Wastra Nusantara Didorong Jadi Muatan Lokal di Sekolah
Wastra didorong untuk dimasukkan sebagai muatan lokal pembelajaran di sekolah. Hal ini penting dilakukan agar wastra tetap dikenal oleh generasi muda.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pengetahuan tentang wastra, termasuk hal-hal teknis tentang proses pembuatannya, didorong menjadi muatan lokal pembelajaran di sekolah. Hal ini penting sebagai bagian untuk melestarikan pengetahuan tentang warisan nenek moyang kepada kalangan generasi muda.
”Penyampaian pengetahuan tentang wastra di sekolah adalah salah satu cara agar pengetahuan tentang kain tradisional ini tidak terputus dan terus berlanjut ke generasi di masa kini,” ujar Direktur Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra saat ditemui di sela-sela acara Festival Tenun Nusantara di Lapangan Aksobya, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (1/12/2022).
Tidak hanya menjadi pengetahuan yang materinya disampaikan dalam pembelajaran di kelas, pengetahuan tentang wastra juga bisa diberikan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Memasukkan wastra sebagai materi pembelajaran di sekolah, menurut dia, setidaknya bisa dimulai di tingkat lokal di daerah asal wastra tersebut. Pemerintah daerah diharapkan juga mau mendukung upaya tersebut.
”Upaya memasukkan wastra sebagai muatan lokal di sekolah ini diharapkan juga ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah dan kalau bisa juga ditetapkan dalam perda (peraturan daerah),” ujarnya.
Indonesia memiliki begitu banyak kekayaan dan keragaman wastra. Dalam acara Festival Tenun Nusantara, kain yang ditampilkan adalah kain tenun Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Produser dan sutradara film Riri Riza menilai, kain tenun Sumba merupakan wastra yang sangat istimewa. Tradisi membuat kain tenun tersebut terus diwariskan dan masih bertahan hingga kini.
”Tradisi membuat kain tenun Sumba begitu melekat, terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari. Di sela-sela aktivitas apa pun, mulai memasak ataupun saat berkebun, para ibu di Sumba selalu mengisi waktunya dengan menenun,” ujar Riri yang juga sering berjalan-jalan ke banyak daerah ini. Perjalanan itu sering kali dilakukan untuk mengeksplorasi cerita untuk diangkat menjadi cerita film.
Tidak hanya dipakai sendiri atau dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, kain tenun Sumba juga banyak dipakai dalam acara adat. Riri pernah melihat kain tenun Sumba dipakai untuk melapisi jenazah. Dengan dibungkus kain hingga berlapis-lapis, jenazah warga Sumba bisa awet tanpa harus menggunakan formalin.
Fidelis Tasman Amat, kurator pameran kain dalam acara Festival Tenun Nusantara, mengatakan, kain tenun Sumba bernilai tinggi. Harganya hampir senilai dengan emas dan beragam perhiasan lain.
Keistimewaan kain tenun Sumba, menurut dia, antara lain terdapat pada jenis benang yang digunakan. Sebagian kain tenun dibuat dari benang kapas. Adapun kapas merupakan tanaman liar yang tidak dibudidayakan di Sumba. Oleh karena itu, ketika ingin menenun menggunakan benang kapas, warga harus bersabar menunggu hingga hasil panen kapasnya mencukupi.
”Untuk membuat kain tenun dari benang kapas, biasanya warga harus menunggu dan mengumpulkan stok panen kapas selama dua tahun,” ujarnya.
Remi (43), salah seorang warga Waingapu, Sumba Timur, mengatakan, menenun sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang tidak bisa ditinggalkannya.
”Tidak pernah ada keinginan berhenti karena menenun sudah menjadi kebiasaan dan pekerjaan kami,” katanya. Dalam setahun ini, Remi bisa menenun dan menghasilkan tiga hingga empat kain tenun.
Gita (21), keponakan Remi, mengatakan, dia sudah belajar menenun dari ibunya sejak dirinya masih berumur 12 tahun. Sepanjang aktivitasnya menenun semasa kecil, Gita mengaku, dirinya juga sering berhenti, meninggalkan aktivitas menenun, dan ketika itulah ibunya sering kali mengingatkan kembali.