Bagi umat Kristen di Manado, malam Natal adalah momen pertemuan antara yang fana dan yang telah kekal. Lewat ziarah, sukacita kelahiran Yesus Kristus masih bisa dirasakan bersama mereka yang telah purna dari dunia.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI, ELSA EMIRIA LEBA
·6 menit baca
Kata-kata tak bisa mewakili kerinduan Djoni Thoyib (68) terhadap istrinya, Syane Palandeng. Kekasih hidupnya itu mangkat pada usia 67 tahun ketika badai Covid-19 menerjang, pertengahan 2020 lalu. Itulah mengapa duda tiga anak tersebut tiba lebih dulu di Pekuburan Umum Teling, Jumat (24/12/2021) sore.
Menurut rencana, Djoni dan anak-anak, para menantu, serta cucu-cucunya akan membersihkan makam Syane yang terletak di bawah naungan sebuah pondok beratap seng, berdinding beton dengan tegel keramik, dan berpagar besi. Di sana pula 10 kerabat terdekat Djoni, yaitu nenek, kakek, ayah, ibu, saudara, dan keponakannya, dikebumikan.
”Saya setiap hari ke sini buat bersih-bersih. Tetapi, kalau malam Natal begini, kami akan kumpul-kumpul sekeluarga untuk membersihkan makam. Itu sudah jadi tradisi. Anak-anak saya nanti akan menyusul,” ujar Djoni yang bersama dua cucunya baru saja selesai membersihkan beberapa kubur dengan sapu, lalu menyekanya dengan tisu basah.
Nuansa pondok itu pun boleh dibilang lebih mirip ruang tamu ketimbang kuburan. Pagarnya ditutupi gorden. Ada tempat duduk beton dengan dua bantal merah, kursi, kipas angin serta lampu di plafon, dan pelantang bluetooth. Pondok makam itu bahkan punya meteran listrik prabayar sendiri.
Dinding-dindingnya dihiasi nisan bertuliskan nama-nama anggota keluarga dengan gambar Yesus. Namun, dinding di sekitar kubur Syane-lah yang paling semarak. Pada tembok di atas kubur, terpasang foto Syane dan Djoni berangkulan dalam liburan terakhir mereka di Bali. Pada tembok di seberangnya, terpajang pula foto Syane berlatar Pura Ulun Danau Bratan, di Bedugul, Bali.
Tak dinyana, Djoni bahkan menegaskan kesiapannya untuk dikubur di samping istrinya. Sebuah nisan dengan foto, nama, dan tanggal lahirnya bahkan sudah terpajang di samping milik Syane. Hanya saja, tanggal meninggalnya masih kosong.
”Saya sudah siapkan lima dus keramik. Kalau saya meninggal, tinggal bongkar sedikit kubur istri saya. Jadi, anak-anak saya tidak perlu repot cari tanah untuk kubur. Paling banyak, ya, cuma habis ongkos Rp 10 juta,” ujarnya.
Namun, pria keturunan Betawi itu masih harus melanjutkan hidup tanpa sang istri. Ia pun menganggap malam Natal kedua tanpa sang istri sebagai kesempatan untuk mengenangnya. ”Saya mengucap syukur buat dia, lalu saya bilang kalau saya sudah datang untuk bersihkan makamnya,” kata Djoni.
Kalau malam Natal, kami akan kumpul-kumpul sekeluarga untuk membersihkan makam. Itu sudah jadi tradisi. Anak-anak saya nanti akan menyusul.
Semakin ramai
Semakin dalam mentari tenggelam, Pekuburan Umum Teling semakin ramai. Warga datang berbondong-bondong dengan membawa air, lap, karangan bunga, serta lilin menuju satu dari ribuan makam yang tersebar di sana.
Lineker Kondoy (29), misalnya, menyalakan lilin bersama istri dan anaknya di sebuah kubur dengan undakan yang tinggi dengan keramik merah muda. Dua nama tertera di nisan kubur itu, yakni nama ayah serta adiknya. ”Mereka dikubur sama-sama. Jadi, ini kuburan dua susun. Setelah Adik meninggal tahun 2006, Papa menyusul 2016,” ujarnya.
Menurut Lineker, ziarah makam pada malam Natal sudah menjadi tradisi Minahasa. Saat itulah, ia bisa bertemu dan berkumpul bersama keluarga besar sambil mendoakan keluarga yang telah mendahului. Karena itu, Ia tak ragu menempuh jarak 66 kilometer dari Ratahan, Minahasa Tenggara, untuk bisa ”berjumpa” kembali dengan adik dan ayahnya.
”Saat ziarah, kami sama-sama mengenang orangtua dan saudara kami yang sudah meninggal, mengenang masa ketika masih bisa merayakan Natal sama-sama. Ziarah ini seperti melanjutkan kebiasaan berkunjung ke orangtua ketika mereka masih ada,” ujarnya.
Sementara itu, Margrietje Manoppo (69), peziarah lain yang menyambangi kuburan ibu dan kakeknya, mengatakan, malam Natal menjadi saat yang tepat untuk mendoakan keluarga yang biasanya ia temui kala merayakan kelahiran Sang Terang. ”Ini sudah jadi tradisi. Saya berdoa agar mereka menemukan kedamaian di surga,” katanya.
Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, rencana Veronika G Lado (36), warga Maulafa, untuk berziarah ke makam sanak familinya sempat tertunda hujan badai yang diakibatkan bibit siklon tropis 97S yang menerpa Kupang, Jumat.
Padahal, seusai ibadah malam Natal, Veronika berencana untuk melanjutkan tradisi tahunannya, yaitu bakar lilin di makam keluarga. Hujan yang disertai angin kencang membuat api lilin selalu padam dan bunga rampai berserakan di sekitar kuburan.
Setelah menunggu beberapa jam, ia akhirnya bisa melakukan tradisi itu setelah badai sedikit reda.
”Harus tunggu badai reda dulu, baru bisa bakar lilin. Kuburan juga basah, jadi harus dilap sebelum ditaruh lilin,” ujar Veronika yang sudah melakukan tradisi bakar lilin sejak kecil.
Kegiatan bakar lilin, bagi Veronika, bermakna sebagai ungkapan rasa rindu terhadap anggota keluarga yang telah meninggal, bukan suatu tanda penghormatan.
”Saya juga bakar lilin tidak hanya saat Natal, tetapi setiap teringat pada mereka,” katanya.
Menurut dosen Sosiologi Agama Institut Agama Kristen Negeri (IAKN), Manado, Denni HR Pinontoan, ziarah makam yang dilakukan orang Minahasa Kristen telah tercatat sejak awal abad ke-20, sekitar 70 tahun sejak kekristenan disebarkan para zendeling dari Belanda. Tradisi ini selalu dilaksanakan jelang Natal dan Tahun Baru.
Kendati begitu, ziarah makam ini bukanlah ajaran gereja sebagaimana yang dibawakan para misionaris Eropa. Denni mengatakan, tradisi ini justru merupakan bagian dari ritual agama lama Minahasa (Malesung) yang kemudian menyatu dengan ajaran kekristenan.
Saya juga bakar lilin tidak hanya saat Natal, tetapi setiap teringat pada mereka.
”Dalam agama tua Minahasa, jiwa leluhur punya tempat yang penting dalam setiap ritual. Namun, setelah menjadi Kristen dan menerima Yesus Kristus, orang Minahasa tetap mengikatkan diri secara spiritual dengan tradisi lama, yaitu penghormatan terhadap leluhur. Itu cukup umum di mana pun di Nusantara,” katanya.
Denni mengatakan, hal ini bisa jadi terkait dengan tradisi bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Leluhur punya posisi penting karena mereka disebut sebagai pembuka jalan. ”Orang bilang, mereka bisa berada di tempat ini sampai hari ini karena leluhurlah yang memulai itu semua,” ujarnya.
Leluhur pun dihormati dan kehadirannya dimaknai secara mistis. Namun, posisinya tetap di bawah Allah yang telah diterima orang Kristen. Justru lewat ziarah kubur, lanjutnya, orang Kristen di Minahasa mampu menemukan spiritualitas dan keimanannya kepada Yesus Kristus. Maka, momen Natal dimanfaatkan orang Minahasa untuk berkumpul tidak hanya dengan keluarga yang masih hidup, tetapi juga yang sudah meninggal.
Ziarah makam ini bukanlah ajaran gereja sebagaimana yang dibawakan para misionaris Eropa. Denni mengatakan, tradisi ini justru merupakan bagian dari ritual agama lama Minahasa (Malesung) yang kemudian menyatu dengan ajaran kekristenan.
Warga Nusa Tenggara Timur turut memiliki tradisi untuk menziarahi kuburan anggota keluarga menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Tak hanya itu, kuburan tersebut juga biasanya dibersihkan, disiram bunga rampai, hingga diberikan minyak wangi.
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang, Lasarus Jehamat, mengatakan, tradisi bakar lilin itu tidak hanya sekadar berarti bagi orang Kristen dalam memperingati hari lahirnya Tuhan Yesus. Ada makna lebih dibaliknya.
”Ini adalah tradisi ungkapan rasa syukur masyarakat atas perjalanan hidup selama setahun. Ada satu lagi, tradisi ini adalah simbol bahwa kematian tidak melenyapkan ikatan kita dengan mereka yang telah meninggal dunia,” kata Lasarus.