Pura Mangkunegaran, Modernisasi Surakarta yang Mendahului Restorasi Meiji di Jepang
Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, akan melangsungkan upacara pernikahan di kompleks Pura Mangkunegaran, Surakarta. Kadipaten Mangkunegara menjadi salah satu pelopor modernisasi Asia pada tahun 1800-an.
Pekan ini, perhatian masyarakat tertuju pada upacara pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dengan Erina Gudono di kompleks Pura Mangkunegaran, Surakarta. Menyambut hari bahagia itu, Pura Mangkunegaran pun bersolek demi kelancaran tasyakuran pernikahan kedua mempelai.
Berbagai rangkaian tradisi jelang pernikahan seperti siraman dan midorareni telah digelar. Pendopo Pura Mangkunegaran dalam catatan WE Soetomo Siswokartono dalam buku Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga adalah bangunan pendopo terbesar di dunia yang dibangun pada masa KGPAA Mangkunegara IV (1853-1881).
Pada pertengahan abad ke-19, Pura Mangkunegaran adalah pusat pembaruan di Jawa yang mendahului restorasi Meiji di Jepang (1866-1869) dan modernisasi Kerajaan Siam (kini Thailand) masa Raja Rama V atau Raja Chulalangkorn (1868-1910).
Soetomo Siswokartono mencatat, Pendopo Pura Mangkunegaran dibangun mula-mula pada zaman KGPAA Mangkunegara II (memerintah 1796-1835) dan dibangun dengan ukuran saat ini pada masa Mangkunegara IV.
Kompleks Pura Mangkunegaran di dekat Kali Pepe merupakan pusat pemerintahan Kadipaten atau Kepangeranan Mangkunegaran yang didirikan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang menjadi KGPAA Mangkunegara I (memerintah 1757-1795). RM Said adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara (1703-1796) yang melawan VOC kemudian dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) dan kemudian Afrika Selatan hingga akhir hayatnya. Pembuangan ke Ceylon itu menimbulkan istilah ”diselong” di masyarakat jajahan Belanda masa itu.
Setelah perang berlarut dalam Perang Geger Pecinan yang terjadi tahun 1740-1743, Raden Mas Said terus memimpin gerilya melawan Belanda dan Keraton Kasunanan serta Keraton Yogyakarta hingga tahun 1750-an. Kadipaten Mangkunegara berdiri berdasar perjanjian Kalicacing di Salatiga yang mengakhiri perang di wilayah Mataram dengan memberikan kekuasaan kepada RM Said sebagai Pangeran Adipati Mangkunegara.
Pembuangan ke Ceylon itu menimbulkan istilah ’diselong’ di masyarakat jajahan Belanda masa itu.
Sebelumnya di tahun 1755 diadakan perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta.
Dibaginya Kerajaan Mataram merupakan kelanjutan dari perang besar, yakni Perang Geger Pacinan (1740-1743) ketika pasukan Tionghoa dari Batavia dan beberapa wilayah Jawa, bersekutu dengan tentara Mataram melawan VOC dalam perang besar yang berlangsung lebih dari tiga tahun dari wilayah Priangan Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Penulis Daradjadi Gondodiprodjo dalam buku Geger Pecinan 1740–1743 menuliskan, Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning memimpin pasukan gabungan Jawa-Tionghoa dengan panglima Kapitan Sepanjang, seorang Tionghoa dari Batavia yang melawan VOC menyusul pembantaian Tionghoa di Batavia bulan Oktober 1740.
Laskar Tionghoa dari barat Pulau Jawa mengungsi ke Mataram dan mula-mula mendapat dukungan Sunan Pakubuwono II yang melihat kesempatan untuk mengenyahkan kekuasaan VOC dari Tanah Jawa. Ketika VOC mulai menguasai keadaan peperangan, Sunan Pakubuwono II meninggalkan aliansi dengan Laskar Tionghoa.
Para bangsawan Jawa yang tetap melawan VOC bergabung di bawah pimpinan Raden Mas Garendi yang menjadi Kapitan Cina Sepanjang sebagai Panglima dengan dukungan Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Hamengkubuwono I) dan RM Said.
”Mereka berperang dan sempat menguasai Keraton Kartasura bulan Juni 1742 sebelum akhirnya dipukul pasukan VOC yang didukung pasukan Panembahan Cakraningrat dari Madura serta bala tentara yang dikumpulkan Pakubuwono II. Ketika menguasai Kartasura, RM Garendi diangkat menjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat IV. Keraton Kartasura dibumi hangus. Akhirnya dibangun keraton baru di tempat yang dikenal sebagai Kota Surakarta. Keraton baru tersebut menjadi Kasunanan Surakarta,” kata Daradjadi.
Baca juga: Pura Mangkunegaran Sambut Hari Bahagia Putra Bungsu Presiden
Berbagai petilasan terkait perang besar tersebut dapat ditemukan di berbagai tempat seperti Kampung Sepanjang di Bekasi, Kampung Panjangan di Semarang, Kampung Sepanjang di Sidoarjo, hingga petilasan Sunan Kuning di Kota Semarang.
KGPAA Mangkunegara I kemudian mendapat sejumlah wilayah termasuk di utara Kota Surakarta di Banjarsari—kampung dan tempat tinggal Presiden Joko Widodo. Wilayah Kadipaten Mangkunegara mencakup Karanganyar, Wonogiri, sebagian wilayah Ngawen dan Semin di Gunung Kidul, kini wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berbagai industri pertanian dengan dukungan industri modern dan pabrik gula tumbuh di wilayah Mangkunegaran yang kemudian diikuti oleh Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta.
Tradisi Cembengan, yakni akulturasi budaya Tionghoa Qing Ming atau ziarah kubur, melebur di Surakarta dan Yogyakarta dalam komunitas petani tebu dan pabrik gula menyusul pembangunan pabrik gula Colomadu oleh Mangkunegara IV yang memiliki seorang selir Nyi Pulungsih, seorang gadis peranakan Tionghoa asal Semarang, putri Mayor Tionghoa Bhe Biauw Tjwan yang juga menjadi mitra bisnis Mangkunegara IV.
Pelopor modernisasi Asia
Keberadaan Kadipaten Mangkunegara menjadi salah satu pelopor modernisasi di Asia pada tahun 1800-an. Daradjadi menceritakan, Mangkunegara IV mengizinkan Belanda membuka gereja di wilayah Mangkunegaran dengan syarat mereka harus menyediakan sekolah dengan standar Eropa bagi masyarakat Jawa di wilayah Mangkunegaran.
Pada periode Mangkunegara II, Kaisar Napoleon Bonaparte juga menjalin hubungan khusus dan mengeluarkan dekrit pembentukan pasukan legiun Mangkunegaran. Pasukan Jawa tersebut dilatih dengan standar Grand Armee atau Angkatan Darat Perancis yang terkuat di Eropa awal 1800-an saat Perang Napoleon berkecamuk di Eropa dan Afrika.
Napoleon Bonaparte juga mengirimkan hadiah seperti Kristal dari Eropa untuk Mangkunegara II. Hadiah tersebut dipajang di ruang pamer di Kompleks Pura Mangkunegaran.
Baca juga: Mengenal Tempat Tetirah Raja yang Jadi Lokasi Pernikahan Kaesang-Erina
Ketika itu, dalam buku Perang Napoleon di Jawa karya penulis Kolonel (Purn) Jean Rocher, disebutkan adanya pasukan dan perwira-perwira Perancis yang dikirim ke Jawa, termasuk Batalyon dari Mauritius, Koloni Perancis di Samudra Hindia. Terdapat pula tiga kapal frigat dari Angkatan Laut Perancis (termasuk frigat legendaris dalam sejarah Perancis, La Meduse, yang dilukis Theodore Gerricault dalam lukisan berjudul ”De Radeau de la Meduse” atau ”Rakit Kapal Medusa”) yang dipamerkan di Museum Louvre Paris.
Bahkan, pasukan legiun Mangkunegara turut menghadang pasukan Inggris dan Sepoy atau Sepahi (pasukan India Inggris) dalam pertempuran di Jatingaleh, Kota Semarang, tahun 1811.
Modernisasi Mangkunegaran berjalan seperti halnya Restorasi Meiji di Jepang, yakni kemajuan ekonomi dan militer (fukoku kyohei yang berarti negara makmur, tentara kuat). Pabrik gula, perkebunan tebu, dan berbagai industri pertanian membuat ekonomi Pura Mangkunegaran berkembang pesat. Infrastruktur kota pun dibangun dari sekolah, rumah sakit, taman kota hingga WC umum disediakan bagi masyarakat.
Dunia pendidikan dan seni budaya berkembang pesat. Di masa itu, Mangkunegara IV bersama pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito menghasilkan banyak karya sastra. Salah satu karya Mangkunegara IV, yakni gending ”Ketawang Puspawarna”, bahkan dipancarluaskan oleh wahana luar angkasa Voyager II milik NASA dalam misi luar angkasa di tahun 1977.
Demikian pula dari segi pendidikan, Mangkunegara IV bersahabat baik dengan Carl Winters yang menjadi bapak pendidikan Bahasa Jawa di Belanda yang menjadi bahan pendidikan Pamong Praja Belanda yang dikirim ke Jawa.
Menurut Soetomo Siswokartono, berbagai karya seni dan tembang karya Mangkunegara IV masih dijadikan materi pelajaran di pendidikan dasar dan menengah di Jawa hingga tahun 1970-an.
Dengan kemakmuran ekonomi dan berkembangnya pendidikan, menurut Daradjadi Gondodiprojo, dari sisi militer, legiun Mangkunegaran berkembang dengan kekuatan dua batalyon infantri dan didukung satuan kavaleri serta satuan artileri (pasukan meriam).
Gedung yang menjadi pusat pasukan legiun Mangkunegara tersebut berada di bagian depan kompleks Pura Mangkunegaran. Terdapat tulisan Kavallerie–Artillerie di gedung yang dibangun tahun 1874 itu.
Selanjutnya terdapat lapangan tempat pasukan legiun Mangkunegara berlatih ataupun berparade yang disebut pamedan. Sesudah lapangan Pamedan terdapat bagian dalam Pura Mangkunegaran dengan bangunan pendopo yang megah karya Mangkunegara IV dengan ukuran 52,5 meter x 60,3 meter.
Terdapat lantai marmer, tiang besi kolom dari Jerman, dan marmer Italia dan ada fresco yang, menurut penulis Daradjadi Gondodiprodjo, menggabungkan filosofi Jawa-Tionghoa-Eropa.
Bagian lain dari kompleks Pura Mangkunegaran adalah pringgitan, dalem tempat hunian Kanjeng Gusti atau penguasa Pura Mangkunegaran, dan keputren tempat tingga putri-putri Mangkunegaran.
Masjid Al Wustho, Perpustakaan Rekso Pustoko, dan ruang makan yang dibangun zaman Mangkunegara VII (memerintah 1916-1944) oleh arsitek terkenal Thomas Karsten menjadi bagian utuh dari semangat modernisasi yang tetap menjaga identitas Jawa dan Nusantara di Pura Mangkunegaran. Ruang makan tersebut terkadang dibuka bagi pengunjung khusus yang ingin melihat keindahan arsitektur kombinasi Jawa-Eropa pada awal 1900-an.
Tepat di sebelah kompleks Pura Mangkunegaran terdapat Kampung Punggawan, tempat hunian para prajurit inti kepercayaan RM Said yang berjumlah 40 orang. Mantan Panglima TNI dan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto berasal dari Kampung Punggawan.
Para tokoh dunia di zaman silam kerap berkunjung ke Pura Mangkunegaran. Raja Chulalangkorn dari Kerajaan Siam berulang kali datang dan mengagumi kemajuan infrastruktur, ekonomi, dan pendidikan di wilayah Praja Mangkunegaran.
Raja Siam pun membawa pulang modernisasi berupa irigasi, agro industri, dan lain-lain dari Pulau Jawa, termasuk dari wilayah Mangkunegaran. Demikian pula tokoh pendidikan dunia, Rabindranath Tagore dari India juga berkunjung ke Surakarta dan namanya sempat diabadikan menjadi nama jalan di wilayah Mangkunegaran.