Siasat Bertahan Kala Iklim Berubah
Berbagai siasat dilakukan untuk bertahan di tengah iklim yang berubah. Masyarakat diingatkan agar bergerak lewat berbagai aksi.
Muhammad Mansur Dokeng (40) membuka layanan informasi Indonesian Weather Information for Shipping (INA-WIS) pada monitor di pos komando kampung nelayan. Seketika juga pada layar itu muncul peta wilayah serta simbol ikan di sejumlah titik perairan.
”Ikan di sini banyak,” ujarnya sambil menunjuk salah satu titik di layar. ”Hari ini, Selasa (15/11/2022), kalau kita mau ke sana, kita tinggal tangkap saja. Kita tidak perlu cari lagi di tempat lain. Ini real time,” ujarnya lagi.
Titik perairan yang ditunjuk Mansur berada di sisi selatan kampung nelayan itu, Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 50 mil laut atau sekitar 92,6 kilometer. Berdasarkan informasi dari INA-WIS itu, di titik koordinat dimaksud sedang ada banyak ikan.
Sistem informasi INA-WIS dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Mansur tahu cara mengakses sistem informasi itu setelah mengikuti sekolah cuaca lapangan yang digelar BMKG pada 2019.
Mansur kemudian mengumpulkan para nelayan dan membagi titik koordinat kepada mereka. Masing-masing mereka bisa memilih titik mana yang akan dituju. Jarak dan ukuran perahu motor atau kapal ikan biasanya menjadi pertimbangan. Selain itu, mereka juga memperhatikan kondisi cuaca yang tertera dalam INA-WIS.
Sore hari, mereka mulai berangkat menuju koordinat. Dikonfirmasi sehari sesudahnya, Mansur melaporkan, hasil tangkapan sekitar 60 nelayan yang ia pimpinan itu memuaskan.
”Jika tanpa INA-WIS, hasilnya belum tentu sebanyak ini. Sistem ini sangat membantu mengingat stok ikan semakin berkurang dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Mansur pun membandingkan kondisi saat ini dengan 30 tahun silam. Kala itu, mereka tidak perlu melaut jauh-jauh. Kurang dari 5 mil laut, mereka sudah menangkap banyak ikan. Kuwe, misalnya, bermain hingga ke pesisir dekat rumah mereka. Hanya membuang jala, mereka sudah mendapat puluhan ekor ikan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, perubahan iklim menurunkan stok ikan laut sehingga bisa menyebabkan produksi perikanan anjlok hingga 35 persen.
Ketua Akademisi Ilmuwan Muda Indonesia Alan Koropitan dalam risetnya menemukan, perubahan suhu laut diketahui telah menyebabkan klorofil laut yang menjadi salah satu kunci penting dari rantai makanan semakin berkurang.
”Data ini yang kemudian kami analisis untuk mengetahui penurunan MSY (maximum sustainable yield) ikan pelagis kecil di Indonesia,” kata Alan.
Berdasarkan kajian Alan ini, tren penurunan stok ikan pelagis kecil di Indonesia 90.000-100.000 ton per tahun. Alan menggunakan model stok ikan dari data sebaran klorofil yang diperoleh dari satelit selama 10 tahun terakhir (Kompas, 5 Maret 2019).
Baca Juga: Perempuan Nelayan Setengah Abad
Selain Mansur, aksi mitigasi dan adaptasi seperti itu juga dilakukan Joni Messakh, warga Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang. Joni bersama keluarganya menanam mangrove sepanjang garis pantai sejauh 2 kilometer sejak tahun 1981. Mereka menjaga pesisir dari ancaman abrasi.
Keberadaan mangrove kini menjadi pelindung bagi lebih dari 1.000 jiwa yang mendiami pesisir Tanah Merah. Saat gelombang pasang dan badai Seroja melanda pada April 2021, kerusakan di Tanah Merah minim, sementara beberapa permukiman lain, tak jauh dari Tanah Merah, rusak parah akibat terjangan gelombang.
Sementara untuk isu pangan, Magdalena Eda Tukan dari Kabupaten Flores Timur bersama sejumlah anak muda fokus mengampanyekan pangan lokal sorgum. Kemarau panjang yang semakin sering setiap tahun berdampak pada ketersediaan pangan. Kekeringan ekstrem itu sebagai dampak dari perubahan iklim.
Sorgum dianggap bisa menjadi pengganti padi atau jagung yang sering kali gagal panen akibat minimnya hujan. Sorgum bisa bertahan di cuaca panas. Sorgum merupakan tanaman khas daerah itu yang tergeser setelah kebijakan berasisasi yang gencar dilakukan sejak era Orde Baru.
Kebijakan pembangunan
Aleta Baun, tokoh perempuan NTT, mengingatkan, dampak perubahan iklim yang kini dirasakan agar tidak lagi diperparah dengan program pembangunan dan investasi. ”Kita tidak anti-investasi, tetapi investasi jangan memusnahkan alam,” kata peraih penghargaan Goldman Environmental Prize dari Amerika Serikat tahun 2013 itu.
Peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2016 itu menuturkan, perambahan hutan menyebabkan banyak sumber air di NTT kering.
Dalam beberapa kasus, pemerintah ikut andil lewat kebijakan pengalihan status kawasan hutan lindung menjadi tempat wisata alam. Kebijakan itu membuka ruang terjadi kerusakan.
Menurut Aleta, kaum perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Sebagai pengelola dapur rumah tangga, perempuan harus mencari air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
”Mereka berjalan kaki hingga puluhan kilometer dengan membawa jeriken untuk ambil air di tengah hutan,” ujarnya.
Jika tanpa INA-WIS, hasilnya belum tentu sebanyak ini. Sistem ini sangat membantu mengingat stok ikan semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT Ondy Siagian mengatakan, perubahan iklim merupakan isu global yang mendapat perhatian serius pemerintah.
Sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, pemprov terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten dan kota mengenai berbagai ancaman bencana, seperti rob di pesisir.
Sejumlah strategi sudah disiapkan, seperti penguatan kapasitas masyarakat pesisir dan membentuk kelompok masyarakat untuk menjaga hutan dari ancaman kebakaran. Pemerintah juga menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat.
Gerakan bersama
Muhammad Ridwan Arif, Koordinator Manajemen Pengetahuan Koaksi Indonesia, memaparkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terdampak perubahan iklim. Salah satunya adalah naiknya permukaan air laut yang mengancam daerah pesisir. Ada juga ancaman terhadap ketersediaan ikan sumber utama protein hewaninya.
Di darat, lanjutnya, panas ekstrem merupakan salah satu dampak dari krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas menurunkan hasil produksi pangan. Terlebih lagi NTT merupakan daerah yang rentan terhadap kekeringan ekstrem. Gagal tanam dan gagal panen sering terjadi di daerah itu.
Baca Juga: Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di NTT Berdampak Positif
Ridwan mengajak semua pihak terus menyuarakan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang kini sudah nyata terasa. Mansur, Joni, Eda, dan tentu masih banyak lagi orang di luar sana yang terus melakukan aksi mereka.
Berharap semakin banyak lagi yang terus bersuara dalam aksi nyata. Mari bersiasat agar bertahan kala iklim berubah.