Kawasan Malino yang Tak Lagi Dingin
Wakil Presiden Jusuf Kalla punya pertimbangan sendiri saat mengumpulkan pihak-pihak yang bertikai dalam konflik Poso dan Ambon di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, pada Desember 2001 dan Februari 2002. Dengan kondisi Malino yang berhawa sejuk, mereka yang bertikai diharapkan bisa berunding dalam suasana tenang dan kepala dingin.
Ternyata, strategi Jusuf Kalla yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat cukup jitu. Berbalut dingin Malino, perundingan damai itu menghasilkan Deklarasi Malino I (konflik Poso) dan Deklarasi Malino II (konflik Ambon). Deklarasi yang berisi butir-butir kesepakatan damai yang secara bertahap akhirnya mengakhiri konflik horizontal di kedua daerah, yakni Poso dan Ambon.
Sekitar 55 tahun sebelumnya atau tepatnya pada Juli 1946, Malino juga pernah menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan konferensi yang bertujuan membahas rencana pembentukan negara bagian atau federasi di Indonesia bagian timur. Hajatan yang dihadiri 39 perwakilan tersebut dinamakan Konferensi Malino.
Namun, gambaran tentang hawa dingin yang menusuk tulang kini tak lagi dirasakan di Malino, Kecamatan Tinggimoncong. Duduk menyeruput kopi di tepi jalan di kawasan hutan pinus, dingin nyaris tak lagi terasa, bahkan dalam balutan baju kaus tipis berlengan pendek.
Baca juga: Bencana Masih Mengancam Sulawesi Selatan
”Dulu jangankan sore, siang pun dinginnya sudah terasa. Kalau bicara, mulut mengeluarkan uap. Harus pakai jaket tebal dan syal untuk mengusir dingin,” kata Muchlis Mustamin, pemilik Lembah Hijau Camp and Resort, di Malino, Minggu (3/2/2019).
Wilayah tetangga Malino, yakni Kanreapia di Kecamatan Tombolo Pao, yang dulu terkenal jauh lebih dingin, kini juga seperti terasa kehilangan hawa dingin. Dalam bahasa Makassar atau bahasa setempat, kanre berarti makan dan apia berarti api atau memakan api. Begitu dinginnya daerah ini, hingga warga memberi nama Kanreapia, kata yang menggambarkan bahkan api pun tak mempan mengusir dingin.
Anwar (32), warga Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, mengingat dengan jelas bagaimana hingga setidaknya 10 tahun lalu. Sebelum malam tiba, dia akan menutup tubuh dengan jaket tebal dan sarung untuk mengusir dingin.
”Mungkin karena sekarang lebih banyak kebun, banyak kendaraan, orang, dan pohon sudah kurang. Makanya, tidak dingin lagi,” kata petani yang menanam berbagai tanaman hortikultura ini saat ditemui di kebunnya di Kanreapia.
Alih fungsi lahan
Melihat Kanreapia dan Malino saat ini adalah hamparan perbukitan, lembah, dan kaki Gunung Bawakareng yang dipenuhi kebun kentang, wortel, sawi, kol, bawang daun, cabai, tomat, stroberi, dan beragam tanaman berumur pendek lainnya. Kawasan hutan pinus yang dulu rapat kini berjarak renggang, bahkan hilang.
Alih fungsi lahan terjadi sangat masif dan sporadis dalam 10 tahun terakhir. Daya tarik komoditas hortikultura yang begitu menggiurkan dengan cepat menggerus perbukitan dan lembah menjadi kebun. Begitu pula geliat wisata di Malino yang membuat vila, penginapan, atau rumah pribadi yang kemudian disewakan begitu menjamur.
Baca juga: Mereka Hidup Dibayangi Bencana
Nurbaya (50), warga Kanreapia, mengakui, era 90-an adalah masa saat masyarakat mulai mengenal tanaman hortikultura. Sebelumnya, warga hanya mengenal jagung dan markisa yang ditanam dalam jumlah tak banyak.
”Dulu kebun saya luasnya 10 are. Saya tanami jagung dan markisa. Hasil jagung sebagian besar untuk dimakan saja dan diolah sebagai pengganti nasi karena di sini kami tak punya sawah. Markisa dijual ke pabrik. Sekarang saya punya kebun kentang, wortel, sawi, dan daun bawang, luasnya 2 hektar. Rencana saya masih mau menambah,” kata Nurbaya.
Dari 2 hektar kebun, banyak ragam tanaman yang bisa dipanen setiap satu-tiga bulan. Nurbaya bisa meraup keuntungan bersih sedikitnya Rp 30 juta sekali panen. Ini yang membuat dia berhasrat ingin menambah luas kebun walau harus menyewa lahan.
”Biasanya ada yang membuka lahan di gunung dan disewakan untuk kebun. Sewanya Rp 12 juta per hektar per tahun. Lumayan murah dan saya masih bisa untung walau dipotong sewa lahan,” ucap Nurbaya. Tiga anak Nurbaya yang telah berkeluarga juga membuka kebun dengan luasan 1 hektar per keluarga. Salah satunya Fatmawati (22). Ragam tanaman di kebunnya sama dengan milik Nurbaya.
Anwar yang berkebun di perbatasan Kecamatan Tinggimoncong dan Tombolo Pao membuka kebun di lereng Gunung Bawakaraeng. Di kawasan ini, kebun-kebun warga bahkan sudah merambah di dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam Malino.
Ahli fungsi lahan yang masif membuat daerah resapan air hilang. Dampaknya, air hujan langsung melimpah ke sungai dengan menyeret sedimen dan membuat debit air meningkat.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan Thomas Nifinluri mengatakan, salah satu penyebab area hulu sungai kritis adalah sekitar 79 persen wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi telah beralih fungsi.
”Sampai saat ini lebih kurang ada 2.540 hektar yang merupakan fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial). Ini akibat keterlanjuran okupansi di kawasan yang terjadi sejak 1960, tiga dekade sebelum penunjukan wilayah konservasi pada 1991,” ujar Thomas saat ditemui di Kota Makassar.
Tak cuma soal ramainya kebun dibuka, Malino dalam beberapa tahun terakhir terus berkembang sebagai tujuan wisata. Akhir pekan dan libur panjang adalah saat bagi sebagian warga Kota Makassar dan Gowa menghabiskan waktu di Malino. Sebagian tetap datang pada hari kerja.
Sejak tiga tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Gowa melalui Dinas Pariwisata mencanangkan program Beautiful Malino dengan slogan, ”Ayo ke Malino”. Puncak acara biasanya digelar pada bulan Juli dengan berbagai rangkaian kegiatan.
Lari lintas alam, parade bunga, lomba foto, hingga pergelaran musik dan beragam acara lain digelar secara meriah. Tahun 2017, panitia mencatat 60.000 pengunjung hadir pada acara Beautiful Malino. Konser sebagai puncak acara digelar di kawasan hutan pinus dan disesaki pengunjung.
Ramainya pengunjung tidak hanya berdampak pada lalu lalang kendaraan serta ramainya vila dan penginapan. Berbagai kalangan menangkap peluang ini dengan membuka obyek-obyek wisata kebun, termasuk wisata kebun stroberi yang marak belakangan. Pengelola membuka kebun dengan pengunjung bisa melihat dari dekat dan memetik stroberi. Areal berfoto dengan berbagai bentuk kreativitas juga disiapkan.
Muchlis merupakan salah satu yang melihat peluang wisata ini dengan mengembangkan kawasan penginapan yang bernuansa alam. ”Sudah tiga tahun terakhir saya mengembangkan Lembah Hijau. Lumayan ramai, terutama pada akhir pekan. Tak hanya pengunjung perorangan, tetapi banyak juga dari perusahaan yang bisanya menggelar acara. Malino memang makin ramai belakangan ini,” kata Muchlis.
Padahal, Malino yang juga kawasan konservasi ini merupakan hulu dari daerah aliran Sungai Jeneberang. Ahli hidrologi Universitas Hasanuddin, Farouk Maricar, menilai, ahli fungsi lahan yang masif membuat daerah resapan air hilang. Dampaknya, air hujan langsung melimpah ke sungai dengan menyeret sedimen dan membuat debit air meningkat. Kondisi ini dapat memicu bencana banjir ataupun longsor, selain curah hujan ekstrem.
Perubahan suhu
Kepala Laboratorium Daerah Aliran Sungai Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Usman Arsyad menilai, konversi lahan hutan di kawasan Malino dan sekitarnya punya imbas terhadap peningkatan suhu kawasan. Dari aspek pengendalian suhu, ketebalan lapisan hutan berdampak pada penurunan iklim, baik berupa suhu udara, kelembaban udara, maupun radiasi matahari, dalam skala mikro.
Konversi lahan hutan di kawasan Malino dan sekitarnya punya imbas terhadap peningkatan suhu kawasan.
”Hal ini membuat suhu siang hari akan lebih sejuk dibandingkan sekitarnya. Sementara pada malam hari, suhu akan dikembalikan ke atmosfer, lalu kemudian tidak terlepas ke luar karena terhalang oleh tajuk,” ujar Usman yang juga menjabat Ketua Harian Forum DAS Susel.
Baca juga: Kerusakan DAS Jeneberang Dibiarkan
Tajuk sendiri, lanjut Usman, merupakan keseluruhan bagian tumbuhan, seperti batang pohon, semak, atau tumbuhan rambat yang berada di atas permukaan tanah dan menempel pada batang utama. Semakin lebat dan berlapisnya sebuah area hutan, jenis tumbuhan akan semakin beragam. Terserapnya pendaran suhu yang dipancarkan sinar matahari oleh keanekaragaman flora yang ada membuat perbedaan suhu antara siang dan malam menjadi tidak terlalu ekstrem.
”Dulu saat hutan masih belum banyak terkonversi dan vegetasi masih bagus, suhu siang hari di Malino bisa berada di bawah 27 derajat celsius, sementara pada malam hari suhu udara masih pada kisaran 22 derajat celsius,” kata Usman.
Sementara saat ini, banyaknya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan yang mereduksi keanekaragaman hayati pepohonan di kawasan Malino membuat penurunan iklim dalam skala mikro tidak terjadi. Hal ini, menurut Usman, telah memicu perbedaan suhu yang ekstrem antara siang dan malam hari. ”Sekarang suhu udara malam di Malino mungkin di bawah 20 derajat celsius, sementara pada siang hari mendekati 30 derajat celsius,” ujar Usman. (DIMAS WARADITYA NUGRAHA/RENNY SRI AYU)