Mariam Badaruddin, Perempuan Nelayan Setengah Abad
Sudah setengah abad Mariam Badaruddin menjadi perempuan nelayan. Ia tangguh menerjang ombak dan tangguh memperjuangkan nasib perempuan di sekitarnya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Sekuat tenaga, Mariam Badaruddin mendayung perahu dari teluk memasuki muara, menembus kolong jembatan, lalu menepi di pinggir sungai. Sejurus kemudian, ia turun dari perahu sambil menjinjing seember ikan. Melaut jadi jalan hidup yang ia lakoni selama lebih kurang setengah abad usianya.
Pada Sabtu (19/11/2022) pagi, Mariam baru saja pulang mencari ikan dari Teluk Kupang, perairan yang membentang di hadapan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sepanjang malam, nenek berusia 59 tahun itu sendirian di atas perahu, menebar jaring, kemudian memancing.
Berapa pun hasil tangkapan, ia sudah harus pulang pagi hari agar ikan segera dijual ke pasar. Semua ikan dalam kondisi segar, bahkan beberapa ekor masih menggelepar. Ikan segar tentu harganya lebih tinggi. Untuk jenis kuwe seukuran telapak tangan orang dewasa, bisa laku hingga Rp 25.000 per ekor.
Namun, Mariam tak langsung terjun ke pasar. Beberapa ibu rumah tangga di kompleks tempat tinggalnya, yakni Kelurahan Air Mata, ia berdayakan. Mariam mengatur agar setiap mereka bisa mendapatkan kesempatan menjual ikan tangkapannya ke pasar. Hampir semua mereka dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Kepedulian Mariam berangkat dari rasa prihatin atas apa yang dialami banyak ibu rumah tangga. Ia kerap menyaksikan mereka jadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Mereka diperlakukan kasar lantaran dianggap tidak menghasilkan uang. Mariam membuka jalan bagi mereka.
”Biar mereka bisa dapat uang. Saya jual ke mereka dengan harga murah, tetapi saya selalu ingatkan kalau jual lagi ke orang lain, tolong jangan mahal-mahal. Mungkin ada orang yang mau makan ikan, tapi punya uang tidak cukup. Hidup harus berbagi,” kata Mariam.
Kini, kehidupan ekonomi beberapa ibu yang ia berdayakan mulai berubah. Ada yang bahkan sudah punya usaha lain, seperti menjual sayuran. Dan, yang paling menggembirakan bagi Mariam adalah semakin jarang ia mendengar kekerasan dalam rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.
Setengah abad
Selesai menjual ikan, Mariam menyuci perahu dan menyiapkan peralatan untuk dipakai pada hari berikutnya. Kendati usianya sebentar lagi 60 tahun, ia seakan tidak mengenal lelah. Padahal, semalam ia menarik pukat, memancing, dan mendayung. Otot lengannya kuat. Langkahnya pun tegap. ”Mungkin karena saya sering berendam di laut, makanya saya kuat,” ujarnya.
Ia juga memperbaiki perahu yang rusak, mulai dari menambal bagian yang bocor hingga memperbaiki mesin. Semua itu ia kerjakan sendiri. Di pangkalan tempat perahu bersandar, ia menyimpan berbagai perkakas, seperti palu, gergaji, dan beberapa kunci pembuka baut mesin. Keterampilan itu ia peroleh dari pengalaman melaut selama ini.
Kini, ia memiliki tiga perahu. Satu perahu bermesin dan dua lainnya perahu dayung. Dari tiga perahu itu, hanya satu perahu dayung yang dalam kondisi baik. Perahu mesin mengalami patah propeler dan perahu dayung lain satu lagi bocor di beberapa bagian. Ia masih menabung untuk membeli suku cadang dan bahan yang dibutuhkan.
Saat ketiga perahunya itu dalam kondisi baik, ia kerap meminjamkan kepada warga sekitar yang ingin melaut. Ia tidak mematok tarif sewa. Peminjam biasanya membagi hasil tangkapan. Peminjam tak lain sesama nelayan yang perahu mereka rusak akibat badai Seroja pada April 2021. Banyak nelayan kehilangan perahu.
Mariam memahami, kondisi ekonomi saat ini membuat banyak nelayan belum mampu membeli perahu. Perahu mesin harganya sekitar Rp 40 juta, sedangkan perahu dayung sekitar Rp 1 juta. ”Boleh pake perahu saya, dengan catatan jaga supaya bisa kita pake lagi seterusnya,” ujar ibu delapan anak itu.
Mariam merupakan perempuan nelayan tangkap tertua di Kota Kupang. Ia mulai melaut sejak usia 9 tahun sampai saat ini. Artinya, ia menjadi nelayan selama kurun waktu setengah abad. Ia bisa menggunakan berbagai alat tangkap dan mampu menakhodai perahu layar hingga perahu motor.
Berbagai pengalaman melaut telah ia lewati, termasuk tenggelam, terombang-ambing dengan perahu selama beberapa hari, dan terdampar di Pulau Sumba yang berjarak lebih dari 100 mil laut dari Kota Kupang. Ia selamat dari musibah itu. Selama terombang-ambing hingga terdampar, ia bertahan dengan memakan ikan mentah.
Mariam sangat mencintai laut yang dianggap sebagai sumber kehidupan bagi keluarganya. Hampir sepanjang usianya, ia habiskan di laut. Uang hasil melaut ia gunakan untuk membiayai pendidikan bagi delapan anaknya hingga semua lulus pada jenjang sekolah menengah atas. ”Saya tidak tamat sekolah dasar. Saya ingin anak saya sekolahnya lebih tinggi dari saya,” ujarnya.
Perempuan nelayan
Dina Soro, Koordinator Program ”Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan” untuk wilayah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, menuturkan, Mariam pernah terlibat dalam program Right To Food. Program tersebut fokus mendorong pengakuan negara terhadap perempuan nelayan. Tidak diakuinya perempuan nelayan membuat mereka tidak bisa mengakses hak-hak mereka sebagai nelayan.
Salah satunya mengakses bantuan dari pemerintah. Sebab, ada persyaratan yang mewajibkan penerima bantuan adalah kepala keluarga sebagaimana tertera dalam kartu keluarga. Sementara itu, tidak semua perempuan nelayan menjadi kepala keluarga. Persyaratan semacam ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan nelayan.
”Beliau menjadi tokoh perempuan nelayan dari NTT yang memperjuangkan kesetaraan ini. Ia sampai ikut unjuk rasa menuntut pengakuan nelayan perempuan di Jakarta bersama dengan perempuan nelayan dan pejuang hak dari seluruh Indonesia. Bahkan, ia mendapat kesempatan berbicara kepada pemerintah saat itu,” kata Dina.
Tak berhenti di situ, Mariam ikut memperjuangkan nasib nelayan Kota Kupang yang terdampak badai Seroja pada April 2021. Di Kota Kupang terdapat 947 kapal nelayan. Sekitar 80 persen di antaranya hancur atau rusak berat akibat badai Seroja.
Mariam adalah perempuan tangguh. Di laut, ia tak gentar menghadapi gelombang kala mencari ikan. Di darat, ia tak lelah peduli pada nasib perempuan di sekitarnya serta memperjuangkan nasib perempuan nelayan dan nelayan pada umumnya. Sudah setengah abad ia menjadi nelayan. Seterusnya, ia akan tetap mencari ikan hingga tiba saatnya tak bisa melaut lagi.