Menikmati Sanur di Suatu Pagi…
Setelah dua tahun dijerat pandemi, Bali perlahan mulai bangkit. Sektor wisata Bali kini kembali menata diri.
Suasana remang perlahan menjelma rona. Di ujung laut lepas, perlahan-lahan muncul lingkaran keemasan kecil yang lama-lama membesar dan menyilaukan. Sinarnya terus menguat dan menerangi pagi, menghadirkan ceria di wajah-wajah penuh semangat dari sudut Pulau Dewata.
Minggu (13/11/2022) pagi, suasana Pantai Sindhu di kawasan Sanur, Badung, Bali, tenang meski tidak lengang. Saat pedagang di kios pinggir pantai mulai bersiap hendak buka, maka segelintir orang mulai mencari posisi terbaik untuk mengabadikan keindahan pagi hari di sana. Di antara pagi remang, angin semilir terasa segar.
Kala sebagian orang masih tidur berselimut mimpi, segelintir orang sengaja datang ke pantai untuk mengejar matahari terbit. Mereka ada yang memilih duduk-duduk di pinggir pantai, atau berdiri sambil mencari titik terbaik untuk memotret. Kawasan Sanur memang dikenal sebagai pantai dengan keelokan matahari terbit.
Jarum jam menunjukkan pukul 04.30 WITA. Langit mulai memerah. Dua perahu nelayan, seolah jadi obyek kontras di atas kanvas langit. Setengah jam kemudian, sang surya dengan malu-malu menampakkan sinarnya. Orang-orang mencoba merekam keelokan pagi itu dengan memotret atau merekamnya menggunakan ponsel. Selebihnya, memilih menyaksikan bola kemerahan itu memendar di langit keemasan.
Baca juga: Pariwisata Masih Menjadi Napas Hidup Bali
Suasana terbit Mentari pagi kala itu, menyunggingkan senyum di bibir. Senyum bermakna ganda. Bahagia mendapati keelokan pagi, sekaligus gembira menyambut hari baru dengan harapan baru, yaitu Bali bangkit. Bangkit setelah 2 tahun dijerat pandemi.
Pagi beranjak terang. Aktivitas pantai mulai padat. Wisatawan terus berdatangan, dan para penjaja jasa telah bersiap menyambut pelanggan. Kafe berjajar dengan aneka menu makanan dan minuman, kios souvenir dengan percaya diri menampilkan dagangan, serta pegawai salon dan massage menyapa dengan ramah para pengunjung. Ya, kafe, kios souvenir, dan salon adalah bagian tak terpisahkan dari pesona Pantai Sindhu. Semuanya tali temali, saling menguatkan.
Mentari beranjak tinggi. Wisatawan menikmati cerah hari dengan duduk di kursi malas di pinggir laut lepas. Sambil menenggak minuman dingin, mereka bercengkerama bersama keluarga atau kolega. Sesekali, di antara mereka berlarian ke laut lalu menceburkan diri, mencoba mengusir gerah yang tak mau pergi.
Baca juga: Desa Munduk, Pesona di Balik Kabut
Kerja Sama
Di antara wisatawan dalam dan luar negeri yang meramaikan Pantai Sindhu, siang itu, tampak sejumlah perempuan duduk berkelompok. Dari satu titik ke titik lain, tampak kelompok-kelompok itu dengan ramah ngobrol dan menyapa wisatawan. Mereka adalah penyedia jasa massage atau pijat tradisional. Mulai dari pijat kaki, hingga seluruh tubuh.
“Saya bersyukur, pandemi sudah berlalu dan kini Bali mulai banyak didatangi wisatawan lagi. Semoga tidak ada lagi pandemi seperti 2 tahun lalu. Orang Bali sungguh habis-habisan dan menyambung hidup dengan berhutang,” kata Amy (60), perempuan pemijat di Pantai Sindhu.
Nenek dua cucu itu berkisah, bagaimana ia tak lagi bisa memijat saat pandemi. Sebab, semua orang disuruh tinggal di dalam rumah. Sementara sehari-hari, ia mendapatkan uang dari memijat wisatawan di pantai.
“Kami ini setiap hari bekerja di sini. Kalau pantai tutup, maka kami tak punya penghasilan lagi,” kata Amy. Ia bercerita bahwa mereka, para pemijat, berkelompok dari satu titik ke titik lain. Mereka diatur sedemikian rupa oleh pengelola (dan tentu saja desa), agar tidak saling serobot dan memicu konflik.
Baca juga: Penglipuran, Desa Wisata di Bali yang Tertata dan Bersih
Mereka pun, bekerjasama dengan kios salon besar. Jadi, mereka bisa menerima order dari salon, atau bisa juga bekerja sendiri.
“Kalau tidak bekerja sama, maka penghasilan bisa jadi sedikit. Kalau bekerja sama kan kemungkinan dapat tambahan pemasjukan ada,” kata perempuan yang suaminya menjadi penarik perahu wisata di Pantai Sindhu juga.
Suami istri itu benar-benar bergantung hidup dari sektor wisata. Namun Amy beruntung, karena dua anaknya sudah mentas semua. Ia hanya membantu mebiayai kebutuhan sekolah seorang cucunya.
Karenanya, pandemi selama 2 tahun, sangat menyiksa mereka. Keduanya harus berhutang sana-sini agar bisa makan dan memenuhi kebutuhan. “Sekarang saatnya membayar hutang. Semoga saja tidak ada pandemi lagi, dan kehidupan kami kembali membaik,” kata perempuan yang sudah bertahun-tahun jadi pemijat itu.
Baca juga: Menjaga Asa Wisata Bali
Semoga tak ada lagi pandemi atau apapun yang membuat ekonomi Bali terhenti seperti saat pandemi
I Ketut Suardana, sopir taksi daring Bali, menuturkan bahwa saat ini Bali mulai kembali bergeliat.
“Mulai banyak agenda kegiatan di Bali, sehingga aktivitas di sini mulai kembali banyak. Di Sanur sini mulai kelihatan banyak wisatawan. Dibandingkan 2 tahun lalu, wilayah ini seperti kota mati. Sepi dan menakutkan bagi orang lewat,” katanya.
Pertengahan Oktober 2022 lalu, kawasan Sanur cukup banyak dikunjungi wisatawan. Bukan hanya wisatawan domestik, namun juga mancanegara. Mereka rara-rata adalah wisatawan keluarga, atau para pensiunan yang ingin menenangkan diri di sana.
“Wisatawan mancanegara ini biasanya tinggal cukup lama di Sanur. Mereka bisa lebih dari seminggu. Rata-rata saya sering menjumpai penumpang asal Belanda,” kata Ketut.
Sanur memang salah satu kawasan wisata di Bali, yang memiliki segmen pengunjung dan hiburan berbeda dari kawasan Kuta misalnya. Jika kafe-kafe di Kuta lebih banyak jadi lokasi nongkrong wisatawan muda dan menyetel musik jedag-jedug atau ingar bingar, maka di Sanur, wisatawannya rata-rata banyak berumur. Tempo musik yang diputar pun lebih lambat dan banyak lagu cinta lawas.
Lalu, apakah kegiatan-kegiatan interansional seperti KTT G20 berdampak ke Sanur, meskipun lokasi acaranya tidak di Sanur?
“Tetap saja berdampak. Karena beberapa delegasinya menginap di Sanur. Makanya kafe-kafe ini pun selama acara KTT, kabarnya ada ‘jam malam’ yaitu tidak boleh memutar musik keras usai jam 22. Tapi tidak masalah, karena kafe tetap boleh buka asal tidak ramai,” kata Ketut menambahkan. Ketut mengetahui kabar itu dari sesama sopir. Apalagi, ia selama ini menunggu penumpang juga di kawasan Sanur.
Ketut berharap, pariwisata Bali kembali pulih seperti sediakala. Sebab, baginya dan bagi orang yang bergantung hidup dari sektor ini secara langsung, terhentinya pariwisata Bali adalah kematian pelan-pelan bagi mereka.
“Semoga tak ada lagi pandemi atau apapun yang membuat ekonomi Bali terhenti seperti saat pandemi,” harap Ketut.
Harapan itu bukan saja milik Ketut atau Amy seorang. Namun, hampir seluruh warga Bali punya doa serupa.
Pelan tapi pasti, situasi Bali beranjak pulih. Tingkat kunjungan wisatawan asing maupun lokal ke Bali sudah mencapai 1,5 juta orang dari normalnya 6 juta orang setiap tahun. Penerbangan secara langsung ke Bali pun sudah mulai ada 27 kali penerbangan, dari normalnya 38 penerbangan. Semoga, pemulihan dan kebangkitan Bali terus berlanjut.
Setelah dua tahun dijerat pandemi, Bali perlahan mulai bangkit kembali. Gelaran besar seperti KTT G20 beberapa waktu lalu, diharapkan mampu mengungkit kebekuan ekonomi di Pulau Dewata itu. Sektor wisata Bali, kini kembali menata diri.