Inovasi Penting, Perajin Batik Tradisional Pun Tetap Penting
Pembuatan batik kini terbantu oleh sejumlah alat hasil inovasi sejumlah pihak. Walau demikian, keberadaan perajin batik dinilai tidak boleh terpinggirkan oleh teknologi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi dan kreativitas menjadi faktor penting dalam pengembangan batik. Hal ini agar batik tetap relevan dengan perubahan zaman. Namun, keberadaan perajin tidak boleh digeser untuk melestarikan nilai-nilai pada batik.
Menurut Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kerja Sama Yayasan Batik Indonesia Komarudin Kudiya, sudah ada sejumlah inovasi terkait batik. Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta, misalnya, mengembangkan aplikasi Batik Analyzer untuk membedakan batik asli dan tiruan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Sejumlah mahasiswa juga pernah mengembangkan aplikasi pembeda batik tulis, cap, dan cetak.
”Kami juga sedang menguji coba alat untuk mengolah limbah cair dari batik. Ini kaitannya dengan batik ramah lingkungan, yakni batik (dengan sertifikat) Standar Industri Hijau,” kata Komarudin pada diskusi daring yang diselenggarakan Museum Tekstil Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Ada pula mesin fotonik yang menggantikan sinar matahari pada proses penjemuran batik. Alat ini dapat membantu perajin batik saat hujan, mendung, atau saat malam. Beberapa inovasi alat pembuatan batik lain adalah canting listrik, kompor listrik untuk lilin malam, dan mesin cap batik.
Menurut Komarudin, inovasi tidak hanya untuk memudahkan perajin, tapi juga penting untuk mencapai batik berkualitas tinggi. Walakin, ini tidak berarti pembuatan batik mesti digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Sentuhan manusia tetap dibutuhkan karena pada dasarnya karya batik mengandung semangat, nilai spiritual, keindahan, hingga kearifan lokal warisan nenek moyang.
”Kami sebagai perajin batik tidak anti terhadap teknologi, bahkan bersinergi dengannya. Namun, kecanggihan teknologi apa pun tidak akan bisa menggantikan keunggulan nilai estetis yang dibuat melalui cipta, karya, dan karsa pada empu atau maestro kriya mana pun,” ucap Komarudin.
Keberadaan perajin penting agar regenerasi perajin batik berlanjut. Hal ini menentukan pula pelestarian batik di masa depan. Adapun batik telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2009.
Regenerasi semakin penting setelah industri batik terdampak pandemi Covid-19. Berdasarkan catatan Yayasan Batik Indonesia, jumlah perajin batik turun hingga 80 persen dari 131.568 orang menjadi sekitar 27.000 orang. Ini karena para perajin beralih pekerjaan saat pandemi. Komarudin menambahkan, jumlah perajin kini naik kembali.
Sebelumnya, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ria Intani Tresnasih mengatakan, perajin batik belum dipandang sebagai lapangan pekerjaan yang menarik buat sebagian orang, khususnya generasi muda. Ini karena kesejahteraan perajin batik belum sepenuhnya terjamin.
Perajin batik muda dan pemilik jenama Marenggo, Nuri Hidayati, mengatakan, batik yang ia produksi merupakan kreasi dari berbagai pewarna alam. Beberapa pewarna yang digunakan adalah kulit manggis, kayu soga, kayu mahoni, dan daun marenggo. Pada 2021, ia dan timnya mengembangkan pewarna alam dari tanah.
Mereka mengambil tanah dari lapisan dalam di Desa Pagerjurang, Klaten, Jawa Tengah. Nuri mengatakan, semakin dalam tanah tersebut, semakin kaya kandungan warna yang ada. Adapun tanah yang mereka gunakan menghasilkan warna jingga.
Tanah tersebut dikeringkan terlebih dulu, kemudian ditumbuk hingga halus. Tanah lantas direndam air selama lima hari, lalu diuleni hingga membentuk semacam tanah lempung. Tanah tersebut kemudian diberi air lagi dan disaring dengan kain. Endapan tanah dapat digunakan sebagai bahan pewarna setelah direndam lagi selama 1-3 hari.
”Sempat gagal berkali-kali, tapi kami tetap eksplorasi dan hasilnya luar biasa. Warna tanah ini dapat dikombinasikan dengan kulit buah jolawe dan indigo,” kata Nuri.