menangis saat kami datang, tetapi setelah itu mereka bisa menikmati hadiah dari kami,” kata Dekwin.
Terkait macam-macam pendekatan para panitia, Denni mengatakan, kehadiran sinterklas dan piet hitam sebenarnya menjadi representasi sikap baik dan buruk beserta konsekuensinya untuk diajarkan ke anak-anak. “Namun, dalam konteks budaya di Indonesia, dua sosok ini juga menunjukkan keseimbangan yang tidak dikotomis, selalu menyatu seperti yin dan yang,” ujarnya.
Psikis anak
Kendati begitu, bagi seorang psikolog klinis Elis Ratnawati, sosok sinterklas dan piet hitam yang seharusnya sekadar hiburan justru bisa saja berdampak buruk bagi kejiwaan anak, terutama yang berusia di bawah lima tahun. Didikan dalam bentuk ancaman, terutama dalam bentuk rasa sakit fisik seperti dimasukkan ke dalam karung, bisa membuat anak trauma.
“Saya pernah dapat kasus anak yang merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak tenang setiap akhir tahun karena ancaman-ancaman seperti ini. Pola asuh yang seperti ini berisiko terus membekas dan terbawa dalam kejiwaan anak,” kata dia.
Lagipula, kehadiran piet hitam sebagai sosok yang menakutkan hanya sekali setahun. Dampak kepatuhan yang ditimbulkannya, jika ada, pun temporer. Daripada memberikan ancaman seperti menculik anak di dalam karung, Elis menyarankan agar peran piet hitam lebih difokuskan pada mencegah sinterklas memberikan hadiah untuk anak yang “nakal.”
“Harusnya bisa diarahkan menjadi lebih positif. Terlepas dari itu, yang menentukan sikap anak adalah pola asuh orangtua. Orangtua adalah contoh bagi mereka,” kata dia.
Kembali ke perkampungan di tengah kota Manado, tradisi ini tetap hidup tanpa ada sekat suku agama.