Produktivitas budidaya ikan terkendala kestabilan suhu yang optimal untuk pemijahan. Penggunaan alat pengatur suhu air dalam kolam dapat membantu meningkatkan produktivitas budidaya ikan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·6 menit baca
Indonesia memiliki potensi budidaya perikanan yang sangat besar termasuk dari jenis ikan air tawar. Budidaya ikan air tawar dalam kolam ini didominasi oleh beberapa jenis ikan, baik untuk konsumsi maupun hias, mulai dari lele, nila, gurame, patin, hingga koi.
Mengingat potensi dan produksi yang cukup besar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat kelima negara eksportir ikan hias dunia setelah Jepang, Singapura, Spanyol, dan Belanda. Pada 2021 nilai ekspor ikan hias Indonesia mencapai 34,55 juta dollar AS atau naik 12,33 persen dibandingkan pada tahun 2020 yang tercatat 30,76 juta dollar AS (Kompas, 11/10/2022).
Meski demikian, pada praktiknya budidaya ikan air tawar tidak selalu stabil dan masih kerap menemui sejumlah tantangan. Selain benih dan pakan, budidaya ikan air tawar juga sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu atau temperatur air kolam. Proses pemijahan akan terganggu bila ikan tidak berada pada suhu yang ideal, yakni berkisar 26-28 derajat celsius.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, suhu yang ideal atau hangat akan membuat ikan memiliki metabolisme yang optimal. Hal ini akan berdampak baik pada pertumbuhan dan pertambahan bobot. Sebaliknya, suhu rendah akan mengakibatkan laju metabolisme dan pertumbuhan ikan menjadi lambat, termasuk memengaruhi proses pemijahan.
Kami juga akan membuat sistem non-jual beli seperti peminjaman alat. Kami akan meminjamkan alat dan memberikan bibit sehingga pembudidaya tinggal menyediakan lahan saja dan nanti bagi hasil.
Kondisi inilah yang mendasari Peneliti Pusat Riset Mekatronika Cerdas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hanif Fakhrurroja mengembangkan alat untuk mengatur suhu air dalam kolam sehingga proses pemijahan dan budidaya ikan bisa lebih optimal. Alat ini dikembangkan Hanif sejak masih berada di Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau sebelum melebur ke BRIN.
Alat yang diberi nama Jalasangkuriang ini pertama kali dikembangkan Hanif untuk memenuhi permintaan dari Dinas Perikanan Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, pada 2012. Namun, saat itu sistem kerja alat ini masih bersifat konvensional atau manual karena belum diberi dukungan sistem berbasis internet (IoT).
”Proses pemijahan ikan ketika itu cukup terganggu karena suhu saat siang hari cukup ekstrem, mencapai 34 derajat celsius, sedangkan saat malam turun hingga 18 derajat celcius. Dengan alat ini, suhu bisa diatur agar ideal dan kajiannya sudah masuk ke jurnal internasional bahwa 95 persen telur ikan bisa menetas,” ujarnya, Jumat (4/11/2022).
Saat awal pengembangan, Jalasangkuriang hanya ditujukan untuk mengatur suhu air kolam dalam budidaya ikan lele. Namun, pada dasarnya alat ini juga bisa digunakan untuk budidaya berbagai jenis ikan selain lele, termasuk komoditas lobster air tawar.
”Pemijahan beberapa jenis ikan air tawar di kolam yang sudah kami coba yaitu ikan lele, cat fish, lobster, dan koi. Kami sengaja mencoba jenis yang bernilai ekonomi tinggi,” katanya.
Jalasangkuriang dibuat dengan dimensi sebesar 0,5 x 0,7 x 1,2 meter dan telah teruji efektif pada kolam dengan volume mencapai 500 liter. Alat ini juga terdiri atas beberapa komponen. Namun, terdapat dua komponen utama alat ini, yakni heater (pemanas) dan chiller (pendingin).
Komponen heater berfungsi untuk memanaskan ketika terdeteksi suhu air di bawah ideal. Sementara komponen chiller berfungsi untuk mendinginkan atau menurunkan suhu air. Kedua komponen ini dipasang di semacam tangki dengan sistem seperti dispenser.
Selain itu, alat ini juga dipasangi relay atau saklar yang digerakkan oleh sensor suhu. Relay berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan heater dan chiller ketika suhu air terdeteksi di atas atau di bawah ideal untuk proses budidaya ikan.
Tiga sensor
Beragam manfaat dan kegunaan dari Jalasangkuriang membuat alat ini banyak diminati oleh berbagai pihak termasuk masyarakat. Maka, tahun ini Hanif mengembangkan model terbaru Jalasangkuriang dengan komponen baru yang didukung oleh sistem IoT.
Tiga komponen atau sistem terbaru dari Jalasangkuriang yaitu penambahan sensor dissolved oxygen (DO), sensor derajat keasaman (pH), dan sensor suhu yang masing-masing memiliki kegunaan. Sensor DO berfungsi untuk mengetahui kadar oksigen di dalam kolam, sedangkan sensor pH dan suhu untuk mengetahui kualitas pH air beserta suhunya.
”Jumlah DO yang ideal yaitu di atas 8 dan untuk mempertahankan kadar oksigen ini diberi teknologi nano bubble (gelombang berukuran nano). Ketika kadar oksigennya sudah mencukupi, nano bubble akan dimatikan. Pemberian DO ini juga bisa cepat membersihkan kotoran di dalam air,” kata Hanif.
Dukungan dari sistem IoT memungkinkan alat ini dapat mengirimkan data ke komputasi awan (cloud) yang terhubung dengan jaringan internet. Dengan menggunakan sistem pembelajaran mesin (machine learning), alat ini bisa dengan otomatis dapat mematikan dan menghidupkan beberapa komponen atau sensor dalam kondisi tertentu.
Dengan machine learning, secara otomatis komponen heater yang ada dalam alat ini juga bisa aktif ketika suhu air di bawah 26 derajat celsius. Sebaliknya, komponen chiller yang akan aktif bila suhu air terdeteksi di atas 28 derajat celsius. Proses meningkatkan dan menurunkan suhu air dilakukan alat ini secara perlahan yang dialirkan melalui pipa hitam.
Hasil pengujian
Beberapa hasil pengujian telah dilakukan untuk melihat produktivitas budidaya ikan setelah menggunakan Jalasangkuriang. Khusus untuk komoditas lobster air tawar, penggunaan Jalasangkuriang dapat meningkatkan persentase menetas telur hingga 90 persen. Sebelum penggunaan alat ini, persentase menetas hanya mencapai 30 persen.
Selain lobster, pengujian juga untuk melihat produktivitas pemijahan ikan lele dan koi. Hasilnya, penggunaan Jalasangkuriang dapat meningkatkan angka menetas ikan lele mencapai 95 persen dan ikan koi lebih tinggi hingga 98 persen.
Upaya hilirisasi inovasi Jalasangkuriang ini dilakukan melalui program perusahaan pemula berbasis riset dari BRIN, yakni dengan PT Lumino Axian Nusantara atau Locusta.iot. Harga satu alat ini mencapai Rp 27 juta. Namun, agar lebih ekonomis, dimensi Jalasangkuriang akan dibuat lebih kecil sehingga harga satu alat bisa ditekan hingga Rp 15 juta.
Nantinya, Hanif berencana membuat versi Jalasangkuriang yang lebih kecil agar bisa digunakan untuk skala akuarium dengan harga yang terjangkau. Tim dari Locusta juga akan mendatangi beberapa pembudidaya ikan agar upaya hilirisasi alat ini dapat lebih optimal.
”Mengingat harganya yang masih cukup mahal, kami juga akan membuat sistem non-jual beli, seperti peminjaman alat. Kami akan meminjamkan alat dan memberikan bibit sehingga pembudidaya tinggal menyediakan lahan saja dan nanti bagi hasil,” ujar Hanif.
Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Haeru Rahayu menyatakan bahwa KKP terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah komoditas ikan air tawar di Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sistem produksi yang efisien.
Selain itu, KKP juga terus fokus melakukan pengembangan inovasi teknologi yang dapat diterapkan di masyarakat. Inovasi ini termasuk menerapkan efisiensi penggunaan pakan ikan mandiri dan mendorong penerapan cara budidaya ikan yang baik di level pembudidaya.