Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di NTT Berdampak Positif
Aksi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di NTT mulai memberi dampak positif.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Gencarnya upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur mulai memberi hasil positif. Gerakan itu diharapkan terus meluas di kalangan generasi muda. Di sisi lain, pemerintah diingatkan tidak lagi memperparah kerusakan lingkungan atas nama pembangunan.
Aksi mitigasi dan adaptasi itu kini disuarakan lewat Festival Budaya Lokal NTT bertajuk Pesta Raya Flobamoratas yang diluncurkan di Kota Kupang pada Kamis (17/11/2022). Festival diikuti perwakilan dari sejumlah kabupaten dan kota di NTT yang berlangsung dua hari berturut-turut mulai Jumat (18/11/2022).
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno lewat tayangan video menyampaikan dukungan terhadap festival tersebut. Ia berharap kegiatan itu memberikan pandangan luas dan perspektif baru akan perubahan dan solusi iklim lokal yang dikemasdengan ceritayang menarik dari sisi kebudayaan dan kearifan lokal.
Cerita aksi mitigasi dan adaptasi itu seperti yang dilakukan Joni Messakh, warga Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang. Joni bersama keluarganya menanam mangrove sepanjang garis pantai sejauh 2 kilometer sejak tahun 1981. Mereka menjaga pesisir dari ancaman abrasi.
Keberadaan mangrove kini menjadi pelindung bagi lebih dari 1.000 jiwa yang mendiami pesisir Tanah Merah. Pada saat gelombang pasang dan badai Seroja pada April 2021 lalu, kerusakan di Tanah Merah minim. Sementara beberapa permukiman lain, tak jauh dari Tanah Merah, rusak parah akibat terjangan gelombang.
Ada juga cerita Muhammad Mansur Dokeng, warga kampung nelayan di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, yang selalu memantau informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika terkait sebaran potensi ikan. Informasi itu terbaca pada layar monitor yang disimpan di kampung nelayan.
Setelah mengetahui koordinat ikan berada, Mansur langsung langsung memberi tahu nelayan. Mereka lalu menuju ke titik tersebut. Penggunaan teknologi ini sebagai bagian dari adaptasi mengingat semakin sulit mendapat hasil tangkapan. Sebaran potensi ikan juga semakin jauh dari pesisir.
Arti Indallah Tjakranegara dari Yayasan Hivos Indonesia selaku penyelenggara festival tersebut menambahkan, dalam festival nanti juga akan ditampilkan pengolahan pangan lokal dari berbagai komunitas. Salah satunya adalah sorgum dari Kabupaten Flores Timur.
Isu pangan lokal sangaja diangkat mengingat kemarau panjang yang semakin sering setiap tahun berdampak pada ketersediaan pangan. Kekeringan ekstrem itu sebagai dampak dari perubahan iklim.
Arti berharap cerita sukses mitigasi dan adaptasi perlu disebarluaskan agar semakin banyak yang tergerak melakukan aksi bersama. Menurut dia, banyak anak muda di NTT punya kepedulian terhadap isu perubahan lingkungan, yang kini bergerak dalam diam.
Magdalena Eda Tukang, aktivis lingkungan dari Kabupaten Flores Timur, mengatakan, kampanye jaga lingkungan terus mereka gaungkan dari kampung ke kampung lewat dongeng. Mereka mengangkat cerita rakyat yang berisi tentang pesan leluhur untuk menjaga lingkungan.
Ia menuturkan, kini banyak anak muda memungut sampah di pinggir pantai. Mereka melakukan tanpa paksaan atau iming-iming. Ia berharap semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah memberi dukungan agar hal itu menjadi gerakan bersama.
Kebijakan pembangunan
Aleta Baun, tokoh perempuan NTT yang hadir dalam acara peluncuran itu, mengingatkan, dampak perubahan iklim yang kini dirasakan agar tidak lagi diperparah dengan program pembangunan dan investasi. ”Kita tidak anti-investasi, tetapi investasi jangan memusnahkan alam,” kata peraih penghargaan Goldman Environmental Prize dari Amerika Serikat pada 2013 itu.
Peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2016 itu menuturkan, perambahan hutan menyebabkan banyak sumber air di NTT kering. Dalam beberapa kasus, pemerintah ikut andil lewat kebijakan pengalihan status kawasan hutan lindung menjadi tempat wisata alam. Kebijakan itu membuka ruang terjadi kerusakan.
Menurut Aleta, kaum perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Sebagai pengelola dapur rumah tangga, perempuan harus mencari air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. ”Mereka berjalan kaki hingga puluhan kilometer dengan membawa jeriken untuk ambil air di tengah hutan,” tuturnya.
Kita tidak anti-investasi, tetapi investasi jangan memusnahkan alam
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT Ondy Siagian mengatakan, perubahan iklim merupakan isu global yang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, pemprov terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten dan kota terhadap berbagai ancaman bencana seperi rob di pesisir.
Berbagai strategis sudah disiapkan, seperti penguatan kapasitas masyarakat pesisir dan membentuk kelompok masyarakat untuk menjaga hutan dari ancaman kebakaran. Pemerintah juga menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat.