Sulsel yang Kian Rentan Bencana Hidrometeorologi
Hampir setiap tahun banjir dan longsor terjadi di sebagian besar kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan. Namun, penanganan bencana rutin ini masih fokus pada saat kejadian, bukan mitigasi dan edukasi.
Akhir tahun lalu, pakar kebencanaan sekaligus ahli geologi Universitas Hasanuddin, Prof Adi Maulana, mengingatkan tentang posisi Sulawesi Selatan yang masuk dalam sepuluh provinsi di Indonesia dengan indeks risiko bencana tinggi. Dua jenis bencana yang membayangi wilayah ini adalah banjir dan longsor. Peristiwa banjir dan longsor yang terjadi baru-baru ini di sejumlah kabupaten di Sulsel mengingatkan kembali soal kerawanan ini.
Pertengahan November lalu, longsor di Kabupaten Gowa bukan hanya merusak rumah dan jalan, melainkna juga menewaskan tujuh orang. Belum lagi pencarian korban longsor selesai, dua hari berselang sejumlah kawasan di Makassar diterjang banjir.
Banjir juga merendam sejumlah titik permukiman di Kota Parepare, Barru, Maros, Jeneponto, Takalar, dan Selayar. Di Toraja Utara, longsor terjadi di sejumlah desa. Sebelumnya, di Jeneponto, tiga warga tewas terimbun longsor.
Padahal, hujan baru turun sebentar dan masih di bulan November. Jika berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, curah hujan tinggi biasanya baru turun sepanjang Desember hingga Januari. Tentang kerawanan banjir dan longsor di Sulsel yang cukup tinggi, sederet catatan bencana besar beberapa tahun terakhir juga bisa jadi pengingat.
Warga Kabupaten Sinjai tentu tak lupa pada bencana banjir bandang dan longsor tahun 2006 yang menewaskan sekitar 250 warga dan merusak banyak bangunan. Pada Januari 2019, banjir, banjir bandang, dan longsor di 13 kabupaten dan kota di Sulsel menewaskan 79 warga. Tak terbilang bangunan dan infrastruktur yang rusak.
Selanjutnya, pada Juli 2020, banjir bandang menerjang sejumlah kecamatan di Kabupaten Luwu Utara. Sedikitnya 38 orang tewas dan 10 warga hilang. Lebih dari 3.000 rumah di 24 desa dan kelurahan rusak.
Baca juga: Rasa Hidup Terenggut Banjir Bandang Luwu Utara
Jauh sebelumnya, pada 2004, salah satu sisi Gunung Bawakaraeng runtuh dan menimbun satu dusun. Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, terdapat 300 juta meter kubik material tanah, pasir, dan batu yang diperkirakan lepas saat dinding kaldera Bawakaraeng runtuh saat itu.
Dari jumlah itu, setidaknya 210 juta meter kubik rontok ke Sungai Jeneberang. Sungai besar ini membelah sejumlah kabupaten/kota, termasuk ibu kota provinsi Makassar, sebelum bermuara di Selat Makassar.
Dari seluruh material yang masuk ke sungai, terdapat 130 juta meter kubik yang berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang dan sebanyak 80 juta meter kubik mengendap masuk ke Bendungan Bili-bili di Gowa. Dengan kata lain, masih terdapat sekitar 90 juta meter kubik material longsoran yang tertahan di lereng Gunung Bawakaraeng dan sewaktu-waktu dapat menggelontor ke Sungai Jeneberang ketika hujan mengguyur.
Wilayah tempat reruntuhan gunung ini memang menjadi hulu Sungai Jeneberang. Sungai ini juga menjadi pertemuan beberapa sungai besar dan anak-anak sungai yang airnya mengisi Bendungan Bili-bili.
Masih banyak catatan lain terkait banjir dan longsor di wilayah ini yang terjadi dari tahun ke tahun. Beberapa bahkan seperti pengulangan karena terjadi di lokasi yang sama. Banyak pengamat dan aktivis yang menyebutnya bencana rutin tahunan atau serupa bencana yang terjadwal.
Selain kondisi alam, iklim juga sangat rentan menyebabkan bencana hidrometeorologi.
Selain Jeneberang, Sulsel juga punya Sungai Saddang, Sungai Rongkong, Sungai Walannae, dan beberapa sungai besar lain yang melintasi beberapa kabupaten. Sebagian sambung menyambung dan lagi-lagi bermuara di Selat Makassar.
Ada pula yang bermuara ke Teluk Bone setelah sebagian tertampung di Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Danau itu merupakan salah satu danau purba di Sulsel. Kondisi DAS sungai-sungai ini sebagian besar kritis. Begitu pula Danau Tempe.
Adi Maulana yang juga menjabat Ketua Tim Penyusunan Dokumen Penanggulangan Bencana Sulsel mengatakan, tingkat kerawanan bencana di sejumlah wilayah di Sulsel, termasuk di wilayah Luwu, memang tinggi. Selain kondisi alam, iklim juga sangat rentan menyebabkan bencana hidrometeorologi.
Saat ini, Kabupaten Luwu Utara seperti jantung bagi hutan di Sulsel. Basis pertahanan hutan yang masih cukup luas ada di kabupaten itu. Namun, banjir bandang pada 2020 membuat banyak orang mempertanyakan kembali kondisi hutan di wilayah ini. Terlebih dengan banjir yang terus berulang beberapa tahun terakhir.
”Wilayah hulu sungai, terutama dataran tinggi di Luwu Utara, sudah mengalami degradasi akibat pembukaan lahan. Yang membuat tingkat kerawanannya tinggi adalah bebatuan di wilayah itu berupa batu granit dan pasirnya adalah pasir kuarsa. Jenis ini sangat mudah lapuk dan cukup resisten. Material ini bisa terbawa air sampai cukup jauh,” kata Adi.
Baca juga: BMKG Sulsel Peringatkan Potensi Banjir di Sejumlah Wilayah
Ada tiga sungai besar yang melintasi Luwu Utara, yang juga meluap saat banjir bandang tahun 2020, yakni Rongkong, Radda, dan Masamba. Perhitungan yang dilakukan Tim Pusat Studi Kebencanaan Unhas setelah banjir bandang tersebut diperoleh data lebih dari 222 juta meter kubik material yang terbawa banjir.
Sementara, di DAS Jeneberang, berdasarkan data BBWS Pompengan-Jeneberang pada akhir 2018, sedimen yang mengendap di Bendungan Bili-bili mencapai 112 juta meter kubik atau setara dengan 32 persen dari volume tampungan efektif bendungan yang sebesar 346 juta meter kubik. Artinya, sepertiga dari total kapasitas tampung Bendungan Bili-bili sudah terisi sedimen.
Sedimen tersebut antara lain berasal dari material longsoran kaldera Bawakaraeng dan erosi lahan di bagian hulu di dataran tinggi Malino, Gowa. Tingkat sedimentasi yang mencapai 112 juta meter kubik itu hampir empat kali lipat dari desain awal total tampungan sedimentasi Bendungan Bili-bili, yakni 29 juta meter kubik.
Pada desain awal, total tampungan sedimentasi sebesar 29 juta meter kubik tersebut diperkirakan baru akan tercapai dalam 50 tahun sejak bendungan mulai beroperasi tahun 1999. Namun, baru 23 tahun berlalu, sedimen yang mengendap sudah jauh melebihi desain awal.
Baca juga: Kawasan Malino yang Tak Lagi Dingin
Tumpukan sedimen di dasar Bendungan Bili-bili itu mencapai tinggi 60 meter pada akhir 2018. Angka tersebut sudah lebih dari setengah batas tinggi maksimal elevasi air Bendungan Bili-bili, yakni 106 meter. Tinggi sedimentasi itu sedikit lagi melebihi batas maksimal, yakni di angka 65 meter. Saat curah hujan tinggi di hulu, maka muka air bendungan cepat naik. Saat naik, pintu air akan dibuka sehingga berpotensi menyebabkan banjir di hilir.
Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif mengatakan, ada banyak faktor yang membuat bencana hidrometeorologi di Sulsel menjadi bencana tahunan. Jurnal Celebes adalah lembaga yang lebih dari 10 tahun terakhir berfokus pada isu lingkungan dan kehutanan dengan membuat pemetaan dan analisis lapangan.
Berdasarkan data pemerintah yang ada di Kementerian Kehutanan, Mustam menyebutkan, luas hutan di Sulsel disebut 2,4 juta hektar. Namun, berdasarkan pendataan dan analisis lapangan yang Jurnal Celebes lakukan, jumlahnya sebenarnya tinggal 1,5 juta hektar.
Jumlah ini pun masih digempur oleh setidaknya 31 izin usaha pertambangan. Di masyarakat, pembukaan lahan juga marak terjadi. ”Dalam catatan kami, sebanyak 21 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel sangat rawan bencana hidrometeorologi,” katanya.
Mustam menggambarkan, luas daratan Sulsel yang 4,6 juta hektar dengan penduduk sekitar 8,2 juta jiwa atau rata-rata ditempati 145 jiwa per hektar menjadi rawan. Dari sisi ekologi dan daya dukung lahan, kondisi ini membuat Sulsel menjadi rawan bencana.
Yang terjadi kadang penanganan setelah bencana pada satu tempat belum selesai muncul lagi bencana berikutnya.
Terlebih, selama ini pemerintah lebih terkesan fokus pada penanganan saat bencana. ”Biasanya penanganan bencana itu ada pra, saat, dan pasca. Namun, lagi-lagi pemerintah lebih fokus pada penanganan saat bencana. Padahal, mitigasi juga jauh lebih penting,” katanya.
Hal ini termasuk mempersiapkan masyarakat untuk beradaptasi dengan bencana, misalnya, dengan memanfaatkan kearifan lokal. Ini yang jarang tersentuh. ”Yang terjadi kadang penanganan setelah bencana pada satu tempat belum selesai muncul lagi bencana berikutnya,” ujarnya.
Menyikapi banjir dan longsor yang terjadi beberapa waktu lalu, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman memilih pembangunan kolam retensi. Saat rapat evaluasi mitigasi dan penanganan banjir, Senin (21/11/2022), Sudirman mengatakan, pihaknya membuat usulan untuk membangun kolam retensi seluas 200-300 hektar.
Selain itu, dia meminta pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi penataan ruang, terutama di daerah hulu yang jadi lokasi serapan air. ”Kebijakan penataan ruang hulu oleh setiap kabupaten/kota harus dikendalikan. Mulai dari pencegahan pembalakan hutan,” kata Sudirman.
Dengan kondisi bencana yang terus berulang, Mustam mengatakan, pemerintah harusnya mau membuka diri dan berani untuk menata ulang kawasan. Jika perlu, mengubah rancangan tata ruang dan wilayah dengan melihat kembali mana kawasan yang perlu direhabilitasi, mana yang bisa untuk peruntukan bisnis atau industri, dan mana untuk permukiman.
Ini perlu dilakukan agar bencana hidrometeorologi tidak menjadi bencana rutin tahunan. Setidaknya, dampaknya bisa diminimalkan.
Baca juga: Banjir Rendam Sejumlah Wilayah di Sulawesi Selatan