Rubrik Budaya dan Seni di Media Massa Kian Terdesak
Keberadaan rubrik budaya dan seni di media massa juga memberikan edukasi selain informasi peristiwa terkait. Namun, saat ini keberadaan rubrik budaya dan seni kian terdesak di media massa.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Media massa, termasuk media digital, memiliki peran dalam menyebarkan informasi dan juga mengedukasi publik melalui pemberitaan ataupun tulisan. Saat ini, penyebaran informasi serta edukasi budaya dan seni dinilai semakin berkurang di media massa.
Perihal itu mencuat dalam acara pabligbagan atau dialog bertemakan ”Problematika Tulisan Budaya di Media Massa” yang diselenggarakan Komunitas Rumah Budaya Penggak Men Mersi Kota Denpasar, Sabtu (26/11/2022). Dialog menghadirkan pegiat literasi budaya dan seni, yakni akademisi Universitas PGRI Mahadewa Bali, I Made Sujaya; pendiri Tatkala.co, I Made Adnyana Ole; dan Koordinator Penggak Men Mersi Kota Denpasar Kadek Wahyudita.
Budayawan Tommy F Awuy berpendapat, media-media massa besar memberikan perhatian terhadap budaya dan seni dengan menghadirkan rubrik budaya dan seni. Terlebih pada masa 1980-an, menurut Tommy, isu budaya menjadi seksi dan menarik, antara lain, karena dihadapkan dengan isu kekuasaan.
”Namun, saat ini sudah terjadi perubahan masa, salah satunya dengan kehadiran media online,” ujar Tommy dalam acara pabligbagan (dialog) budaya, yang juga dihadiri sesepuh Puri Agung Kesiman Denpasar Anak Agung Ngurah Gede Kusuma Wardana dan sejumlah jurnalis di Denpasar.
Sebelumnya, Sujaya mengungkapkan, media-media massa di Bali, khususnya koran, pernah menghadirkan ruang apresiasi seni dan budaya di koran. Bahkan, koran hari Minggu banyak diisi berita, artikel, serta opini budaya dan seni.
Sebagai akademisi, yang juga berlatar belakang jurnalis, Sujaya menilai perhatian media massa terhadap budaya dan seni semakin berkurang lantaran isu budaya dan seni dipandang kurang menarik dan tidak menghasilkan pemasukan dari iklan.
”Di samping berkurangnya perhatian media massa itu, ada pula persoalan mengenai kompetensi wartawan yang menulis kebudayaan. Apalagi berbicara tentang kritik seni dan kritik budaya melalui artikel atau berita,” kata Sujaya.
Sujaya juga mengatakan, wartawan media massa era sekarang dituntut bekerja cepat untuk mengimbangi pemberitaan di media digital. Di samping itu, derasnya informasi melalui siaran pers atau rilis dari instansi atau lembaga maupun penyelenggara acara juga memengaruhi cara kerja wartawan.
”Sejatinya, berita rilis adalah sumber informasi yang seharusnya dilanjutkan dengan kerja intelektual wartawan untuk menambah informasi yang bersumber dari berita rilis,” ujarnya.
Sastrawan I Wayan Jengki Sunarta mengungkapkan, dirinya kerap menemukan berita yang seragam di beberapa media massa yang berbeda tentang sebuah acara atau peristiwa seni dan budaya. Ia mengaku berita rilis perihal acara yang diselenggarakannya juga lebih sering dimuat utuh di media massa.
Adnyana Ole menambahkan, penulisan berita saat ini lebih sering sebatas menulis informasi. Padahal, menurut dia, jurnalis atau wartawan perlu menggali dan mendalami peristiwa budaya dan seni sehingga berita atau artikelnya menjadi karya jurnalistik dan menarik minat publik untuk membacanya.
”Sebelum media digital semakin ramai dan juga media sosial, berita kebudayaan di media massa era dahulu tetap menarik dibaca meskipun beritanya telat beberapa hari setelah peristiwa budayanya berlangsung,” kata Adnyana Ole.
Menurut Adnyana Ole, artikel budaya atau berita budaya di media massa dapat memengaruhi perkembangan budaya di daerah, bahkan nasional. Adnyana Ole mencontohkan, dirinya mendapat pengetahuan mengenai keberadaan komponis-komponis Bali dari artikel di media massa nasional mengenai Pekan Komponis Muda yang diadakan di Jakarta pada 1979 sampai 1980-an.