Sindangwangi Membangun Mimpi Sejahtera dari Ikan Baung
Masyarakat dan Pemerintah Desa Sindangwangi di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, membangun mimpi sejahtera dari ikan baung. Budidaya itu meningkatkan perekonomian warga dan melestarikan ikan tersebut.
Masyarakat dan Pemerintah Desa Sindangwangi di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, membangun mimpi sejahtera dari ikan baung (Hemibagrus nemurus). Budidaya itu demi meningkatkan perekonomian warga sekaligus melestarikan ikan yang terancam punah tersebut.
Udin Zen (50) telaten memilah benih ikan baung dari wadah berjaring di pondok Kelompok Budidaya Ikan Mina Sakti, Sindangwangi, Rabu (23/11/2022). Ia memisahkan benih ukuran 2,5 cm dengan 4 cm.
”Ikan ini kanibal. Jadi harus disortir maksimal setiap 20 hari,” katanya.
Tidak hanya penyeleksian, Udin juga mengecek suhu di 24 akuarium agar tetap berada pada 25-30 derajat celsius. Itu sebabnya, ada heater (pemanas) dalam akuarium. Ikan itu seolah mandi air hangat. Soal makanan, benih ikan baung yang berukuran 10-12 cm menyantap cacing sutra dan pelet.
Baca juga: Meningkatkan Produktivitas Budidaya Ikan
”Ikan ini maunya pelet yang proteinnya lebih dari 30 persen. Makanya, sebutannya ikan ’sultan’,” ujar Udin tersenyum.
Dalam satu periode atau tiga bulan, butuh 1-1,5 kuintal pelet seharga Rp 2,5 juta. Semua prosedur itu dilakukan agar ikan baung betah di akuarium meski bukan di habitatnya.
Ikan air tawar ini di habitat alaminya hidup liar di sungai. Ikan yang punya sungut mirip lele ini panjangnya bisa mencapai 50 cm.
Kelompok Mina Sakti tidak hanya membudidayakan ikan yang banyak berada di Sumatera dan Kalimantan ini, tetapi juga memijahkannya. Prosesnya tidak sederhana.
Caranya, warga menyeleksi ikan jantan dan betina ukuran 1-1,5 kg yang siap berproduksi. Ikan lalu mendapatkan suntik hormon. Setelah 10-12 jam, warga memijat perut ikan untuk mengeluarkan sel telur betina. Namun, si jantan harus dibelah untuk mendapatkan spermanya.
”Sperma ikan baung itu bening. Jadi, susah dibedakan dengan urinenya,” ujarnya. Sperma dan sel telur itu lalu disimpan dalam satu wadah khusus dan dicampur cairan infus. Setelah menyatukannya dengan bulu ayam, warga mendiamkan telur selama 36 jam sebelum menetas.
Dari pemijahan, kelompok ini bisa menetaskan 1.000-2.000 telur yang kemudian menjelma benih ikan. Dengan berbagai perlakuan, bibit itu menjadi calon indukan dan indukan untuk pemijahan. Begitu seterusnya.
Meskipun terkesan rumit, budidaya ikan baung cukup menjanjikan. Benih ikan ukuran 10 cm harganya Rp 1.000 per ekor. Lebih tinggi dari benih lele yang biasanya Rp 300 per ekor. Saat ini, kelompok baru menjualnya ke pelaku usaha di Waduk Cirata.
”Pedagang di Bengkulu dan Kalimantan sudah minta, tetapi kami baru bisa ke Cirata,” ujarnya.
Setiap tiga bulan, kelompok itu bisa meraup sedikitnya Rp 5 juta dari jualan benih. Angka ini belum termasuk hasil menjual ikan baung ukuran 15-20 cm yang harganya Rp 60.000-Rp 70.000 per kg.
”Lumayan, ada tambahan untuk jajan anak saya yang masih sekolah, ha-ha-ha,” kata Udin.
Anak pertamanya baru saja sarjana dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Anak keduanya di bangku SMA dan anak bungsunya masih kecil.
”Namun, bukan nilai ekonomi saja. Dari budidaya baung, saya dapat banyak ilmu,” ujar lulusan SMA ini.
Udin, misalnya, kini mengembangkan pakan ikan organik dari magot dengan kandungan protein bisa mencapai 40 persen. Tidak hanya memberi makan ikan lelenya, magot itu juga bisa dijual Rp 6.000 per kg. ”Untuk ikan baung, kami lagi belajar bikin magot tepung kering,” katanya.
Udin dan warga lainnya juga sedang meramu dedak, lamtoro, hinga tulang ikan untuk pakan. Berbagai bahan itu melimpah di desanya. Catatan komposisi bahan dan kandungan proteinnya tersebut terpampang di papan tulis dalam tempat pemijahan yang berdinding anyaman bambu.
Ketua Kelompok Mina Sakti, Dedi Irawan (33), menuturkan, selama puluhan tahun, warga sudah biasa membudidayakan ikan nila, gurami, dan lele. ”Namun, ikan baung ini beda dan menantang. Kami pernah gagal memijahkan, tetapi kami terus lanjut. Kalau berhenti, bangkrut,” katanya.
Kelompok belajar soal grading, pakan, hingga suhu akuarium. Ikan baung juga turut memberdayakan lebih dari 20 warga, termasuk ibu-ibu. Mereka mengolah baung menjadi nuget hingga gombyang atau sop kepala baung. Saat ini, produksinya masih bergantung pesanan.
Mahasiswa hingga pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun beberapa kali berkunjung ke Sindangwangi. Annisa Ayumi (22), mahasiswa Politeknik Alih Usaha Perikanan di Bogor, misalnya, sudah tiga pekan sekolah lapangan ke Kelompok Mina Sakti.
”Saya belum pernah melihat ikan baung. Makanya, saya beruntung ditempatkan di sini. Partisipasi masyarakat di ini juga bagus,” ujar perempuan asli Padang, Sumatera Barat, yang berencana meneliti tentang budidaya ikan baung di Sindangwangi.
Menolak kepunahan
Kepala Desa Sindangwangi Dadan Armadani menyatakan, budidaya ikan baung tersebut berawal dari mimpinya mengembangkan daerah. Selain air yang melimpah, desa yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Majalengka itu juga punya kolam ikan seluas 2,5 hektar lebih.
Hingga suatu hari di tahun 2019, tanpa diundang, Profesor Mas Tri Djoko dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan saat itu datang ke Sindangwangi. Ia memberi bibit ikan baung, indukan untuk pemijahaan, dan mengajarkan SOP budidayanya.
Tanpa pikir panjang, Dadan setuju. Apalagi, KKP memfasilitasi akuarium untuk pemijahan. Lebih dari itu, ia juga berharap budidaya tersebut dapat menjaga kelestarian ikan baung yang terancam punah.
”Dulu warga nangkap ikan ini di sungai. Sekarang, sudah enggak ada,” katanya.
Parahnya, masih ada yang menangkap ikan dengan alat setrum. Padahal, cara itu memandulkan ikan. Belum lagi masalah pendangkalan Sungai Cimanuk yang melintasi Majalengka. Bahkan, di Kalimantan Barat, ikan baung berkontribusi pada kenaikan inflasi (Kompas, 10/10/2022).
Masyarakat pun pernah melepas 10.000 bibit ikan baung di daerah aliran Sungai Cimanuk tahun 2020. Harapannya, ikan endemik itu kembali membanjiri sungai setempat. ”Pernah juga ada orang Tangerang ke sini dua kali. Dia beli ikan 5 kg. Saya kasih calon indukan gratis,” katanya.
Menurut Dadan, tidak ada masalah dengan pemasaran ikan baung. Bahkan, di Palembang, katanya, harga ikan bahan pempek itu bisa mencapai Rp 120.000 per kg.
”Namun, persoalannya, kapasitas kami hanya 20.000 bibit. Padahal, hasil pemijahan bisa 30.000 bibit,” katanya.
Koordinator Penyuluh Perikanan Kabupaten Majalengka Wasmudi mengatakan, budidaya ikan baung memang tidak mudah. ”Apalagi, belum ada pemijahan ikan baung oleh masyarakat di Jabar. Mungkin ini satu-satunya di Jabar. Ini cikal bakal smart fisheries village (SFV),” katanya.
SFV merupakan konsep pembangunan desa perikanan dengan memadukan pembenihan hingga pengolahan ikan yang berkelanjutan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Harapannya, warga desa memproduksi ikan baung hingga menyajikannya sebagai kuliner khas untuk wisatawan.
Berada di dataran tinggi, Sindangwangi bisa menjadi destinasi wisata. Di sana terdapat Sawah Siteng yang hijau dan berarsitektur terasering. ”Jadi, nanti, wisatawan ke sini makan ikan baung di saung. Terus pencuci mulutnya durian. Bisa ambil dari pohonnya,” kata Dadan tersenyum.
Sesuai artinya, Sindangwangi berasal dari kata sindang yang bermakna mampir dan wangi atau harum. ”Dulu, orang datang ke sini karena ada sesuatu yang bagus atau harum. Mungkin harumnya itu dari durian dan ikan baung. Tidak percaya? Ke sini saja,” ujarnya.
Baca juga: Mitos ”Ikan Sultan” Terpatahkan lewat Budidaya di Kampung Papuyu