”Bapirang”, Warga Manado Bersolek Rayakan Natal
Menjelang akhir tahun, orang Manado ramai-ramai mempercantik diri, tampil beda dan bergaya. Merayakan Natal dengan sukacita sekaligus untuk merefleksikan capaian diri.
Bayi Yesus Kristus boleh saja lahir dalam kesederhanaan kandang ternak di Bethlehem. Namun, orang Manado di Sulawesi Utara tidak boleh tidak tampil perlente saat merayakan kedatangan Sang Juru Selamat. Hal ini membudaya dalam tradisi populer mengecat rambut alias bapirang.
Saking populernya, orang bilang tidak hanya musim hujan yang datang pada bulan Desember di Manado, tetapi juga musim bapirang. Tak percaya? Pergilah ke tempat-tempat ramai, entah mal atau pasar. Sangat mudah untuk menemukan orang-orang berkulit sawo matang yang rambutnya pirang menyala.
Sebagian orang memilih tetap ortodoks dengan warna coklat yang gelap, tetapi tak sedikit yang berani bereksperimen dengan warna-warna, seperti hijau, biru, ungu, dan emas. Tradisi ini pun tak kenal usia ataupun jenis kelamin, dari bocah SD sampai om dan tante.
Tak mengherankan kalau El Beauty Salon di bilangan Ranotana tak pernah sepi dari pagi sampai pagi lagi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.33 Wita, Minggu (19/12/2021) malam itu. Feibe Pomantow (25), pemilik salon, mengatakan, mungkin salonnya baru bisa ditutup lewat pukul 01.00, jauh dari biasanya pukul 21.00. Soalnya, sekalipun sudah larut, tiga gadis muda baru saja datang dan meminta rambut panjang mereka dicat.
Feibe memang tidak ingin gagal menadah rezeki yang turun pada musim bapirang ini. ”Sehari bisa ada 25 orang (pelanggan), kebanyakan mau cat rambut. Jadi, torang musti siap lembur. Kalau bulan-bulan biasa paling sehari cuma lima (pelanggan),” katanya.
Saat itu, dua pelanggan lain, Windy Lala (30) dan Leidy Lala (36), baru siap beranjak. Lapisan luar rambut mereka tampak cerah berkilau dengan warna ash brown atau abu-abu bernuansa coklat. Gradasi merah muda pada lapisan dalam rambut Windy serta ungu di rambut Leidy seolah memanggil mata untuk melirik.
Baca juga : Toleransi dalam Lakon Wayang Wahyu
Itu merupakan buah dari kesabaran duduk hampir tujuh jam di depan cermin dengan rambut kaku menggumpal karena pasta penghilang pigmen rambut (bleach) disusul pewarna. Hangatnya udara salon tanpa pendingin ruangan yang membuat mereka berkeringat selama rambut dicat hanyalah cobaan—bukan halangan—untuk tampil lebih necis.
Keduanya bahkan rela menempuh jarak 50 kilometer dari Bitung ke salon kesayangan mereka itu. ”Rambut saya sudah tumbuh, hitamnya sudah kelihatan. Kalau tidak dicat, bisa kelihatan uban. Saya mau tampil lebih oke lagi, apalagi sudah dekat Natal,” ujar Windy.
Masa libur Natal dan Tahun Baru di Manado memang menjadi waktu bergaya. Hal ini diakui Eman Lariwu (23), seorang karyawan toko. Ditemani kekasihnya, pria muda itu mengecatkan rambut dengan warna keemasan pilihannya di salon.
”Saya libur agak lama, dari 24 Desember 2021 sampai 2 Januari 2022. Bakal ada acara keluarga di rumah orangtua, ketemu keluarga dan teman-teman. Jadi, saya ingin tampil beda di perayaan Natal. Bergaya sedikitlah. Nanti kalau sudah waktunya masuk kerja, saya cat hitam lagi,” ujarnya.
Sementara itu, di Jireh Lestary Salon, sepelemparan batu dari El Beauty Salon, Aurel Mamesah (21) duduk di depan cermin dengan rambut yang dibungkus berlembar-lembar kertas aluminium, Senin (20/12) malam. Rambutnya sudah lama dicat abu-abu, tetapi dia ingin menambahkan highlight dengan warna ash grey.
Memang, kata Aurel yang menganut Kristen Protestan, tidak ada hubungan antara mengecat rambut dan Natal. ”Tetapi, Natal ini, kan, setahun sekali. Torang mau bapasiar (berkunjung) ke rumah saudara dan teman. Mau foto-foto bersama. Jadi, harus tampil baru dan beda,” kata Aurel yang juga mengecat rambut jelang Natal tahun lalu.
Jireh Pomantow (22), pemilik Jireh Lestary Salon yang juga adik Feibe, mengatakan, pada Sabtu (18/12), dirinya dan karyawannya baru bisa berhenti bekerja keesokan harinya pada pukul 04.00 Wita saking banyaknya pelanggan. ”Sehari boleh 25 orang yang datang buat treatment (tindakan) berat-berat kayak cat dan smoothing (meluruskan rambut),” katanya.
Untung dari tren
Menurut pengajar Sosiologi Agama Institut Agama Kristen Negeri Manado, Denni HR Pinontoan, bapirang adalah kelanjutan dari sebuah tren tua di Tanah Minahasa. Salon sudah ada di dataran tinggi Minahasa, jauh dari Manado sebagai pusat pemerintah kolonial Belanda, sejak 1930-an. Bersamaan dengan itu, muncul tradisi bersolek dan berdansa di pesta.
Kala itu, tren yang sempat tumbuh adalah bakrol atau membuat rambut menjadi berombak. ”Salon jadi tempat menghias diri, tentunya sesuai dengan tren global yang berkembang. Baru pada awal 2000-an,muncul tren anak-anak muda yang mengecat rambut untuk menyambut Natal. Makanya, muncul istilah ’buceri’, bule ngecet sendiri,” kata Denni.
Salon sudah ada di dataran tinggi Minahasa, jauh dari Manado sebagai pusat pemerintah kolonial Belanda, sejak 1930-an. Bersamaan dengan itu, muncul tradisi bersolek dan berdansa di pesta.
Menurut Feibe dan Jireh, warga Manado sedang menyukai warna-warna terang seperti perak dan ash brown. Namun, mereka kerap meminta warna yang lebih elektrik, seperti hijau, biru, dan ungu di lapisan rambut bagian dalam. Gaya pewarnaan rambut ini disebut peek-a-boo.
Maka, demi memenuhi permintaan bapirang selama Desember saja, Jireh dan Feibe bisa menggelontorkan Rp 50 juta-Rp 60 juta untuk menyediakan stok cat rambut di salon masing-masing. Namun, pelanggan mereka tak ragu merogoh Rp 500.000 hingga Rp 2 juta demi warna rambut yang diinginkan. Karena itu, omzet Jireh setiap hari selama Desember bisa menyentuh Rp 5 juta, lima kali lipat dari biasanya.
Salon-salon di pusat ritel modern mendapati permintaan serupa. Mauren Sulangi (39), Manajer MOI by Redz Salon di mal Manado Town Square, mengatakan, pelanggannya semakin suka warna-warna yang ”berani”, tetapi hanya sebagai highlight atau di lapisan belakang rambut.
”Tren ini mulai kelihatan lima tahun terakhir. Menurut saya, ini karena faktor K-Pop karena banyak artis-artisnya yang rambutnya warna ungu atau biru pastel,” kata dia.
Salon Mauren pun meraup untung banyak selama Desember. Dalam sehari, jumlah pengunjung di MOI saja bisa mencapai 60 orang, meningkat 50 persen dari biasanya, sedangkan biaya mengecat rambut bisa mencapai Rp 2,7 juta, tergantung dari panjang dan tebal rambut pelanggan.
”Ini sudah jadi tradisi di Manado. Saat Natal, mereka mau pergi ke gereja dan ketemu keluarga. Jadi, mungkin mereka ingin tampil fresh (segar) dan berbeda,” katanya.
Pemaknaan kultural
Menurut Denni, Natal bagi orang Minahasa Kristen tidak hanya perayaan religius, tetapi juga perayaan komunal yang sarat kekerabatan. Itulah mengapa Natal selalu menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga dan makan bersama.
Natal bagi orang Minahasa Kristen tidak hanya perayaan religius, tetapi juga perayaan komunal yang sarat kekerabatan.
”Secara kultural, hari besar keagamaan selalu dijadikan momen untuk mengukuhkan kembali persaudaraan setelah setahun penuh bekerja keras, baik di kampung halaman maupun perantauan. Pada saat itulah seseorang akan menilai orang lain, apakah setelah setahun penuh bekerja keras ia menghasilkan sesuatu,” kata Denni.
Baca juga : Pohon Natal Bermasker di Purwokerto, Harapan agar Pandemi Cepat Berlalu
Maka, mempercantik diri jelang Natal, salah satunya dengan bapirang, menjadi sarana bagi masyarakat Minahasa Kristen untuk menyiratkan perubahan positif dirinya kepada komunitasnya. ”Secara sosial, ini menjadi sarana untuk merefleksikan capaian pribadi pada akhir tahun, seperti pendapatan atau jabatan,” ujar Denni.
Namun, sama halnya dengan budaya berkumpul, makan bersama, dan bahkan menghias pohon terang, bapirang tidak punya kaitan langsung dengan Natal secara religius. Semua itu merupakan hasil kontekstualisasi Natal sebagai bentuk akulturasi ajaran Gereja dengan budaya asli Minahasa dan budaya yang dibawa dari luar.
Namun, fenomena ini bisa dimaknai sebagai ekspresi sukacita menyambut kedatangan Yesus Kristus ke dunia. Bapirang juga menjadi bentuk kesiapan mengakhiri tahap kehidupan yang lama untuk melangkah ke tahap yang baru seiring pergantian tahun.
”Perayaan Natal di Minahasa sangat multidimensi. Ada perayaan rohani, ada juga perayaan secara sosial yang punya dimensi ekonomi dan kultural. Saya kira, itulah keagamaan,” kata Denni.
Bagi Feibe, salon ramai menjelang Natal sama halnya dengan gerai-gerai baju yang ramai diserbu pemburu baju baru. ”Itulah uniknya Manado, bulan Desember so musti pigi (harus pergi ke) salon. Musti tampil beda karena mau merayakan Natal dengan sukacita,” ujar Feibe.
Jadi, so bapirang jo ngoni?