Gempa bermagnitudo 5,6 pekan lalu di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, telah merusak ratusan satuan pendidikan dan menyebabkan puluhan anak meninggal. Hak pendidikan anak perlu dipastikan dalam situasi darurat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, ERIKA KURNIA
·2 menit baca
CIANJUR, KOMPAS — Gempa bermagnitudo 5,6 pekan lalu di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, telah merusak ratusan satuan pendidikan dan menyebabkan puluhan anak meninggal. Pemerintah dan berbagai pihak perlu memastikan hak anak, seperti pendidikan, tetap terpenuhi di tengah situasi darurat.
Berdasarkan data sementara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana, gempa telah merusak 524 satuan pendidikan dari satuan pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi. Sebanyak 2.235 ruangan di sekolah juga rusak ringan hingga berat.
Kemendikbud dan Seknas Satuan Pendidikan Aman Bencana juga mencatat 31 siswa dan 6 guru meninggal akibat gempa. Sebanyak 367 peserta didik dan 76 guru menderita luka-luka karena kejadian ini.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana pun mencatat 36 persen dari 73.874 pengungsi gempa Cianjur merupakan anak-anak. Sejumlah anak bahkan tinggal di pengungsian yang kurang layak.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Cianjur terpaksa menghentikan sementara kegiatan belajar-mengajar karena status tanggap darurat bencana. Selain beberapa sekolah rusak, siswa dan guru juga membutuhkan pemulihan dari trauma.
Imelda Usnadibrata, Head of Education Save the Children Indonesia, organisasi yang fokus terhadap anak, menilai, anak-anak korban gempa penting untuk segera mendapatkan layanan dukungan psikososial. ”Pendidikan adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi, apa pun situasinya, termasuk dalam situasi darurat,” katanya.
Menurut dia, tujuan utama adalah memastikan anak-anak dapat mengatasi rasa khawatir, takut, dan cemas. Dengan bertemu teman serta gurunya, mereka akan senang kembali belajar dan bersekolah. Untuk itu, pihaknya bersama kluster pendidikan Cianjur tengah mengidentifikasi anak dan guru yang terdampak, termasuk kondisi sekolahnya.
Hal ini menjadi penting untuk memastikan penyaluran bantuan yang merata dan tepat sasaran. Dengan begitu, pihaknya dapat mengetahui kebutuhan murid dan memberikan layanan dukungan psikososial untuk membantu memulihkan aspek psikis anak, orangtua, dan guru yang terdampak.
Program pendidikan itu juga meliputi edukasi pengurangan risiko bencana untuk memastikan anak-anak, guru, dan warga sekolah memahami karakteristik bencana. Selain itu, memahami upaya mitigasi serta langkah-langkah penanganan sebelum dan sesudah bencana.
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Sumarjaya mengatakan, Kemenkes mulai menyebar psikiater, psikolog, dan perawat jiwa untuk mendukung layanan psikososial bagi pengungsi. ”Mulai hari ini, Senin, kami turunkan tim ke pengungsian,” katanya.
Evi, warga RW 001 Desa Cijedil, sekaligus wali murid SDN Cugenang, mengatakan, anaknya masih trauma dengan gempa. Bencana itu mengakibatkan 18 siswa meninggal saat mengikuti mata pelajaran Agama. Pihaknya masih menunggu informasi kepastian kegiatan belajar-mengajar bagi anaknya. Apalagi, puing-puing bekas gempa belum tuntas dibersihkan.