Ancaman Resesi Global Membuat Pelaku Industri Karet Alam Kian Resah
Industri karet alam Indonesia dihadapkan dengan beragam permasalahan baik di sektor hulu maupun hilir. Di hulu, produktivitas lahan menurun signifikan. Di hilir, penyerapan global berkurang karena resesi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Industri karet alam Indonesia dihadapkan dengan beragam permasalahan baik di sektor hulu maupun hilir. Butuh harmonisasi kebijakan serta komitmen dari pemangku kepentingan terkait untuk mencari solusi dari permasalahan ini.
Hal ini mengemuka dalam Konferensi Nasional Karet 2022 di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (12/10/2022). Dalam paparannya, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy mengatakan, saat ini industri karet dihadapkan dengan berbagai masalah mulai dari hulu dan hilir.
Di sisi hulu, produktivitas petani menurun signifikan akibat penyakit tanaman dan alih fungsi lahan. Adapun untuk di sektor hilir, ketergantungan industri karet alam pada ekspor masih tinggi. ”Kondisi ini diperparah dengan ancaman resesi yang membuat perekonomian di pasar global pun lesu,” ujarnya.
Secara total, produktivitas karet alam di Indonesia terus turun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017, ujar Alex, produksi karet alam Indonesia sempat mencapai 3,2 juta ton, sementara pada tahun 2021 anjlok menjadi 2,4 juta ton.
Harga karet yang terus anjlok membuat petani tidak lagi menanam karet dan menggantinya dengan komoditas perkebunan lain. Belum lagi beragam penyakit seperti gugur daun (corynespora cassiicola) dan jamur akar putih (rigidoporus lignosus), yang membuat produktivitas tanaman menurun.
Akibat penurunan produktivitas karet ini, banyak pabrik kesulitan memperoleh bahan baku. Tak heran, setidaknya 28 pabrik karet di Indonesia berhenti beroperasi. Untuk di Sumsel, setidaknya ada empat pabrik karet yang berhenti beroperasi dalam empat tahun terakhir. ”Jumlah pabrik karet di Sumsel menurun dari 31 sekarang tinggal 27 pabrik. Itu karena jumlah pasokan tidak sesuai dengan jumlah kapasitas terpasang,” ujar Alex.
Kondisi ini diperparah dengan pasar global yang tengah lesu sebagai dampak risiko resesi di sebagian besar negara pasar, serta inflasi yang membuat daya beli menurun. Selain itu, adanya kebijakan China tentang Zero Covid-19 dan embargo gas Rusia ke Eropa membuat pemesanan karet alam juga menurun cukup signifikan.
Di sisi lain, muncul produsen karet baru seperti Vietnam dan sejumlah negara di Afrika yang membuat persaingan kian ketat. Akumulasi dari permasalahan ini, ujar Alex, membuat harga karet alam terus turun. Sempat mencapai 3 dollar AS per kilogram pada 2017, sekarang harga karet hanya 1,3 dollar AS per kg.
Melihat permasalahan ini, kata Alex, memperbesar serapan dalam negeri adalah salah satu jalan agar industri karet di Indonesia tidak mati. ”Saat ini penyerapan karet untuk kebutuhan domestik cenderung rendah, yakni kurang dari 20 persen atau hanya sekitar 600.000 ton per tahun,” katanya.
Jumirin, Ketua Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Sumatera Selatan, mengatakan, turunnya produktivitas karet di Sumsel tidak lepas dari sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya ialah kebijakan pengurangan subsidi pupuk dan adanya larangan bakar.
Dia menjelaskan, akibat harga pupuk yang melonjak, membuat petani tidak memupuk kebunnya. Akibatnya, produksi karet pun menurun hingga 50 persen. Dari yang biasanya 100 kg per hektar per minggu, sekarang produksi karet hanya 50 kg per hektar per minggu.
Selain itu, adanya aturan larangan membakar lahan membuat petani kesulitan untuk mengolah tanah. ”Petani kayu dari tanaman yang telah tua harus diapakan. Akibatnya dibiarkan membusuk dan itulah yang membuat munculnya beragam penyakit tanaman,” ujar Jumirin.
Belum lagi harga karet yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, di tingkat petani, harga karet mencapai Rp 5.000 per kg untuk mereka yang menjualnya kepada tengkulak dan Rp 9.400 per kg untuk petani karet yang menjual hasil karetnya ke UPPB yang dijual dengan sistem lelang. ”Harga tersebut masih jauh dari ideal karena harga karet seharusnya Rp 10.000 per kg,” ujar Jumirin.
Dengan beragam permasalahan seperti ini, tidak heran beberapa petani memutuskan untuk beralih dari tanaman karet ke tanaman perkebunan yang lebih menguntungkan. Contohnya kelapa sawit, yang dalam beberapa waktu terakhir harganya jauh lebih baik daripada karet.
Jumirin berharap pemerintah memberikan subsidi agar petani bersemangat kembali menanam karet. Misalnya subsidi pupuk atau adanya perbaikan harga. ”Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, bukan tidak mungkin produktivitas karet di Sumsel akan menurun seiring dengan beralihnya petani karet ke tanaman lain,” katanya.
Pacu hilirisasiPelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito mengungkapkan, penggunaan karet alam dari Indonesia sebagian besar memang digunakan untuk bahan baku ban, yakni sebanyak 248.598 ton per tahun (35 persen) dan industri manufaktur sebanyak 104.788 ton per tahun (15 persen).
Karena itu, pemerintah berupaya untuk mendorong hilirisasi karet dengan memperluas diversifikasi produk di mana karet alam bisa digunakan untuk proyek-proyek pemerintah, seperti aspal karet, bantalan dermaga, pintu irigasi, dam karet, dan beragam proyek infrastruktur lainnya.
Di sisi lain, ada beragam upaya promosi investasi bagi investor yang menggunakan karet alam dari Indonesia seperti kebijakan pengurangan pajak super (super deduction tax) untuk industri yang terlibat dalam bidang vokasi untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Promosi itu untuk industri yang berhubungan dengan karet, seperti industri pabrik ban pesawat, vulkanisir ban pesawat, dan industri benang karet.
Kebijakan lain adalah insentif tax allowance untuk industri ban luar dan ban dalam. ”Dengan keringanan pajak ini, diharapkan daya serap terhadap hasil karet di Indonesia akan bertambah,” ujar Ignatius.
Komisaris Utama PT Riset Perkebunan Nusantara, Mahmudi, menyebut, sebenarnya beragam upaya yang sudah dilakukan pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, untuk mendongkrak penggunaan karet alam sudah sangat jelas. Tinggal pelaksanaannya di lapangan.
Beberapa proyek infrastruktur telah menggunakan karet alam sebagai bahan bakunya, tetapi volumenya perlu ditingkatkan. ”Yang paling utama saat ini adalah membangun harmonisasi antara pelaku usaha dan kementerian terkait agar penyerapan karet dapat ditingkatkan,” ujar Mahmudi.
Beragam permasalahan dan sejumlah solusi yang ditawarkan dalam konferensi ini akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk kembali mengangkat karet alam sebagai ”emas putih” bagi lokomotif perekonomian nasional seperti yang terjadi pada 2011.