Menanti Terobosan bagi Nasib Karet Rakyat yang Kini Suram
Industri karet di Jambi hanya ada lima pabrik. Sementara 30-an industri hilir skala kecil di perdesaan telah mati suri. Akibatnya, harga karet petani sulit terangkat karena dikendalikan segelintir pembeli.
”Oedjan emas” yang menggambarkan kejayaan budidaya karet di Sumatera seabad silam kini tinggal kenangan. Pamor karet kian meredup. Lahan tanamnya mulai tergantikan komoditas kelapa sawit.
Hamparan kebun karet di Sumatera mulai bersalin wajah. Terselip bibit-bibit kelapa sawit di sela-sela tanaman karet yang tengah gugur daunnya dan berjamur bagian akarnya. Pengurus kelompok tani Sejahtera Bersama, Sujito, menyelipkan bibit sawit sebagai langkah terakhir yang ditempuhnya demi bertahan hidup.
”Kalau karet akhirnya mati tanpa ada solusi, paling tidak sudah ada tanaman sawit tumbuh di kebun,” ujarnya, Selasa (6/12/2022).
Masalah gugur daun yang makin parah pada tanaman karet mencapai puncaknya dua tahun terakhir. Gugur daun biasanya hanya terjadi satu kali dalam setahun. Belakangan, intensitas gugur daun tiga kali setahun.
”Kalau sudah gugur daunnya, produksi getah langsung anjlok 50 persen,” tambahnya.
Belum lagi problem jamur akar putih yang kian meresahkan. Jamur itu bikin akar jadi keropos hingga tanaman akhirnya mati. Kondisi yang telah merebak lima tahun terakhir itu pun belum tertangani secara memadai.
Baca juga :Anjloknya Harga Mengancam Karet Rakyat Kian Ditinggalkan
Sujito sudah berulang kali menyampaikan keluhannya kepada instansi terkait. Hingga kini, para petani belum mendapatkan solusi yang mujarab.
Di tengah serangan gugur daun dan jamur, komoditas karet rakyat makin terpuruk oleh jatuhnya harga. Ia masih ingat, hasil penjualan 1 kilogram karet di tahun 1998 dapat ditukarkan dengan 2,5 kilogram beras.
”Kalau sekarang, 1 kilogram karet bahkan tak cukup untuk beli 1 kilogram beras,” ucapnya.
Rentetan badai itulah yang menggoda para petani karet beralih komoditas. Salah satunya terjadi di Desa Muhajirin, Kecamatan Jambi Luar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Dari 100-an petani di Muhajirin, jumlahnya telah susut menjadi 50-an orang. Sejumlah petani telah beralih menanam sawit. Apalagi, harga sawit sekarang tinggi. Petani tambah semangat bertanam sawit.
Komoditas karet cukup lama diharapkan menjadi sumber kejayaan di desa itu. Apalagi, baik pemerintah daerah maupun pusat menjadikan Muhajirin sebagai proyek percontohan hilirisasi karet berskala desa.
Selain di Muhajirin, pada tahun 2014 ada sekitar 30 industri kecil karet dibangun di perdesaan. Unit-unit pengolahan dan pemasaran bersama (UPPB) karet tersebut menghasilkan ribbed smoked sheet (RSS), salah satu jenis karet olahan yang berasal dari lateks.
Baca juga : Ancaman Resesi Global Bikin Petani Karet Alam Resah
Namun, usaha pengolahan karet mengalami kesulitan modal dan minimnya pemberdayaan. UPPB akhirnya terbengkalai. Apalagi, petani dihadapkan pada masalah penyakit pada tanaman serta harga jual karet yang terus merosot.
Potensi pasar karet olahan sebenarnya cukup besar. Kebutuhan kompon untuk industri vulkanisir ban di Jambi mencapai 40 ton hingga 60 ton per bulan. Itu pun belum dapat dipenuhi dari produksi lokal.
Pasar luar daerah lebih besar lagi peluangnya. Hal itu dibuktikan Sujito saat menjajaki peluang pasar karet olahan di wilayah Jawa Barat. Hasilnya, peluang pasarnya sangat besar. Ia bahkan langsung mendapatkan pesanan 8 ton per bulan lateks cair. Ada lagi pesanan karet blanket yang lebih besar jumlahnya.
Ia langsung menyampaikan kepada dinas terkait perihal peluang pasar tersebut. Ia pun meminta dukungan pemda untuk pengolahan lateks cair. Rupanya permintaan itu tak mendapatkan respons. Sujito akhirnya merelakan pesanan lateks cair melayang.
Suram yang menyelimuti perkebunan karet rakyat dirasakan pula oleh Sumiatun, petani di wilayah Pemayung, Kabupaten Batanghari. Karena tak tahan menghadapi jatuhnya harga yang bertubi-tubi, Sumiatun kini mulai menanami sela-sela karetnya dengan bibit sawit.
”Kalau sekarang sulit menggantungkan harapan dari hasil karet,” katanya.
Di wilayah itu, karet petani hanya bernilai Rp 7.000 per kilogram. Dalam tiga bulan terakhir, harga karet terpuruk Rp 5.000 per kilogram. Harga yang turun drastis membuat petani makin lesu.
Baca juga : Harga Anjlok, Pohon Karet Ditelantarkan
Penurunan harga itu tak dapat dikendalikan petani. Harga karet sepenuhnya diatur pedagang pengepul yang bermitra dengan industri pengolahan karet.
”Kalau sudah dibilang harganya turun, ya, turun. Itulah yang kami terima. Petani sulit menawar-nawar harga supaya lebih tinggi,” kata Tarhono, petani lainnya.
Peneliti sejarah dari Universitas Andalas, Lindayanty, dalam bukunya yang berjudul Jambi dalam Sejarah, 1500-1942 menyebutkan bahwa karet pernah menjadi komoditas primadona selama puluhan tahun. Karet yang mulai diujicobakan Belanda di Jambi tahun 1906-1908 itu lalu dikembangkan meluas, hingga membawa hasil yang menggembirakan.
Dari penjualan karet kala itu, petani bisa membeli 7 kilogram gula premium. Jika dikonversikan pada saat sekarang, nilainya lebih dari Rp 80.000, alias 10 kali harga karet pada pekan ini.
Kejayaan itu sampai-sampai memunculkan istilah ”oedjan emas” atau hujan emas di tanah Jambi, sebagai gambaran kemewahan yang dimiliki petani karet kala itu.
”Pada masa kejayaan karet, orang Jambi menyebutnya oedjan emas karena uang bisa didapat seperti air yang mengalir. Keuntungan besar diperoleh para pemilik kebun, penyadap karet, dan para pedagang pengumpul,” demikian tertulis dalam buku itu.
Saat itu dengan mudah orang akan menemukan rumah-rumah yang dibangun di tengah hutan dengan atap genteng dan material bangunan yang mahal.
Kala itu, tanaman karet tumbuh subur tanpa memerlukan pembersihkan kebun dari belukar dan ilalang. Penyakit yang terdapat di kebun karet rakyat juga tidak mengganggu. Petani dapat dengan mudah mengganti tanaman karet yang terserang penyakit dengan tanaman baru.
Dari hasil karet pula, Jambi memberi sumbangan besar pendanaan perang pada masa perjuangan kemerdekaan. Kolonel Abundjani, pemimpin tertinggi militer Jambi semasa revolusi, membentuk Badan Keuangan Perjuangan.
”Ia lalu memobilisasi 10 persen keuntungan hasil karet Jambi untuk menyokong perjuangan Indonesia,” ujar Asvi Warman, peneliti politik dan sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada salah satu pengiriman sumbangan, nilainya ada yang mencapai 450.000 dollar AS. Itu berasal dari penjualan karet.
Dari keuntungan hasil karet pula pembangunan di daerah dapat berjalan. Pemerhati sejarah yang tergabung dalam Sarolangun Tempo Doeloe, Hermanto, menyebut Jembatan Beatrix Brug sepanjang 197 meter di atas Sungai Tembesi dibangun Belanda tahun 1936-1938.
”Dana pembangunan jembatan itu dari hasil karet, sebesar 146.800 gulden,” ujarnya.
Selain Beatrix, dibangun pula tujuh jembatan lain, yakni Jembatan Mesumai, Merangin, Tabir, Pelepat, Senamat, Bungo, dan Tebo. Pengerjaan tujuh jembatan tersebut menelan anggaran dana sebesar 348.450 gulden.
Atasi persoalan
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal mengatakan, pihaknya berupaya mengatasi persoalan akar jamur putih pada tanaman karet. Caranya, dengan mengadakan pelatihan bagi petani mengolah tricodherma. Bahan itu mengatasi jamur akar putih.
”Kalau pelatihannya sudah, cuma petaninya yang belum banyak membuat tricodherma,” katanya. Kendalanya, kata Agusrizal, adalah pembuatannya dinilai sulit dan membutuhkan waktu.
Baca juga : Harga Karet Petani Anjlok, Ekspor Karet Sumut Merosot
Sementara terkait masalah gugur daun, katanya, itu disebabkan petani memanen getah setiap hari dan tanaman tidak dipupuk. Gugur daun yang makin sering terjadi juga disebabkan perubahan iklim.
Perihal pemanfaatan karet rakyat sebagai bahan campuran aspal diakuinya tak jalan. ”Untuk aspal karet dari (dinas) PUPR, tidak ada kelanjutannya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, menilai warisan karet selayaknya dipertahankan. Persoalan turunnya harga yang terus-menerus jangan sampai berkepanjangan. Sebab, akan semakin banyak petani meninggalkan budidaya karet.
”Kalau begini terus, lama-lama karet Jambi akan habis,” katanya.
Ia pun menyesalkan pemerintah yang kurang serius. Sejumlah rencana program mandek. Tahun 2019, pemerintah berencana memanfaatkan karet sebagai campuran aspal untuk pembangunan jalan dan jembatan. Program hanya berjalan sampai dengan tahapan uji coba.
Pemerintah juga sudah membangun pasar lelang karet di sentra-sentra budidaya karet. Namun, tambah Pantun, harganya lagi-lagi dikendalikan oleh agen-agen pabrik. Petani tidak memiliki daya tawar.
Baca juga : Jadi Bahan Baku APD, Ekspor Karet dari Bintan Meningkat Saat Pandemi
Ia pun mendorong pemerintah mengambil langkah serius mendongkrak harga dan juga mengatasi persoalan di kebun. Industri hilir harus dihidupkan kembali, termasuk di tingkat desa. ”Agar petani tak bergantung pada fluktuasi harga karet remah dunia,” katanya.
Kalau semakin banyak industri hilir tumbuh, Pantun meyakini, daya serap bahan baku akan meningkat. Saat ini, jumlah industri karet di Jambi masih terbilang minim, yakni lima pabrik. Sementara 30-an industri hilir skala kecil yang dikembangkan di desa telah mati suri. Karena industrinya sedikit, karet petani dikendalikan segelintir pembeli.
Diperlukan terobosan untuk mengatasi berbagai persoalan ini.